Buru-buru, Fiona menarik lengan Dave untuk masuk ke dalam ruangannya. Lantas mengunci pintu setelah Dave melangkah masuk.
“Hey kamu!, apa yang sudah kamu bilang sama mama aku hah?” Fiona lantas mencecar Dave dengan pertanyaan.
Dave mengedikkan kedua bahunya “Seperti apa yang sekarang ini sedang kamu pikirkan, yah! Itulah yang sudah saya diskusikan sama mama kamu.” jawaban Dave terdengar ambigu sekali. Memaksa otak Fiona untuk bekerja keras mencari jawaban yang tepat dari pertanyaannya tadi.
“Jangan bilang kamu…” Fiona menggantung kalimatnya.
“Bukan cuma mama kamu, malah aku juga sudah bilang sama mama aku. kalau kita berdua bakal menikah.” Dave menjawab cepat.
“Kamu emang benar-benar sinting ya! Kamu pikir menikah itu perkara main-main?” sembur Fiona.
“Iya, aku tahu itu.” jawab Dave.
“Kalau kamu tahu, kenapa masih diteruskan! Bukan kah kita sudah sepakat, kalau aku cuman pura-pura jadi pacar kamu. Kenapa malah sekarang ini, kamu minta aku buat menikah sama kamu?” Fiona tidak habis pikir. Bisa-bisanya Dave melibatkan dirinya sampai sejauh ini, tanpa diskusi dulu dengannya.
Jeda panjang terjadi di antara keduanya, masing-masing dari mereka, larut dalam pemikiran mereka sendiri sehingga,
“Kamu tidak bisa menolak, tidak ada jalan mundur lagi.” celetuk Dave tiba-tiba. Menyadarkan Fiona dari lamunannya, dan kembali ke alam nyata.
“Siapa bilang..”
“Aku yang bilang, karena mama aku juga sudah setuju dan pernikahan kita harus terjadi secepatnya.” Dave memotong cepat ucapan Fiona. Tidak memberi celah wanita itu untuk melayangkan protes.
“Kalau aku bilang, aku tidak setuju dan tidak mau. gimana?” Fiona memberanikan diri mengangkat wajahnya, menatap Dave.
Pria yang baru hadir kemarin dalam hidupnya, namun berhasil bikin kehidupannya jungkir balik seperti ini. Sungguh luar biasa sekali takdir bekerja.
“Siap-siap saja kalau begitu. Kamu akan menghadapi hal yang lebih buruk dari apa yang kamu alami kemarin.” bicara Dave terus terang.
“Kamu neror aku sekali lagi Dave?” tanya Fiona dengan ekspresi wajah kesal.
“Menurut laporan dari orang yang yang aku bayar untuk menyelidiki kasus kemarin. Yang melakukan kerusuhan dan mengacak-acak kantor kamu kemarin itu adalah tangan kanan pak Budi Prayoga.” Dave menjeda ucapannya. Yakin jika Fiona juga mengenal, atau setidaknya pernah mendengar nama pria lanjut usia itu.
“Aku yakin, bakalan ada lagi yang kedua kali dan seterusnya.” imbuh Dave lagi. Sangat yakin.
“Kalau benar seperti yang kamu bilang, terus apa hubungannya sama aku yang harus menikah dengan kamu?” Fiona kembali melemparkan pertanyaan. Karena menurut Fiona, permintaan Dave barusan, sama kejadian yang menimpanya itu sungguh tidak nyambung sekali.
“Win win situation. Aku bisa melindungi kamu sama mama kamu dari ancaman Pak Budi dan pak wahyu. Lalu kamu, harus bisa membuat Lifia menjauh dari aku.” Dave mulai mengusulkan kerjasama yang saling menguntungkan pada Fiona.
“Lagian, kamu harus bangga menikahi seorang kapten pilot yang ganteng seperti aku.” lanjut Dave lagi.
Fiona memamerkan ekspresi pingin muntah “percaya diri sekali anda. Justru terbalik. Aku merasa eneg lihat tampang jelek kamu itu.”
“Kamu pikir kamu cantik? Dengan tampang kamu seperti ini. Tidak ada cowok mana pun yang sudi menikah sama kamu. Sudah bawel, berisik! Jelek lagi.” balas Dave sukses membuat mulut Fiona menganga luas.
“Kamu bilang apa? Jelek?”
“Iya jelek! Mana pecinta sejenis lagi.” tuduh Dave menambahkan lagi rasa kesal Fiona.
“Kamu jangan asal ngomong ya. Aku itu masih waras. Masih sukanya sama cowok. Kurang ajar sekali kamu.” geram Fiona.
“Buktikan kalau seleramu masih cowok, menikah sama aku.” tantang Dave, dengan ekspresi wajah yang meremehkan.
“Ayo nikah! Siapa takut!” seru Fiona. Tanpa sadar.
Sepertinya, akal licik Dave sudah berhasil membuat Fiona setuju, untuk menikah dengannya tanpa perlu ia meneror wanita itu seperti yang pertama kali ia lakukan.
“Kamu yakin?” sekali lagi Dave bertanya.
“Iya yakin! Ayo, mau menikah kapan? Sekarang? Besok? Atau bulan depan?” Tanya Fiona. Satu lagi fakta yang harus diketahui. Fiona adalah tipe wanita yang pantang sekali di tantang. Apalagi yang menantang adalah seorang pria..
‘Kenak kamu, makanya jangan sok sombong jadi orang.’ batin Dave dalam diam.
Pria itu mengukir senyum kemenangan “kita akan mendaftarkan pernikahan kita di kantor catatan sipil setelah aku kembali dari Sydney.” ucap Dave.
“Kalau begitu, aku permisi. Kamu lanjut saja bekerja.” Dave melengos pergi meninggalkan ruangan Fiona. Itu Dave lakukan agar Fiona tidak menarik kembali perkataannya barusan.
Menit kemudiannya,
Tok! Tok!
Pintu ruangan Fiona diketuk dari arah luar. Membuat lamunannya ambyar seketika.
“Masuk!” seru Fiona.
Muncul wajah Sally dari balik daun pintu “Na, tadi aku sepertinya melihat cowok yang di bandara itu loh.” bicara Sally tanpa basa basi.
Fiona bangkit dari duduknya, seperti baru menyadari sesuatu. Seketika wajah cantik itu terlihat pucat seperti mayat hidup membuat Sally heran.
“Na, kamu kenapa? Kok kaget seperti itu?” Tanya Sally. Lantas melabuhkan bokongnya pada sofa yang ada di tengah ruangan.
“Sal, mati aku Sal.” ucap Fiona tiba-tiba, membuat Sally kini malah mengkhawatirkan sahabatnya itu.
“Kamu kenapa sih Na? Punya masalah apa lagi? Kalo bicara yang benar dong, jangan setengah-setengah kayak gini.” Sally lantas menarik lengan Fiona, mengajak temannya itu untuk bergabung dengannya.
Fiona mulai menceritakan pada Sally apa yang sudah terjadi antara dirinya dengan Dave tadi, sebelum kedatangan Sally.
“Kamu serius Na?” Sally melopong tidak percaya setelah mendengar semuanya.
“Iya! Sekarang aku harus gimana dong Sal, kayaknya aku harus nemuin dia deh,. Bilang kalo aku mau menarik kembali ucapan aku barusan.” Fiona terlihat gelisah sekali, sesekali wanita itu terlihat meremas jarinya sendiri.
“Makanya kamu itu, kalau ditantang jangan cepat kesulut. Inikan jadinya.” Sally malah mengomeli Fiona. Sangat menyayangkan sikap Fiona yang tidak pernah berubah dari awal mereka kenal sehinggalah ke saat ini.
“Sall… bantu mikir dong.” Fiona memamerkan wajah memelas. Menangkupkan kedua tangannya. Memohon.
“Menikah ajalah. Lagian kamu itu bentar lagi udah kadaluarsa. Siapa tau kalian memang jodoh.” usul Sally sukses membuat Fiona menabok lengan Sally. Saking kesalnya.
“Kamu tuh ya. Bikin aku tambah kesal tauk.” geram Fiona.
“Yang bikin masalah siapa? Yang ngajak nikah juga siapa? Kamu juga kan?” Tanya Sally.
Sally kembali melanjutkan “Lagian, emang itu kan pilot yang kemarin bikin kamu budek dadakan. Bikin kamu senyum-senyum sendiri di bandara? Kamu pikir aku nggak tau?” semprot Sally lagi.
Fiona dibuat tidak berkutik dengan ucapan dan pertanyaan Sally padanya, menyandarkan tubuh kecilnya pada sandaran sofa. Menutup wajah dengan kedua belah telapak tangannya.
“Jujur, aku tuh pengen ngakak sih Na, tapi takut kualat.” bicara Sally yang tetap juga terkekeh di hujung kalimatnya.
“Setan lu Sal! Kamu pikir ini lucu. Nggak kali!” Fiona menyumpah kesal.
“Biarin!.” jawab Sally cepat
…
“Tuan, kabar yang saya terima dari sumber yang bisa dipercaya, Juan Sanders mendadak kembali dari Singapura tadi pagi.” lapor asisten pribadi Wahyu.
“Apa! Bukankah kemarin kamu bilang, kalau jadwal bisnis trip Juan Sanders ke Singapura itu selama satu minggu. Kenapa baru satu hari sudah mendadak kembali!” kabar itu benar-benar membuat Wahyu kaget dan tidak nyaman duduknya.