Seorang wanita dengan pakaian formal khas pekerja kantoran memasuki ruangan yang cukup besarcukup besar. Kakinya melangkah menghampiri seorang laki-laki yang tengah berkutat dengan setumpuk kertas-kertas berserakan di atas meja.
"Ini grafik penjualan selama dua minggu terakhir yang anda minta, Pak.” Wanita bernama Henny menyerahkan sebuah map berwarna biru.
Tangan Bram meraih berkas yang diserahkan oleh Henny selaku asistennya sebagai manajer utama. Tangan Bram dengan cekatan membuka dan dibacanya dengan seksama.
“Laporannya sangat jelas dan terperinci. Kinerjamu sangat bagus, Henny. Padahal kamu baru bekerja sekitar dua bulan." Komentar Bram yang masih sibuk membaca berkas tersebut.
"Terima kasih, Pak. Baiklah kalau begitu, saya harus kembali, masih ada hal yang harus saya kerjakan, saya permisi," kata Henny. Namun baru saja ia hendak berbalik, tiba-tiba Bram memanggilnya kembali.
"Umm tunggu," cegahnya, "begini, aku ada beberapa ide untuk proyek baru yang sedang kita kerjakan, aku butuh teman untuk membicarakannya, kau bisa?"
"Kapan waktunya, Pak?"
"Kalau mengambil jam istirahat, sepertinya tidak akan cukup, jadi bagaimana kalau setelah bekerja saja?"
"Setelah bekerja? Maksud bapak malam hari ini?" tanyanya bingung.
"Ya, begitulah, tidak ada waktu lain selain setelah bekerja, mungkin sekalian makan malam?"
"Emm ..., apakah itu mendesak, Pak?" tanyanya hati-hati.
"Ya tidak genting juga, sih, tapi ini demi proyek baru kita, aku ingin proyek baru kita di Bandung semakin berkembang lagi, para dewan direksi terus menuntut lebih."
Dengan berat hati Henny menjawab, "Baiklah, saya bersedia."
"Akhirnya bisa juga." Gumam Bram dalam hati.
"Oh ya, kamu sudah makan siang?"
"Sudah, Pak. Kalau begitu, saya izin kembali, masih ada beberapa hal yang harus segera saya selesaikan."
Henny pun keluar ruangan kerja Bram. Berjalan menjauh lalu mengeluarkan ponselnya. Menekan tombol 3 pada opsi panggilan cepat.
"Halo."
"Iya? Ada apa?"
"Seph, kita tak bisa pergi malam ini, aku ada acara."
"Lagi?"
"Maaf, maaf sekali."
"Gak apa apa."
"Iya, jadi, mau hari apa?"
"Aku bisa meluangkan waktuku untuk makan malam denganmu kapan saja. Jadi, sekarang itu tergantung padamu, kamu bisa kapan? Aku tidak mau egois."
"Nanti aku kabari lagi, oke?"
"Iya, gak masalah. Ya sudah aku tutup ya, jam istirahatku sudah hampir habis. Jangan lupa makan siang."
"Iya."
Henny menghela napas berat. Janjinya dengan Sephtio terus di undur sejak seminggu yang lalu. Janji untuk makan malam bersama, ada perasaan tidak enak yang menyelimuti hatinya.
Henny berjalan menuju lift dan menekan tombol bertulis kan angka 10. Namun, baru saja lift tersebut turun ke lantai 27, pintu lift pun terbuka, menampakkan seorang wanita yang tengah menunggu pintu lift terbuka, seseorang yang sudah tidak asing bagi Henny.
"Mba Maya? Mau ke mana, Mba?" Tanya Henny.
"Oh Henny, ini, mba mau ke lantai satu, ada yang harus diurus." Jawab Maya sembari menekan tombol bertulis kan angka satu di lift tersebut.
"Oh ya Mba, mengenai pengunduran diri Mba, jadi kan?"
Maya tertawa kecil, "Jelas lah, kalo gak jadi, sama aja mba gak jadi nikah."
Henny pun ikut tertawa kecil. "Lalu Pak Kevin bagaimana? Maksudku, siapa yang akan menggantikan posisi Mba?"
"Tenang saja masalah siapa sekretaris nya nanti, aku sudah dapat, namanya Sueny Anya."
"Aku senang. Wah, dia pasti hebat dan berpengalaman, tahan banting juga pastinya," kata Henny dengan nada bercanda.
"Hahaha kamu ini bisa saja. Tahu saja yang cocok untuk Kevin itu seperti apa. Tapi tidak juga sih, aku tak tahu sehebat apa kinerja nya, dia lulusan Singapura, tapi, sebelumnya dia belum pernah bekerja di mana pun."
"Lalu kenapa Mba memilih nya?"
"Aku perlu seseorang yang tahan dengan Kevin. Dia orang yang paling tepat untuk Kevin. Aku percaya padanya."
"Bagaimana Mba bisa begitu yakin?"
"Karena mba tahu betul seperti apa Kevin. Tapi tetap saja, mba titipkan Sueny padamu."
"Ya, aku harap begitu, Mba. Semoga dia bisa bertahan lama."
"Tenang saja, mba yakin."
"Ya sudah Mba, Henny duluan ya," kata Henny.
Pintu lift terbuka saat Henny sudah berada di lantai 10. Suasana kantor yang sedang hiruk pikuk, masing-masing orang sibuk berkutat dengan pekerjaan nya. Suasana kantor kerap kali membuatnya bosan.
Henny menghela napas berat, "Maafkan aku Bram, aku pun ragu." Henny bergumam dalam hati.