Perjodohan?

1061 Words
Bukan lagi hal baru bagi Vano kalau ia menikmati keindahan dan segarnya udara pagi di balkon kamarnya. Jika ada pengintai, mungkin orang itu akan mudah menemukannya. Namun, sejauh ini Vano belum pernah mencurigai seseorang mengintai dirinya. Tanpa menghidupkan lampu kamarnya, Vano melangkah dengan santai ke balkon yang sudah hampir dua puluh tahun ia tempati. Balkon ini merupakan satu-satunya tempat favorit yang selalu menemaninya hingga dewasa. Bahkan, hampir segala pekerjaan kampus dan lain sebagainya ia lakukan di balkon ini. Selain karena menyenangkan, tempat ini juga sangat berkesan untuknya. Perhatikan Vano tiba-tiba tertarik kepada sosok gadis gadis yang berdiri tepat di seberang jalan sana, di depan balkon kamarnya. Aleeza, begitu lah nama anak tetangga barunya yang kemarin mengantarkan makanan ke rumahnya. Vano memperhatikan gadis yang sedang merentangkan tangan itu dengan lekat. Ia bukannya tertarik karena body Aleeza yang aduhai. Tidak, Vano hanya bertanya-tanya apa gadis itu tidak kedinginan mengenakan pakaian setipis itu di cuaca yang dingin ini? Hah, ia yang kini mengenakan celana training dan kaos oblong saja dibuat menggigil. Gadis itu membuka mata dan langsung terperanjat saat melihatnya. Vano menyadari hal itu, karena sebenarnya ia juga sedikit terkejut saat tatapan mereka bertemu. Melihat gadis itu berbalik badan dan menunduk, Vano cukup tau yang sedang dilakukan gadis itu. Sebenarnya, ia masih ingin menikmati udara pagi segar, namun kehadiran Aleeza di sana membuat Vano mengurungkan niatnya itu. Apalagi, saat melihat Aleeza yang salah tingkah, gadis itu mungkin akan malu menatap wajahnya setelah menyadari kalau kancing bajunya tidak terpasang dengan baik. Demi menjaga perasaan Aleeza, Vano akhirnya berbalik cepat dan masuk ke kamar sebelum gadis itu melihatnya. Lampu kamarnya yang mati mungkin membuat Aleeza tidak menyadari keberadaannya yang sebenarnya memperhatikan gadis itu dari atas tempat tidur. Vano melihat Aleeza memukul kepalanya dan itu membuatnya keheranan. Entah apa yang barusan diucapkan gadis itu karena ia hanya bisa melihat pergerakan Aleeza dari kejauhan. Vano yang melihat Aleeza beberapa kali memukul kepalanya hanya menggeleng-geleng kecil. Kelakuan gadis itu sedikit aneh menurutnya. Setelah melihat Aleeza kembali masuk ke kamarnya, Vano terdiam. Ia seperti kehilangan objek penghibur yang pagi ini membuat moment baru menyambut paginya. Jika hari-hari sebelumnya ia hanya melihat pemandangan lingkungan di sekitar rumahnya, hari ini ia seperti melihat bidadari yang sengaja di kirim ke depan rumahnya. Bidadari? Hah! Vano terkekeh pelan. Bisa-bisanya ia menyamakan anak tetangga itu dengan bidadari yang cantik. Ayolah, itu sangat berlebihan. "Cantik sih...," gumam Vano tanpa sadar. Ia kemudian menggeleng kecil. Ini bukan saat yang tepat untuk ia memikirkan seorang gadis. Apalagi, gadis asing yang bahkan belum diketahui seluk-beluknya. Sekarang ia harus fokus pada karir dan masa depannya. Ia harus bisa wisuda bulan depan. Yah, itulah target Vano selanjutnya. __________ Langit sudah sangat cerah saat Vano selesai menyantap makanannya bersama keluarga. Hidangan pagi sangat lezat, sama seperti biasanya. Tentu saja semua menu itu di masak oleh mama tercinta yang saat ini duduk manis di seberangnya. "Van, kalo udah wisuda kamu bantuin Abangmu ngurus perusahaan ya?" ujar Kamil yang juga sudah selesai makan. Vano yang tadinya sedang memperhatikan keponakannya makan langsung menatap sang papa yang tampaknya akan memulai pembicaraan serius. Menghela napas sesaat, Vano kemudian mengangguk singat. Bukan tanpa alasan ia bereaksi seperti itu, karena sebenarnya menjadi pemimpin di perusahaan bukan bagian dari target Vano. "Iya, Pa. Sesekali Vano bakalan bantuin Abang, tapi cuma sesekali karena Vano mau fokus jadi dosen aja," jawabannya. Kamil yang mendengar hal itu mengangguk singkat. Ini bukan yang pertama kalinya ia melayangkan pertanyaan seperti itu kepada putranya dan jawabannya hampir sama seperti sebelum-sebelumnya. "Van, nanti kalo udah wisuda kamu gak ada niatan lanjut S3 kan? Mama harap sih enggak ya. Stop dulu lah belajarnya, kamu cari jodoh aja dulu." Maida yang duduk di sisi kanan Kamil ikut menimpali sembari tersenyum manis menatap putra bungsunya. Maida sengaja bertanya demikian untuk berjaga-jaga apakah putranya yang hobby belajar itu akan melanjutkan pendidikannya dan melupakan keinginan mereka yang ingin segera memiliki menantu. Vano terdiam. Ia lantas mengambil air minum dan meneguknya. Sepertinya, ia tau ke arah mana pembicaraan mamanya ini. Ayolah, pembahasan dengan sang papa baru saja berakhir dengan mudah, kini mamanya malah memancing konflik. "Betul apa kata mama kamu. Sudah 18 tahun kamu menimba ilmu dan sekarang kamu harus memikirkan masalah keluarga kamu di masa depan. Kalo kamu belajar terus, kapan kamu bisa dapat pacar? Jangan sampai kamu jadi lajang tua," Kamil menambahi. "Iya, Van. Jangan buat aku malu deh karna punya adek yang gak laku kayak kamu." Varo menahan senyumnya, mengejek Vano yang mungkin akan tersinggung dengan celetuknya yang hanya sebuah gurauan. "Tuh, Abang kamu aja udah punya anak, padahal umur kalian gak beda jauh kok," timpal Maida, lagi. Varo dan istrinya, Meesa menahan tawa di wajah mereka saat Vano menatap mereka dengan tajam. Varo tentu suka dengan pembahasan kali ini karena ia juga sudah menunggu-nunggu kapan hari pernikahan adiknya yang terlalu tidak memikirkan perempuan itu tiba. "Atau perlu mama dan papa carikan pasangan yang tepat untuk kamu?" "Enggak usah, Pa. Vano bisa cari sendiri." Vano langsung menjawab perkataan sang papa. Itu bukan pilihan yang tepat. Ia masih bisa mencari sendiri pasangan yang tepat untuknya. Hanya saja, sekarang bukan waktu yang tepat. Vano sedang tidak berpikir kearah tersebut. Fokusnya saat ini hanya kepada pendidikan dan karir. Lagipula, mau dikasih makan apa nanti istri dan anaknya kalau ia menikah di saat dirinya belum mapan. Bagi seorang Evano Faeyza itu tidak mungkin. Ia harus memikirkan hal itu matang-matang dan mencari wanita yang bukan sembarangan. Ini semua demi masa depannya dan keluarganya kelak. "Selalu aja jawabnya gitu. Buktinya sampai sekarang kamu gak bisa nyari, tuh. Sampai sekarang kamu juga gak pernah bawa cewek ke rumah ini." Varo sepertinya sangat ingin memanas-manasi adiknya itu. Bahkan, saat Meesa mencubit lengannya, meminta diam, Varo hanya mengangguk singkat dan tetap melanjutkan celotehannya. "Betul kata Varo. Dari dulu mama lihat kamu gak pernah bawa cewek kemari. Palingan cuma bawa si Zenia, itupun karena kita tetanggaan makanya kamu dekat sama dia," tukas Maida yang kini juga sudah selesai sarapan, menyisakan gadis kecil yang cantik dan imut lah yang masih tampak enteng melahap makanannya. "Gimana kalo kamu mama jodohkan dengan anak tetangga yang baru pindah itu?" Maida dan yang lainnya tersenyum senang mendengar ide cemerlang itu. Sangat berbeda dengan Vano. Wajahnya langsung masam dan menggeleng kecil. Ia tau siapa anak tetangga yang kini dimaksud oleh mamanya. Tapi, itu bukan pilihan yang bagus untuk Vano. Ia tentu menentang keras rencana mamanya tersebut. Aleeza bukan gadis yang masuk dalam kategori pendamping hidupnya kelak.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD