10. Pergi Diam-Diam

1492 Words
Alita membanting pintu kamarnya dengan keras hingga Bi Minah yang masih berada di ruang tamu tersentak kaget dan langsung mengelus dadanya. Bi Minah pun bisa merasakan kemarahan nyonya mudanya itu begitu membukakan pintu untuknya. Sampai di dalam kamarnya, Alita langsung melempar tas slempang miliknya ke arah lemari pakaian dengan membabi buta. Rasa amarahnya saat ini benar-benar mengalahkan rasa takutnya. Ia pun menjatuhkan dirinya dengan kasar ke atas tempat tidur. Setelah keluar dari restoran tadi, Alita langsung memesan taksi online untuk mengantarkannya pulang. Alita sama sekali tidak bercanda. Saat di restoran tadi, ia benar-benar merasakan ketakutan yang luar biasa. Sampai-sampai di dalam taksi, beberapa kali Alita memastikan wajah sopir taksi itu bukan pria dalam mimpinya. Perasaannya tidak tenang hingga ia sampai di depan rumah. Membayangkan mimpinya yang terus berulang saat ia dalam keadaan koma saja ia sudah sangat takut dan merasa ada sesuatu aneh dalam dirinya. Terlebih kejadian demi kejadian aneh yang dialaminya pasca bangun dari koma, semua itu di luar nalar pikirannya. Dan hari ini, dengan mata kepalanya sendiri ia melihat pria yang ada dalam mimpinya itu benar-benar hadir secara nyata di depan matanya. Alita sadar selama ini tidak ada yang mempercayainya, semua memganggap ia hanya halusinasinya. Karena itu percuma saja ia mengatakan apa yang baru saja dilihatnya itu kepada kedua orang tuanya. Untuk kesekian kalinya Alita benar-benar merasa kecewa dengan Sarah. Ia merasa seperti dipermalukan di depan umum, di depan para pengunjung resto dan keluarga Om Fery. Ayahnya pun sama sekali tidak membelanya sama sekali dengan ia tetap diam saat ibunya menamparnya. Alita pikir keluarga adalah mereka yang selalu mempercayai apa yang kita ucapkan dan apa yang kita alami, tapi nyatanya tidak! Ternyata ia salah, dan itu tidak akan pernah terjadi pada Alita. Entah siapa sebenarnya yang salah dan yang merasa dipermalukan. Itu semua tergantung dari sudut mana kita melihatnya. Mungkin saja Sarah pun merasa dipermalukan dengan sikap Alita yang begitu histeris dan membuat semua pengunjung resto menganggap mereka aneh atau bahkan menganggap Alita gila. Belum lagi sikap Alita yang dirasa kurang sopan terhadap Fery dan Vita. Alita memejamkan matanya untuk menenangkan diri dari amarah yang tengah menguasai hatinya. Tapi tiba-tiba saja kejadian di restoran tadi kembali terlintas di kepalanya. Ketakutan itu pun kembali ia rasakan. Dadanya langsung berdegup cepat. Keringat dingin pun mulai membasahi sekujur tubuhnya. Dengan cepat Alita membuka matanya kembali dan beranjak dari tempat tidurnya untuk menyalakan lampu utama. Ia putar pandangannya ke seluruh sudut kamarnya yang cukup besar itu, untuk memastikan kamarnya aman. Ketukan pintu yang cukup keras tiba-tiba mengagetkan Alita. Apalagi dibarengi dengan suara Sarah yang melengking. TOK!! TOK!! TOK!! “Buka pintunya Ta!” teriak Sarah dari luar kamar. Ia kembali mengetuk pintu dengan keras. Dari nada bicaranya, terdengar Sarah begitu marah. Alita kembali menjatuhkan tubuhnya di atas tempat tidur. Ia tutupi wajahnya dengan bantal dan berusaha tidak memperdulikan keributan di luar sana. “Udah lah Mah biarin aja dulu. Kita kan bisa bicara besok lagi,” bujuk Hardjono. “Ya ngga bisa gitu dong Pah. Papah tau sendiri tadi gimana sikap Alita waktu di restoran. Dari awal aja dia udah bersikap ngga sopan begitu. Gimana Mamah ngga emosi Pah??” “Iya tahu tapi ini kan udah malem. Ngga enak kalau didengar orang. Mamah juga, kenapa sih pake cara keras begitu. Kalo anak udah keras, ya ngga bisa dong dikerasin.” kali ini Hardjono bersikap lebih netral. Ia tahu, keduanya sama-sama emosi saat di restiran tadi. Ia pun tidak bisa menyalahkan salah satu pihak. Hardjono juga memahami kenapa Alita bersikap seperti itu. Pasti semua itu di luar kendalinya. “Kalo Mamah ngga begitu, mana mungkin Alita sadar. Pasti dia akan terus teriak-teriak ngga jelas begitu Pahh... apa Papah ngga malu?” “Udah mah, udah... yuk!” Tak berapa lama, suasana kembali hening. Rupanya Hardjono sudah berhasil membujuk Sarah untuk menyelesaikan masalah mereka esok hari. *** Keesokan harinya.. Nadine melirik ke arah Rangga dengan menahan tawanya. Namun Rangga tak menggubris. Ia langsung memalingkan wajahnya menatap ikan-ikan kecil yang bergerak menari-nari di dalam kolam ikan yang terletak di salah satu sudut taman. Sementara Alita dengan raut wajahnya yang masih terlihat sedikit pucat duduk bersandar di pagar gazebo kayu sambil memandang Nadine dengan tatapan kesal. “Lo ngga percaya sama gue??” cecar Alita dengan sedikit ketus. “Engga, engga... bukan gitu kok. Guee... percaya kok sama lo,” sahut Nadine meyakinkan, walaupin sebenarnya ia ragu dengan apa yang diceritakan Alita. “Ah! Lo sama aja kaya nyokap gue!” ucap Alita semakin kesal, membuat Nadine terdiam dengan bibir dimanyunkan. Ia takut jika Alita sudah memasang wajah garangnya. Pagi-pagi sekali Alita sudah meminta Rangga untuk menjeputnya. Tak tanggung-tanggung, pukul lima pagi Rangga sudah memarkirkan mobilnya beberapa meter dari rumah Alita. Tentu saja tak ada pilihan lain untuk Rangga. Ia sudah bisa membayangkan ocehan Alita jika ia tak menuruti permintaannya. Bisa sehari semalam Alita tak berhenti mengomel. Bahkan akan selalu ia ungkit setiap mereka bertemu. Ngakunya sahabat, tapi ngga pernah ada di setiap kita butuh, begitu biasanya yang akan selalu Alita ucapkan. Tak hanya Alita, tapi juga Nadine. Membuat Rangga seketika menjadi manusia lemah di depan kedua sahabat wanitanya itu. Begitu Rangga sudah sampai, diam-diam Alita kabur dari rumah sebelum kedua orangtuanya keluar dari kamar mereka. Ia tidak ingin melanjutkan pertengkaran mereka malam tadi yang sempat tertunda. Dengan membawa tas ransel yang cukup besar, Alita menyelinap keluar dan langsung menuju ke mobil Rangga. Sengaja ia membawa buku-buku kuliahnya dan beberapa setel baju dan perlengkapan sehari-harinya. Rencananya Alita ingin menginap dua atau tiga malam di rumah Nadine untuk menenangkan pikiran dan menghindari pertengkaran dengan orangtuanya. Ia pun juga butuh teman agar tak terlalu memikirkan hal-hal yang membuatnya hampir gila. Alita yakin kejadian demi kejadian yang dialaminya beberapa bulan ini bukanlah halusinasi efek obat-obatan yang diresepkan dokter kepadanya karena ia sudah tidak mengkonsumsinya lagi sejak satu bulan yang lalu. Tapi hal-hal aneh masih kerap terjadi padanya. Seperti pagi itu, ia kembali dipertemukan dengan pria berwajah pucat dalam mimpinya. Pagi itu, suasana masih agak gelap dan sepi, hanya ada beberapa orang penghuni perumahan yang terlihat tengah berlari pagi di sekitar komplek. Alita langsung menceritakan kepada Rangga apa yang membuatnya pergi sepagi ini saat Rangga menanyakannya. Tapi tiba-tiba saja Alita terdiam seribu bahasa. Wajahnya terlihat sangat ketakutan hingga ponsel yang sedang digenggamnya jatuh di atas karpet lantai mobil. Beberapa kali Rangga mencoba menggoyang-goyangkan tubuh Alita untuk menyadarkannya, tapi tak ada reaksi. Hingga beberapa menit kemudian akhirnya Alita tersadar, napasnya tersengal seperti baru saja berlari puluhan kilometer. Dengan terbata-bata, Alita ceritakan apa yang baru saja dilihatnya. Sayangnya pria itu sudah pergi begitu cepat sebelum ia sempat menunjukkannya pada Rangga. “Gue percaya sama lo kok Ta,” sahut Rangga dengan tatapan serius. Bagaimana mungkin Rangga tidak percaya? Tadi ia melihat sendiri bagaimana ekspresi wajah Alita yang begitu ketakutan, padahal Rangga tahu, Alita bukan gadis penakut. Alita tersenyum tipis. “Makasih Ngga,” jawab Alita singkat. Entah Rangga benar-benar percaya atau hanya sekedar mengiburnya. “Sayangnya tadi gue ngga liat orangnya, jadi gue ngga bisa bantu lo. Tapi kalo lo penasaran, mending lo tanyain aja deh kalo lain kali lo ketemu dia lagi. Tapi ati-ati, jangan-jangan dia bukan orang bener lagi.” Alita terdiam. Betul juga apa kata Rangga. Hanya ia yang tahu betul wajah pria dalam mimpinya itu. Ia tidak akan pernah menemukan jawabannya jika ia hanya diam dalam ketakutannya. Awalnya Alita pikir ini hanya sebuah kebetulan, tapi pemikirannya langsung berubah ketika pagi itu ia melihatnya kembali untuk kedua kali. “Ya udah ngga usah terlalu dipikiran. Kalo lo butuh bantuan gue, gue siap kok,” lanjut Rangga. “Gue juga siap bantu lo Ta,” ucap Nadine akhirnya dengan takut-takut sambil melirik ke arah Alita. “Tapi ngomong-ngomong, ganteng mana sama gue?” celetuk Rangga sambil mengangkat kedua alisnya ke atas, lalu tertawa. Usahanya berhasil untuk mencairkan ketegangan. Alita ikut tertawa, begitu juga dengan Nadine. “Jelas lah pasti ganteng dia. Kalo lo ganteng, lo ngga mungkin jomblo,” sahut Nadine sambil terkekeh. “Yee... kaya udah laku aja lo! Nih gue kasih tau. Gue itu perfectionist. Gue cuma mau cewek yang cakep, yang anggun, kalem... ngga kaya lo berdua.” “Eh sialan lo!” gerutu Nadine. Sementara Alita hanya tertawa tanpa menanggapi. “Eh, mau sarapan apa nih? Biar nanti gue minta Mbok Nar bikinin. Lagian lo berdua dateng pagi bener, pake ngga bilang lagi. Untung aja gue udah bangun.” “Nasi goreng aja deh, telornya dua ya... kalo ada bakso sosis juga boleh, ngga usah banyak-banyak. Minumnya orange juice,” jawab Rangga. Nadine melirik tajam ke arah Rangga yang selalu saja banyak maunya. “Emang lo pikir ini cafe??” sungut Nadine. Walaupun begitu, ia tetap beranjak dari tempat duduknya di gasebo taman depan rumahnya dan masuk ke dalam untuk meminta Mbok Nar membuatkan nasi goreng. Alita menoleh ke arah Rangga yang masih cekikikan melihat ekspresi wajah Nadine. Ia bersyukur memiliki sahabat seperti Nadine dan Rangga yang selalu ada di setiap ia membutuhkannya, terlepas dari bagaimana hubungan persahabatannya dengan Rangga dulu, ia sama sekali belum berhasil mengingatnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD