Pagi-pagi sekali, Aleeza bangun dari tidurnya saat jam beker yang ada di nakas samping tempat tidurnya berdering keras, bahkan sampai membuatnya terkejut dan langsung terduduk. Pusing langsung melandanya saat itu juga. Aleeza masih sangat mengantuk, matanya yang masih setengah terbuka menatap jam dinding dengan tidak jelas.
"Huamm." Sekalipun masih mengantuk, Aleeza tidak boleh kalah dengan godaan setan terkutuk yang saat ini mungkin sedang senam ria di kelopak matanya, atau mungkin setan-setan yang sedang bergelantungan di matanya jauh lebih banyak dari pada pagi-pagi sebelumnya. Soalnya, pagi ini Aleeza merasa matanya sangat berat, berbeda dari pagi biasanya.
Berhenti menyalakan setan. Ini mungkin bukan salah mereka. Aleeza tau persis mengapa matanya sangat berat. Semua ini gara-gara lelaki tanpa itu, siapa lagi kalau bukan Evano, anak tetangga yang ternyata sudah memiliki anak. Gara-gara pria itu, Aleeza jadi kepikiran dan merutuki nasibnya yang tidak seberuntung teman-teman di kampusnya yang bisa berkencan dengan mudah.
Aleeza sendiri masih tidak mengerti dengan dirinya yang tiba-tiba bertingkah aneh dan sangat berbeda dari biasanya. Ayolah, ini bukan dirinya yang sesungguhnya. Aleeza bukan wanita yang suka mengejar pria tampan apalagi sampai galau. C'mon, ini benar-benar aneh. Dirinya seperti sedang dirasuki oleh Della, teman kampusnya yang suka mengejar cinta pria tampan.
"Mama, tolong la anakmu yang sedang bingung. Merasakan pahitnya cinta yang bahkan belum bertunas namun sudah dibantai anak tetangga," celetuk Aleeza pelan.
Mungkin kesadaran Aleeza belum sepenuhnya kembali sehingga ia berkata demikian tanpa mengetahui kalau sang mama sedang berdiri di ambang pintu sambil menatapnya heran.
"Alee, kamu kenapa, Nak? Lagi galau? Kok rambutnya acak-acakan begitu? Kayak habis kesetrum aja." Puas mengamati putrinya, Mila bertanya sambil geleng-geleng tanpa masuk ke kamar sang anak yang masih diterangi oleh lampu nakas.
Aleeza yang mendengar suara sang mama terlonjak kaget seraya menyapu dadanya yang tiba-tiba berdetak kencang.
"Mama, ih. Alee kira siapa. Ngagetin aja," ujarnya sambil merapikan anak rambut dan meringis pelan saat ingat akan celetukannya barusan.
"Kamu kuliah kan pagi ini? Sana siap-siap," suruh Mila saat melihat Aleeza hanya diam di tempatnya dan menyengir lebar. Putrinya itu sedikit aneh pagi ini.
"Iya, Ma. Ini juga mau siap-siap," sahut Aleeza, lalu beranjak dari istana kapuk yang dingin, yang sekarang mungkin sedang menarik kakinya untuk kembali berbaring dan memejamkan.
Aleeza mengelus dadanya saat mamanya pergi dari ambang pintu. Ah, bisa-bisanya tadi ia tidak menyadari mamanya datang dan memperhatikannya. Ia juga bertanya-tanya apakah Mila sempat mendengar celetukannya tadi atau tidak. Sudahlah, kalau pun dengar, mamanya juga mungkin tidak mengerti.
Aleeza berjalan mendekat jendela, kemudian membuka tirai yang langsung memperlihatkan indahnya pekarangan perumahan di sana. Aleeza kemudian berjalan ke arah balkon. Udara yang dingin dan basah langsung menerpa kulitnya yang terbuka. Piyama tidurnya yang tipis dan tergolong seksi bahkan sampai tersibak saat angin berhembus.
Lampu-lampu di jalan masih menyala menerangi jalanan di dekat rumahnya, bertanda langit masih gelap dan lampu itu masih dibutuhkan fungsinya. Aleeza berdiri di ujung balkon, tepat di depan pagar hitam yang tampak kokoh.
Merentangkan tangannya, Aleeza menghirup udara segar sebanyak mungkin untuk cadangan agar tidak mengantuk saat di kelas. Matanya terpejam menikmati udara segar yang masuk ke paru-parunya dan menikmati udara dingin yang membelai tubuhnya. Ayolah, angin sepoi-sepoi itu membuat piyama tidurnya tersingkap lebih tinggi hingga menampakkan pahanya yang putih dan mulus. Piyama dengan bagian leher yang rendah itu membuat penampilan Aleeza sangat seksi dan b*******h. Belum lagi rambut sebahunya yang sedikit berantakan, membuat penampilannya semakin komplit.
Menurunkan kembali tangannya, Aleeza perlahan membuka matanya yang sudah tidak seberat tadi. Ia langsung terlonjak kaget dan matanya melebar saat melihat sosok pria berwajah datar sedang menatap dengan lekat. Itu Vano! Aleeza langsung berbalik badan, memunggungi Vano yang berdiri di depan balkon kamarnya. Ia langsung mengecek kancing baju piyamanya.
"Akhh, apa dia melihatnya?" Aleeza langsung mengancingkan baju di bagian dadanya, lalu kembali berbalik dan menatap Vano yang ternyata masih melihat ke arahnya.
Aleeza grogi. Ia bingung arus melakukan apa. Pria yang tadi malam berkelana di pikirannya kini tepat berdiri di hadapannya, walaupun dengan jarak yang tidak begitu dekat. Aleeza memperbaiki rambutnya dengan salah tingkah. Jangan sampai Vano melihat rambutnya yang belum di sisir ini. Sial, mana mungkin pria itu tidak melihatnya. Jatuh sudah harga dirinya di depan Evano pagi ini. Mengapa juga pria itu harus memperhatikannya sepagi ini? Apa tidak bisa nanti saja saat ia sudah berdandan cantik dan wangi?
Astaga, apa ini? Ini bukan dirinya! Aleeza yang biasanya bukan seperti ini. Kenapa semenjak tinggal di rumah baru ini ia jadi gila dan tidak bisa berpikir jernih. Aleeza memukul kepalanya pelan. Ia harus segera sadar. Pikirannya harus disadarkan kalau apa yang ia lakukan saat ini salah. Mungkin, sebelum pindah ke rumah ini, ia pernah terbentur sehingga otaknya tidak bisa berpikir jernih. Bisa-bisanya ia gugup hanya karena ditatap oleh Vano.
Aleeza mengangkat kepalanya untuk menyapa Vano. Namun, sosok itu telah hilang dari pandangannya.
"Kemana dia? Bisa-bisanya dia masuk tanpa menyapaku. Pria aneh," gerutu Aleeza sembari memperhatikan pintu balkon Vano yang tertutup rapat.
Aleeza manyun. Bibirnya maju beberapa centi karena kesal kepada Vano yang kini tidak lagi ada di depannya.
"Kenapa tadi gue nunduk, bego banget sih gue." Aleeza sedikit kecewa karena tadi tidak memperhatikan wajah tampan Vano. Andai aja tadi ia tidak malu dan salah tingkah, mungkin ia bisa mengatakan sepatah kata kepada pria itu. Tapi, nasi sudah menjadi bubur. Ia tidak bisa mendengar suara pria itu lagi.
"Ah gak-gak. Kalo gue nyapa dia, belum tentu juga di balas. Untung aja mulut gue masih bisa berpikir dengan jernih. Cukup deh otak gue aja yang koslet kalo jumpa si Vano." Aleeza kembali memukul kepalanya pelan seraya menggeleng kecil.
Sudah cukup kemarin malam ia tidak bisa tidur gara-gara memikirkan status Vano dan anak pria itu, sekarang tidak boleh lagi. Ia harus fokus dengan kelasnya pagi ini. Jangan sampai ia dimarahi dosen karena melamun dan memikirkan Vano lagi. Itu tidak boleh.
"Sial, bisa-bisanya gue mikirin cowo yang udah punya anak. Sadar Alee, lo salah tempat." Lagi, Aleeza kembali memukul kepalanya.
Ia tidak boleh semakin jatuh hati kepada Vano hanya karena ketampanan pria itu. Tidak boleh! Aleeza cantik, jangan sampai ia menyukai pria beristri. Jangan sampai ia merusak rumah tangga orang lain.
"Vano sialan," umpatnya seraya mendesis tajam melihat kamar Vano yang gelap, lalu berbalik dan memasuki kamar.
Aleeza harus bersiap-siap dan berangkat ke kampus. Ia harus melupakan Vano sejenak. Sejenak? Tidak-tidak! SELAMANYA.