8. Perempuan Berbaju Merah

1911 Words
“Ya Ngga?” sapa Alita setelah ia mengangkat telepon Rangga. “Lo di mana? Kebiasaan deh lo berdua kalo janjian ngaret mulu,” protes Rangga di ujung telepon. “Nih, gue udah deket kok, bentar lagi juga nyampe. Di sini macet soalnya. Ngga tau di depan ada apaan,” sahut Alita sambil melongok ke depan dan ke samping. Suara klakson motor dan mobil pun terdengar saling bersahutan, seolah stidak sabar untuk melaju. Semua berusaha mencari celah agar dapat keluar dari titik kemacetan. “Oh, ya udah. Buruan! Ngga pake lama,” seru Rangga. “Iya,” jawab Alita santai. Alita kembali meletakkan ponselnya di jok samping. Sekali lagi ia melongok ke depan, memastikan apa yang membuat jalanan menjadi macet. Hari ini bukan hari minggu, tapi jalanan begitu ramai, padahal saat ini ia berada di kawasan yang terbilang cukup sepi di malam hari. Hanya ada beberapa cafe dan toko yang sudah tutup di deretan sekolah. Jarum jam pun sudah menunjukkan pukul setengah sembilan malam. Alita menoleh ke kanan dan ke kiri, siapa tahu ada seseorang yang bisa ia tanya. Tapi sayangnya ia berada tepat di depan sebuah Sekolah Dasar. Sudah tentu tidak ada seorang pun yang berada di sekitarnya malam-malam begini. Apalagi suasananya gelap karena cahaya hanya berasal dari lampu jalan, itu pun sebagian mati atau mungkin rusak dan belum diperbaiki. Tiba-tiba saja bulu kuduknya merinding, membuat Alita sedikit mengangkat bahunya. Takut-takut ia melirik ke arah jok belakang mobilnya melalui kaca spion dalam. Huft, selalu saja di saat begini pikirannya membayangkan hal-hal yang menyeramkan. Mungkin karena ia terlalu sering menonton film horor. Ini ada apaan sih? Ayo dong buruan, gerutu Alita dalam hati. Beruntung, tak lama kemudian mobil pajero sport berwarna putih di depannya sudah mulai melaju walaupun hanya beberapa meter. Alita sedikit bisa bernapas lega. Suara klakson mobil pun kembali terdengar, membuat Alita merasa tidak sendirian. Perlahan gerimis mulai turun dan membuat tanda air di kaca mobilnya. Semakin lama semakin membuat kacanya mrnjadi buram. Ia nyalakan wiper untuk membersihkan kaca depan dari rintik-rintik air itu. Mobil pun perlahan mulai melaju kembali dan berhenti di depan sebuah warung mie ayam “Pak, Pak...” paanggil Alita ketika melihat seorang pria paruh baya menyebrang tepat di depan mobilnya. Ia menjulurkan kepalanya di kaca jemdela mobil yang dibuka. “Ya Neng?” jawab Pria paruh baya itu sambil menghentikan langkahnya. “Maaf Pak, di depan ada apa ya?” “Oh, itu Neng, ada laki-laki yang tiduran di tengah jalan. Kayaknya sih lagi stress berat. Dari tadi bilangnya mau mati terus,” jawab pria paruh baya itu sambil berlalu. “Oh, makasih ya Pak,” ucap Alita sedikit keras karena pria itu sudah mulai menjauh. Ia pun kembali mamasukkan kepalanya ke dalam mobil lalu menekan tombol power window ke atas untuk menutup kaca mobilnya. Alita hanya menggelengkan kepalanya. “Hmm, ada-ada aja manusia jaman sekarang,” Setelah beberapa saat, jalanan sudah kembali lancar. Sepertinya laki-laki yang dimaksud tadi sudah diamankan oleh polisi karena ia melihat mobil polisi baru saja melintas berlawanan arah dengannya. Tapi tiba-tiba saja pandangan Alita terfokus pada seorang perempuan berbaju merah yang berdiri tepat di pinggir trotoar sebelah kanan. Perempuan itu berdiri tertunduk di depan sebuah toko yang sudah tutup dengan penerangan yang kurang. Alita memperlambat laju mobilnya karena penasaran. Ngapain sih malem-malem di situ?, batin Alita. Ia menurunkan kaca mobilnya kembali. Walaupun suaranya terdengar begitu pelan, tapi ia bisa mendengar dengan jelas perempuan itu menangis. Alita mempertajam penglihatannya dan berusaha menghindari mobil lain yang menghalanginya. Ia begitu penasaran ingin melihat wajahnya yang tertutup rambut panjang. Perlahan, perempuan itu mulai mengangkat kepalanya. Alita seolah terbius, tanpa berkedip ia terus memperhatikan perempuan itu. Brukk! Brukk! Brukk! “Woy! Mau bunuh diri lo?!? Kalo mau nglamun jangan di jalan!!” teriak salah seorang pengendara mobil di belakangnya sambil menggebrak pintu mobilnya sendiri. Alita tersentak dan kembali menatap ke depan. Suara klakson mobil dengan ketukan yang panjang terdengar begitu keras memekakkan telinga. Reflek, ia pun langsung membanting stir mobilnya ke arah kiri sambil menginjak pedal rem setelah menyadari laju mobilnya melewati batas jalan. Karena terlalu fokus, ia sama sekali tidak mendengar klakson peringatan dari mobil di belakangnya. Lagi-lagi Alita beruntung karena sedang tidak ada mobil lain yang melintas berlawanan arah. Apalagi kini ia berada di tikungan jalan. Bisa dibayangkan apa yang akan terjadi jika ada mobil yang berbelok dari arah kanan dengan kecepatan tinggi. Sekejap Alita memejamkan mata untuk menetralisir degup jantungnya yang tiba-tiba berdetak dengan cepat sebelum kembali menginjak pedal gas. Walaupun terburu-buru, ia masih sempat menoleh ke sisi kanan, di mana perempuan itu bediri. Mungkin saat ini ia sudah bisa melihat wajahnya dengan jelas. Alita menoleh ke kanan, kiri, depan, hingga ke belakang, tapi ia tak melihat siapa pun di sana. Rasanya tidak mungkin jika ia pergi secepat itu. Bulu kuduknya kembali berdiri. Kali ini ia tak bisa berpikiran positif. Tanpa pikir panjang, Alita langsung menginjak pedal rem cukup dalam tanpa menoleh lagi. Alita baru bisa merasa tenang ketika sudah sampai di parkiran Hellios cafe, tempat ia, Rangga, dan Nadine akan bertemu. Mereka baru bisa bertemu malam ini karena Alita baru saja selesai berkumpul dengan teman-teman di teaternya untuk membahas pentas seni yang akan diadakan sekitar dua bulan lagi. Bukan Alita namanya kalau tidak bisa memaksa Nadine untuk bertemu malam ini juga! Lingkup pertemanan Alita memang cukup luas dan banyak, tapi entah kenapa Alita merasa lebih dekat dengan Nadine dan..... Rangga. Ya! Itu sebelum Alita melupakan Rangga. Alita melangkahkan kakinya cepat masuk ke dalam cafe. Beberapa kali ia menoleh ke belakang. Rasa takut dan was-was masih menghantui pikirannya. Sejujurnya Alita bukan orang yang penakut, tapi entah kenapa kejadian demi kejadian yang menimpanya membuat nyalinya semakin lama semakin menciut. Berawal dari kecelakaan itulah, Alita kerap kali mengalami hal-hal yang tidak masuk akal, diluar nalar pikirannya. Semakin lama ia mulai menyadari hal itu, seperti barang-barang miliknya yang tiba-tiba berpindah tempat, hingga ia merasakan ada seseorang yang terus mengikutinya. Tapi orang-orang di sekitarnya, termasuk kedua orangtua Alita menganggap ia hanya berhalusinasi karena efek benturan di kepalanya saat kecelakaan terjadi atau akibat obat-obatan yang diresepkan dokter untuk memulihkan kondisinya. Semua orang seolah meremehkan apa yang terjadi padanya, dan menganggap itu sesuatu hal yang wajar untuk seseorang yang tengah “Ta!” panggil Nadine sambil mengangkat tangannya ke atas. Rupanya “miss telat” sudah datang lebih dulu, sebuah nama yang disematkan oleh Alita dan Rangga kepada Nadine karena kebiasaan buruknya itu. Alita langsung menoleh dan mendekat ke arah Rangga dan Nadine yang memilih duduk di sudut ruangan. “Lo sakit Ta? Kok lo pucet gitu. Lo kecapean?” tanya Nadine begitu Alita mendekat ke arah mereka. Ia tahu betul sejak Alita mulai masuk kuliah kembali, ia langsung menyibukkan diri dengan aktifitasnya yang segudang karena ia memang tidak betah tinggal di rumah. Dengan cepat, Rangga langsung menyingkirkan kotak tisu, bungkus rokok lengkap dengan koreknya, juga gelas minumnya yang ada di atas meja begitu melihat Alita melepaskan satu tali tas ransel dari punggungnya. Alita tersenyum melihat Rangga yang cepat tanggap dengan kebiasaannya itu. Ia pun meletakkan tas ranselnya di atas meja sebelum menjatuhkan tubuhnya dengan kasar di atas sofa, tepat di samping Nadine. Ia sandarkan kepalanya di sandaran kursi. Napasnya masih terdengar memburu. “Ta?!? Napa lo?” tanya Nadine lagi karena Alita tak menjawab pertanyaannya. “Eh, kenapa lo baru dateng? Bilangnya sebentar lagi tapi hampir setengah jam ngga dateng-dateng. Gimana sih lo?” protes Rangga sambil menyulut batang rokoknya. Rangga bukan perokok berat. Ia hanya sesekali saja merokok ketika ada sesuatu yang mengganggu pikitannya. Dan akhir-akhir ini, ia lebih sering mengkonsumsinya. “Iya nih, gue aja udah dateng duluan. Masa lo kalah dari gue,” timpal Nadine sambil tertawa. Hari ini adalah kedua kalinya mereka bertemu setelah Alita sudah bisa beraktifitas kembali seperti sedia kala, walaupun jalannya masih sedikit terpincang dan harus benar-benar berhati-hati. Sebenarnya dokter masih menyarankan Alita untuk tetap melanjutkan fisioterapi atau terapi fisik untuk benar-benar memulihkan kondisi kakinya, tapi rasanya Alita sudah lelah harus bolak balik ke rumah sakit. Lagi pula ia merasa sudah bisa beraktifitas seperti biasa. Sampai detik ini, Alita memang belum bisa mendapatkan kembali memorinya yang hilang, tapi hubungan persahabatannya dengan Rangga berusaha ia jalani walaupun sudah pasti tidak akan senyaman saat bersama Nadine. Apa pun sudah Nadine lakukan untuk membuat Alita mengingat Rangga. Ia kumpulkan semua foto-foto mereka bertiga, mengajaknya ke tempat-tempat di mana mereka sering berkumpul, bahkan Nadine sampai mengajak Alita ke rumah Rangga dan bertemu ibunya. Tapi sepertinya usahanya tidak berhasil. Sebenarnya Alita pun juga sudah membaca sendiri pesan-pesannya bersama Rangga dari ponselnya. Dari situ ia tahu, dulu ia begitu dekat dengan Rangga. Tapi tetap saja ia merasa tidak mengenal Rangga dan selalu merasa canggung jika berada di dekatnya. Berbeda dengan Alita, Rangga berusaha tetap bersikap seperti biasa kepada Alita. Ia berharap dengan sikapnya itu, perlahan Alita bisa segera mengingatnya. “Lo mau minum apa?” tanya Rangga pada Alita, karena Rangga dan Nadine sudah memesan lebih dulu sebelum Alita datang. Alita memperbaiki posisi duduknya. “Apa aja deh… samain aja,” jawab Alita. Obrolan pun mulai mengalir di antara mereka sembari menunggu pesanan mereka datang. Sementara Alita sudah mulai tenang dan tidak lagi memikirkan hal-hal buruk yang baru saja terjadi padanya. *** Tak terasa jarum jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Sepertinya waktu memang tidak akan pernah cukup untuk mereka berkumpul dan saling bercengkerama walaupun mereka habiskan semalam suntuk. “Eh, udah malem, balik yuk…” ajak Rangga. Ia menyeruput lemon squash-nya yang tinggal setengahnya hingga habis. “Yaaah… bentar lagi dong,” rengek Nadine. “Yee… lo pada nyadar ngga sih, kalian tuh cewek-cewek, kalo ada apa-apa gimana? Udah yuk ah!” Rangga langsung berdiri dan menuju ke kasir. Jika tidak begitu, sudah pasti Alita dan Nadine tidak akan beranjak dari tempatnya. “Yaahh…” keluh Nadine sambil memajukan bibirnya beberapa senti. Walaupun begitu ia tetap beranjak dari tempat duduknya. Begitu juga dengan Alita yang tak banyak protes jika Rangga yang memintanya. Bahkan ia menjadi lebih pendiam jika bersama dengan Rangga. “Udahh… ayok ah.” Alita menarik tangan Nadine menuju ke luar cafe sambil menunggu Rangga membayar pesanan mereka. Di luar, udara terasa semakin dingin, apalagi gerimis masih saja turun, membuat suasana semakin senyap. Alita merasakan kembali perasaannya tidak enak. Berkali-kali ia menoleh ke belakang karena merasa ada seseorang yang memperhatikannya. Hingga tiba-tiba Alita menjerit dan langsung menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya, bersamaan dengan Rangga yang baru keluar dari dalam cafe. “Kenapa Ta??” tanya Nadine panik. “Lo berhalusinasi lagi??” Nadine langsung menanyakan hal itu karena Mamah Alita sendiri yang mengatakan bahwa Alita kerap berhalusinasi. “Ee-ngga, ngga papa kok... cuma kaget aja,” jawab Alita sambil melirik Rangga yang berjalan mendekat ke arah mereka. “Ya udah yuk... eh, gue nebeng ya Ta. Gue ngga bawa mobil nih. Tadi mobil gue dibawa nyokap,” ucap Rangga kepada Alita. Alita hanya mengangguk. “Sini, mana kunci mobil lo.” Alita pun langsung menyerahkan kunci mobilnya pada Rangga tanpa banyak bicara. “Lo ati-ati ya Nad. Nanti kabarin kalo udah sampe rumah,” pesan Rangga. Ia terpaksa berbohong agar ia bisa mengantar Alita pulang. Ia tahu Alita sedang tidak baik-baik saja sejak kedatangannya di cafe itu. Entah itu halusinasi atau bukan, tapi ia tahu Alita sedang merasakan ketakutannya, dan Rangga tidak tega melihat sahabatnya ketakutan seperti itu. Ia pun berniat untuk kembali ke cafe itu untuk mengambil mobil miliknya setelah sampai di rumah Alita. Kebetulan rumahnya tidak begitu jauh dari rumah Alita sehingga Alita sama sekali tidak curiga. “Iya, beres Bos!” Mereka pun akhirnya berpisah di parkiran cafe.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD