Bab 1
“Na! Aku dengar kamu dapat proyek gede. Beneran, nih?” tanya Sally pada temannya, Fiona.
“Biasa aja sih, Sal. Gede apanya coba? Aku kan cuma seorang wedding planner yang rangkap jadi penjual bunga juga. Ga bisa dibandingkan sama proyek mega yang harga milyaran punya perusahaan kamu tahu!” Fiona terkekeh di ujung kalimatnya. Sally terlalu membesar-besarkan proyek yang ia dapat kali ini.
Fiona Russell adalah seorang wanita berusia 27 tahun. Ia akrab disapa dengan ‘Nana’ atau hanya ‘Na’ oleh orang-orang terdekatnya. Bentuk wajahnya yang oval, ditambah dengan gigi gingsulnya, serta paket lesung pipi yang manis di kedua belah pipi, membuat orang-orang betah menatap wajah putih bersih milik wanita itu.
Fiona hanya memiliki Sally sebagai temannya, selain mamanya, Bella Russell yang keturunan Skotlandia. Sementara itu, papanya adalah orang Indonesia. Namun, selama 27 tahun sudah hidupnya, Fiona belum pernah mengenal siapa ayah kandungnya. Sementara itu, Fiona sendiri juga tidak pernah lagi mau bertanya pada sang mama.
Fiona khawatir ia akan menguak luka lama yang mungkin masih belum sembuh. Jadi, Fiona memutuskan untuk mengubur rasa penasarannya itu. Lagi pula, hidup Fiona juga baik-baik saja tanpa kehadiran papanya.
“Ck! Miss Russell! Kamu lagi ngeledek, ya?” tanya Sally dengan memicingkan matanya menatap wajah cantik Fiona.
“Bukan begitu, sih, Sal. ‘Kan memang kenyataannya begitu. Lagian aku kan cuma karyawannya Mama. Sementara kamu? Kamu itu bosnya!” serobot Fiona cepat.
“Fiona ....”
“Eh, Nak Sally! Ternyata ada tamu. Fiona kok nggak ngasih tahu Mama, sih?!” itu adalah suara Bella Russell yang baru saja muncul dari balik daun pintu ruangan Fiona.
“Hallo, Ma,” panggil Fiona pada Bella Russell. Wanita itu hanya bisa menyeringai menatap sang mama yang mulai melangkah masuk ke dalam ruangannya.
“Maaf, Tante. Tadi aku mau bertamu ke kantornya, Tante, tapi nggak ngasih tahu Tante dulu sebelumnya, hehe,” ucap Sally dengan tertawa tanpa merasa bersalah. Ia segera bangkit dari kursinya lalu mencium punggung tangan wanita paruh baya di depannya itu.
“Nggak apa-apa, kok, Sal! Tante, sih, senang-senang aja. Bentar, ya! Tante punya urusan sama Nana.” Bella mempersilahkan lagi Sally kembali ke kursinya dan memanggil Fiona untuk berbicara dengannya.
“Ya, Tante. Fiona sama Tante silakan mengobrol saja.” Sally lantas meraih tasnya. “Aku akan kembali ke kantor dulu, Na. Permisi, Tante. Maaf mengangguk,” ucap Sally dan mohon pamit.
“Loh, Sal? Kok buru-buru pulang?” Bella mengerutkan keningnya menatap sahabat putrinya itu.
“Aku cuma mampir sebentar doang, kok, Tante. Lagian bentar lagi aku juga harus bertemu dengan klien,” ucap Sally lagi. Kali ini ia terdengar sangat meyakinkan.
“Ya sudah, ga apa-apa, Ma. Biarkan saja Sally lanjut kerja. Kapan-kapan dia bisa datang ke rumah lagi. Iya kan, Sal?” Fiona mengedipkan sebelah matanya menatap Sally yang sepertinya mengerti akan kode darinya.
“Iya, Tante! Sally bisa datang ke sini kapan saja, kok! Sally pamit dulu, ya!”
Setelah kepergian Sally, Bella menatap anaknya dengan serius. Setelah berbasa-basi, kali ini mereka akan membahas pekerjaan.
“Na, apa kamu udah liat proposalnya?” tanya Bella pada putrinya.
“Udah, kok, Ma. Sepertinya klien mau bikin sebuah pesta yang mewah, ya?” cerocos Fiona. Tangannya tampak sibuk membenahi berkas-berkas di atas meja. Mejanya tidak berantakan, tetapi juga tidak bisa dibilang rapi. Karena tangannya senggang, jadi sekalian saja ia membersihkannya sambal berbincang dengan Bella.
Bella sekadar mengangguk. “Jadi, kapan kamu mau ketemu sama calon pengantinnya?” tanya Bella lagi pada putrinya.
Fiona menghentikan gerakan tangannya dan balas menatap sang mama. “Besok, Ma. ‘Ntar Nana minta Kimchi untuk menghubungi klien buat janji temunya,” jelas Fiona dan menyelesaikan kegiatannya menata berkas.
Setelahnya, Fiona lantas menggapai ponsel yang tergeletak di atas meja kerja yang sebelumnya tertutupi oleh kertas-kertas. Ia mengirimkan pesan pada asistennya, Kimchi, untuk segera menghubungi klien.
“Na, barusan kamu dari mana sama Sally?” Bella bertanya sekedar basa-basi.
“Dari Bandara ma, habis jemput kakaknya si Sally.” jawab Fiona. Melemparkan ponselnya sembarangan di atas meja.
Bella bisa melihat jika saat ini, pipi Fiona tiba-tiba bersemu merah, malah putrinya itu terlihat sedang mengulum senyum.
“Apakah mama sudah melewatkan sesuatu Fiona?” tanya Bella, mencoba meminta Fiona menceritakan apa yang sudah terjadi.
“Ada deh.” jawab Fiona singkat. Mengulum senyum dan matanya menatap kosong ke depan. Sekonyong-konyong, ingatannya kembali lagi pada peristiwa tadi.
Flashback On
“Na! Fiona Russell!” teriak Sally setelah Fiona tidak merespon panggilannya beberapa kali.
“Sally, kok teriak-teriak sih. Ini bandara tauk! Bukan hutan. Emang kamu tarzan modern?” kesal Fiona. Karena tidak sedikit mata yang sedang melihat ke arah mereka.
“Makanya kalo di panggil itu jawab Na, emang kamu lagi liatin apa sih?” tanya Sally sambil mengikuti arah pandangan Fiona.
“Noh Sal, pilot itu cakep banget deh sumpah.” celetuk Fiona. Jujur.
“Ciee… selera kamu memang pilot mulu kan Na, ga pernah berubah.” usik Sally.
“Ck! Apaan sih. Aku kan cuma bilang cakep saja. Bukan bermaksud aku jatuh cinta.” sanggah Fiona, sambil berdecak kecil.
“Biarlah aku menjadi pengagum rahasianya. Karena sebentar agi, aku pasti bakalan lupa sama wajahnya.” lanjut Fiona lagi sambil menatap ke arah seorang pria yang sedang menyeret koper kecilnya itu, lengkap dengan seragam resmi kerjanya.
Akhirnya kedua sahabat itu tertawa lucu.
Flashback Off
Pria matang yang tampan dan gagah berusia 29 tahun itu adalah David McLaren, atau lebih akrab disapa dengan Dave oleh teman-teman dan keluarganya. Ia merupakan seorang kapten pilot termuda di maskapai Eagle Indonesia Airlines. Di usianya yang ke 28 tahun, Dave telah dinaikkan jabatannya menjadi seorang kapten pilot karena hasil kerjanya yang begitu cemerlang dan sangat disiplin dalam bertugas.
Namun sayangnya, kehidupan pribadi pria itu tidaklah secemerlang kerjayanya. Dave harus terus menghindar dari kejaran Lifia, putri dari kolega bisnis mamanya.
Setelah usai pekerjaannya, Dave akhirnya sudah bisa pulang. Ia sudah tidak sabar untuk segera mengistirahatkan badannya. Pria itu mulai menyeret kopernya dan melangkah mantap menuju parkiran, tempat di mana supir Dave sedang menunggu untuk mengantarkannya pulang ke rumah.
Tiba-tiba saja, Dave mau tidak mau harus mengurungkan niatnya untuk pulang dengan cepat saat mendengar sebuah suara feminism dibalik punggung memanggil namanya.
“Dave …,” panggil satu suara wanita dari arah belakang David.