Hampir tujuh jam sudah Sueny dan Kevin berada di Jakarta Utara, sibuk mengawasi pembangunan dari proyek baru mereka. Selama tujuh jam itu pula—mereka hanya beristirahat beberapa saat—Sueny dan Kevin sibuk mondar-mandir, naik-turun, berbincang-bincang, serta Sueny pun harus mencatat beberapa hal yang diperintahkan oleh Kevin untuk dicatat, melelahkan juga.
Kini mereka dalam perjalanan pulang, namun sayangnya jalanan Jakarta macet. Sudah hampir pukul sepuluh malam, namun mereka masih terjebak kemacetan.
Pikiran Sueny kembali teringat pada hal-hal yang terjadi beberapa jam yang lalu. Saat itu, Sueny sudah mulai merasa lelah karena Kevin selalu berjalan kesana-kemari dan ia harus mengikutinya. Kevin mengatainya dengan berbagai hal, mulai dari lambat, manja, lemot dan berbagai macam kata-kata yang jujur saja membuat Sueny jengah.
“Sekarang sudah hampir pukul sepuluh malam. Di mana rumahmu? Biar Pak Herman bisa mengantarmu ke rumahmu,” kata Kevin.
“Mengantar saya ke rumah? Bapak juga ikut?” tanya Sueny.
“Pak Herman, bukan aku," kata Kevin penuh penekanan, "Aku masih harus ke kantor.”
"Tidak usah repot-repot, Pak.”
“Cukup katakan saja di mana alamat rumahmu kepada Pak Herman. Jangan banyak bicara! Lagipula yang repot bukan aku, tapi Pak Herman.”
Tunggu, mengatakan alamat rumah katanya? Menyebutkan di mana alamat rumah papa? Kalau aku menyebutkan alamat rumah papa yang berada disalah satu kawasan perumahan elite, apakah itu tidak mencurigakan? Bukankan itu sama saja dengan aku menggali kuburku sendiri? Itu dapat mengungkap identitas keluargaku lebih cepat. Tidak tidak, tidak boleh!
“Sepertinya tidak usah, Pak. Turunkan saja saya di tempat penitipan mobil yang berada di dekat kantor. Ada teman saya yang sedang menunggu di sana." Sueny terpaksa berbohong. Ya, ke depannya ia pasti akan lebih banyak berbohong lagi. Lagipula, mobilnya masih ada di penitipan itu.
“Yakin? Aku tidak akan menawarkannya lagi,” kata Kevin dingin.
“Iya Pak, tidak apa-apa,”
***
Hari ini Sueny datang lebih pagi dari kemarin, ia tak mau jika harus dimarahi karena kesiangan seperti kemarin. Namun jujur saja, matanya masih terasa berat, semalam ia tidur larut malam dan ia bangun jauh lebih pagi dari biasanya.
Jam baru menunjukkan pukul 07.20 namun Kevin sudah tiba di kantor. Akhirnya Sueny pun maklum apa yang membuat Kevin begitu tidak suka terhadap karyawannya yang terlambat, Karena Kevin sendiri datang sepagi ini ke kantor.
“Kamu sudah datang?” tanya Kevin saat melihat Sueny sudah duduk manis di depan ruangan kerjanya.
“Jika saya belum datang, lantas Bapak sedang berbicara dengan hantu?”
Namun Kevin tak menjawab kata-kata Sueny dan memilih untuk sekadar melewatinya dan masuk ke dalam ruangannya. Jujur saja Sueny merasa sedikit kesal, apakah ia salah kata-kata? Setidaknya, sekali pun kata-katanya salah, apakah mengabaikan seseorang termasuk kepada tindakan yang pantas?
Waktu terus berlalu, tanpa terasa, kini jarum jam sudah menunjukkan pukul 08.00, tandanya jam masuk kantor telah tiba. Tiba-tiba datanglah seorang pria berjas ke depan ruangan Sueny. Ia menatap laki-laki itu bingung. Dikumpilkannya keberanian untuk bertanya.
“Maaf, ada apa, ya?”
“Jadi kamu sekretaris baru Kevin?”
“Iya,”
“Perkenalkan namaku Bram, Bram Pramastio,” katanya sembari mengulurkan tangan.
Sueny membalas uluran tangan itu, “Sueny Anya, saya sekretaris baru di sini.”
“Wah aku tidak menyangka kalau sekretaris barunya ternyata masih muda dan sangat cantik. Aku benar-benar berharap kau betah bekerja di sini,” kata Bram antusias.
“I--ya,” jawab Sueny canggung.
“Tidak perlu canggung begitu, santai saja, lagipula sepertinya kita seumuran bukan?”
“Mungkin.”
“Intinya tidak usah terlalu formal kalau bukan dalam keadaan resmi. Oh ya sebagai perkenalan, bagaimana kalau kita makan siang bersama?”
Sueny tertegun sejenak, leelaki di hadapannya ini mengajaknya makan siang bersama? Ya Tuhan, Sueny bahkan baru mengenalnya sekitar tiga menit.
“Maaf, Pak. Bukannya saya menolak, tapi saya sudah ada janji makan siang dengan Mbak Henny, tidak enak kalau ditolak.”
Kebetulan, tadi pagi Sueny kembali berpapasan dengan wanita yang mengantarnya kemarin, namanya Henny. Dalam rangka membangun pertemanan dengan para karyawan lain di kantor, Suney pun berinisiatif mengajaknya makan bersama.
“Wah justru itu lebih bagus lagi, bersama Henny? Ayo kita makan siang bersama.”
Sebenarnya Sueny merasaa sedikit canggung apabila ia harus makan siang bersama dengan Bram, tapi sepertinya orang ini berkeras, tidak enak juga kalau Sueny terang-terangan menolaknya. Akhirnya Sueny menyetujuinya. Pikirnya, toh di sana ia akan bersama Henny juga.
Bram pun masuk ke ruangan kevin. Sueny tak tahu apa yang mereka bicarakan, dan ia sama sekali tak tertarik. Setelah berada di dalam sekitar dua puluh menit, Bram akhirnya keluar. Ia menyapa Sueny, dan hanya dibalas oleh kata-kata cangung.
***
Berjalan di samping Bram benar-benar terasa canggung bagi Sueny. Orang-orang menatap mereka. Lagi-lagi Sueny harus merasakan tatapan heran orang-orang menemani langkah kakinya. Mungkin mereka akan mengatai Sueny ini itu di dalam hati, dan ia sudah mencoba untuk tak terlalu peduli lagi. Ia mencoba menguatkan hatinya, padahal ini baru hari keduanya bekerja.
Dilihatnya Henny sudah duduk disalah satu bangku kantin. Awalnya ia tak menyadari kehadiran Sueny dan Bram, namun ketika ia merasakan seseorang duduk di hadapannya, ia pun tersadar. Wajahnya tampak heran ketika menatap Sueny ternyata bersama Bram juga.
“P--pak Bram, Anda juga makan siang bersama Sueny?” tanya Henny canggung.
“Iya, tadi aku mengajaknya makan siang, dan katanya ia sudah memiliki janji bersamamu, jadi menurutku akan lebih bagus kalau kita bisa makan siang bersama.”
Henny hanya tersenyum tipis lalu mengangguk canggung dan mengalihkan pandangannya ke buku menu. Mereka memilah menu sesuai dengan keinginan masing-masing.
Oh Tuhan, atmosfer apa ini, ekspresi Henny terlihat tidak nyaman, aku merasa sedikit bersalah kepadanya. Sedangkan Bram, raut wajahnya tampak berseri-seri. Perasaan tidak enak apa ini, rasanya aku seperti sedang terjebak di antara ketegangan mereka berdua. Aku benar-benar tidak tahu apa yang terjadi kepada mereka berdua hingga terasa canggung seperti ini.
***
Makan siang yang terasa canggung itu pun berakhir. Mereka hanya mengatakan sepatah dua patah kata yang membuat Sueny sedikit frustrasi. Awalnya ia ingin makan siang dengan Henny karena ingin lebih dekat dengan Hennny sekaligus Bram. Namun sayang, kehadiran Bram justru membuat suasana semakin canggung, dan Sueny sedikit menyesali itu.
Sueny berjalan gontai menuju ruangannya. Jujur saja, ia merasa tubuhnya sangat lelah hari ini, mungkin efek kemarin.
"Kamu makan siang dengan Bram?" Sebuah suara yang mengagetkan Sueny.
"Bagaimana Bapak tahu?"
"Menggelikan juga," kata Kevin sinis.
"Memangnya ada apa sampai Anda berkata seperti itu? Apakah saya melakukan sesuatu yang salah? Saya bahkan tidak ada setetes pun niatan untuk mendekati apalagi sampai menyukai Pak Bram!" tegas Sueny.
"Kamu berpikiran sampai sejauh itu? Itu jauh lebih menggelikan lagi." Kevin tertawa sinis. Entah apa yang dipikirkannya hingga ia bersikap seperti itu.
"Lantas apa yang Anda maksud? Kenapa Anda selalu bertele-tele? Kenapa tidak langsung ke intinya saja? Saya benar-benar tidak paham mengapa Anda berbicara seperti barusan."
"Otakmu saja yang tidak mampu mencernanya, selalu harus to the point layaknya anak berusia tujuh tahun."
Sueny terdiam. Kata-kata Kevin sangat menusuk.
"Sudah, kembalilah bekerja sekretaris baruku." Ucap Kevin yang kemudian melangkah memasuki ruangannya dan meninggalkan Sueny sendirian.
Tadi Sueny benar-benar berusaha menahan amarahnya, ia tak mau kalau harus ribut dengan bosnya di hari kedua bekerja. Jutek, angkuh, menyebalkan, ah bagaimana bisa ada pria dengan sifat seperti itu? Wajahnya memang tampan, mungkin dapat memikat siapa saja, namun sifatnya benar-benar membuatku kewalahan.
***
Jam sudah menunjukkan pukul lima sore, waktunya para pekerja Sheonn Corp untuk pulang, terkecuali untuk beberapa orang yang memang masih harus lembur. Untung saja hari ini tidak ada hal-hal yang mengharuskan Sueny pulang larut malam lagi.
Dilihatnya Henny sedang berdiri di depan kantor. Ia tampak seperti tengah menunggu kedatangan seseorang. Matanya sibuk melirik ke kanan ke kiri, badanya terus bergerak-gerak.
"Mbak Henny?"
"Sueny." Dengan cepat Henny berbalik saat mendengar ada suara yang memanggilnya. "Ngomong-ngomong kenapa kamu masih memanggilku Mbak?"
"Aku lebih nyaman seperti itu saja, sih. Keberatan, ya?" Sueny tertawa kecil.
"Ah tentu tidak, senyamanmu saja."
"Mbak sedang menunggu seseorang?"
"Iya,"
"Siapa?"
"Hanya... seseorang saja." Henny terkekeh kecil.
Henny melirik ponselnya yang bergetar pertanda telepon masuk, "Sebentar, Sueny, aku mengangkat telepon dulu." Henny bergerak sedikit menjauhi Sueny.
Meskipun Henny sedikit menjauh, namun samar-samar Sueny mendengar Henny memanggil seseorang dengan panggilan 'Seph'. Entah siapa pun itu, yang pasti bukanlah urusannya.
Mendadak, sebuah mobil sport berwarna merah berhenti di hadapan mereka. Sueny bingung, dan reflek ia menoleh ke arah Henny.
"Maafkan aku, Sueny. Tapi kurasa aku harus pergi terlebih dahulu, dia sudah datang. Aku duluan." Ucap Henny sembari berjalan dengan tergesa-gesa ke arah mobil yang jaraknya tak terlalu jauh dari hadapannya.
"Iya, hati-hati, Mba."
Kaca mobilnya sangat gelap, Sueny tak mampu melihat dari luar siapa orang yang pergi bersama Henny. Ia masih terpaku di tempat nya tadi. Kemudian setelahnya, sebuah mobil berwarna hitam berhenti di hadapannya. Sueny mengenal mobil ini, mobil milik Kevin. Dan benar saja, satu sisi kaca mobil itu terbuka, menampakkan Kevin yang tengah duduk di belakang.
"Sedang apa?" tanya Kevin. Jarakku dengan mobil tak terlalu jauh, maka itu aku dapat mendengar suaranya dengan jelas meskipun ia tak berteriak.
"Menunggu teman," jawab Sueny gugup. Ah, lagi-lagi aku harus berbohong.
"Teman? Kamu serius?"
"I... iya, seorang teman. Anda tidak perlu repot-repot, saya sedang menunggu seorang teman."
"Repot-repot? Apa maksudmu? Siapa yang repot? Aku? Apa kamu pikir aku akan mengajakmu untuk pulang bersama?"
"Sepertinya hal yang kusukai darimu adalah rasa percaya dirimu itu." Kevin kembali menambahkan kata-kata yang membuat Sueny ingin memaki Kevin detik itu juga.
Namun lagi-lagi Sueny hanya mampu terdiam membeku.
"Kau berpikir aku akan mengajakmu pulang? Memangnya kau siapa selain sekretarisku"
Kevin tersenyum sinis, menyebalkan sekali bagi Sueny. Kevin lalu menutup kaca mobil dan mobil itu pun berlalu dari hadapan Sueny.
Entah kenapa rasanya kesal saat dia memperlakukanku seperti itu. Apa susahnya berlaku sedikit lebih manis saja?