Bab 4: Jasmine

2104 Words
Tak terasa, 3 bulan sudah sudah aku berpacaran dengan Arion. Awal-awalnya, terasa kaku. Aku bingung membicarakan apa setiap kali bertemu atau komunikasi via telepon/chat. Jujur, ini adalah kali pertama aku berpacaran. Namun, belakangan ini aku merasa senang karena ternyata Arion adalah sosok yang menyenangkan. Dia sering mengajakku berbicara lebih dulu. Saat ini, aku sedang menunggunya latihan basket, usai latihan cheers. Tiga hari lagi adalah waktu terakhirku untuk tampil di cheers karena usai liburan kenaikan kelas, aku akan berhenti karena fokus dengan pelajaran saja nantinya untuk menghadapi ujian akhir. Harus aku akui jika benih-benih cinta muncul untuknya, mungkin sudah sejak bulan lalu atau sebelumnya? Selain karena parasnya yang tampan, sikap Arion dan segala perhatiannya membuatku menyukainya. Akan tetapi, aku seketika sadar mengingat ucapan Gladys. "Lo jalanin dulu aja, bikin dia sampe benar-benar sayang sama lo, terus nanti putusin! Gue akan kasih tahu lo kapan waktunya. Gue akan terus pantau gimana hubungan kalian." Gladys mengatakan itu di saat memberikan amplop padaku untuk bayaran SPP-ku. Dia memberikanku lebih. "Untuk semester depan dan semua biaya lainnya, gue kasih nanti di saat lo akan ninggalin dia." "Jasmine?" Aku tersentak ketika mendengar suara Arion memanggilku. Lelaki itu sudah berdiri di depanku persis. "Aku haus." "Maaf, aku lupa belum beli— " Arion dengan cepat meraih botol minumku, membuka tutup dan meneguknya sebelum aku menyelesaikan ucapanku. "Itu minuman bekas aku, Ar. Maaf, barusan aku belum sempat beli." Aku melamun ingat ucapan Gladys, sehingga tak ingat untuk segera membeli minuman untuk Arion. Lelaki itu sedang jeda istirahat saat ini. "Yaah... udah habis. Kamu haus juga?" Aku menggeleng. "Enggak, sih. Tapi kan, itu bekas aku. Udah aku minum tadi." "Nggak apa-apa. Emangnya kenapa?" Lelaki itu duduk di sebelahku. "Sebentar lagi kelar latihannya, kamu mau langsung pulang atau mau jalan dulu?" "Pulang aja yuk! Kamu pasti capek habis latihan." "Iya, sih. Tapi aku masih pengen sama kamu. Emm, kamu mau main ke rumah aku aja nggak?" "Main ke rumah kamu?" "Iya. Mau nggak? Mamaku asik orangnya, kok. Adik-adikku juga seru. Ngobrol-ngobrol aja di rumahku, mau?" "Gimana, ya? Aku nggak pede." "Nggak pede gimana? Jangan bilang kamu terpengaruh sama omongan orang-orang?" Memang banyak orang-orang yang mencibirku—mengatakan jika aku tak pantas menjadi kekasih Arion. Kalau bukan karena terikat perjanjian dengan Gladys, aku rasanya sudah ingin menyerah meski sudah menyukai lelaki berparas tampan dan tinggi ini. Yang merupakan idola banyak perempuan. "Kapan-kapan aja, ya? Aku belum siap." "Yaah... padahal aku udah cerita sama mama tentang kamu loh! Dan mama minta aku ajak kamu main ke rumah." Melihat sikap Arion yang begini dan segala sikapnya padaku belakangan ini, aku jadi ingin tahu, apa kah lelaki itu sudah mencintaiku? "Ar, aku boleh nanya sesuatu?" "Mau nanya apa?" "Kenapa kamu langsung terima aku waktu itu? Aku udah lama pengen nanya sebenarnya." Arion mengedikkan bahunya. "Entah, jujur aku juga awalnya enggak tahu kenapa rasanya ingin aja iyain permintaan kamu. Semakin hari mengenal kamu, sering bareng kamu, aku mulai suka. Nyaman. Aku jatuh cinta sama kamu, Mine." Hatiku menghangat rasanya mendengar ucapan lelaki itu, di mana sekarang matanya menatap lekat padaku. "Bukan hanya kamu aja, tapi aku juga suka sama kamu, Mine. Aku pengen selalu bareng kamu sampai kapan pun." Aku juga mencintai kamu, Ar. Hal itu hanya mampu aku ucapkan di dalam hati. Air mataku menetes seketika. Mungkin Arion pikir, dulu aku mengatakan perasaan padanya itu murni dari isi hatiku. Tapi, kenyataannya... dulu tidak lah begitu. Setelah sering bersama, aku baru jatuh hati padanya—menyukainya, sangat. "Kok malah nangis?" Jemari Arion terulur menyeka air mataku. "Kenapa? Nanti orang-orang mikirnya, aku bikin kamu nangis loh!" Aku terkekeh. "Aku nggak nyangka kalau kamu akhirnya membalas perasaanku. Aku bahagia." "Me too. Aku lebih-lebih bahagia." Arion mengusap-usap kepalaku. "Aku lanjut latihan lagi, ya? Habis ini, pokoknya kamu harus ikut ke rumahku. Mau kenalin calon mantu sama mamaku." Dan air mataku kembali menetes. Aku segera mengusapnya, sementara Arion berjalan memasuki lapangan kembali. Aku sudah menaiki motor gede milik Arion saat ini, usai dirinya latihan basket. "Kok nggak jalan, Ar? Ada yang lagi kamu tunggu?" Arion mengangguk. "Ada yang kurang." "Apaan?" Lelaki itu menarik kedua tanganku hingga berada di pinggangnya. "Harus dipeluk dulu." Aku terkekeh dengan sudut mataku yang mulai berair mengingat bagaimana manisnya Arion dulu sebelum tahu jika aku berpacaran dengannya karena sebuah taruhan. Tanganku terulur mengusap salah satu kami berdua pada sebuah album. Foto aku menggunakan baju cheers dengan Arion yang merangkulku menggunakan baju basketnya. Foto yang diambil usai pertandingan basket di mana tim basket sekolah kami memenangkan pertandingan basket, dan Arion menjadi top score di sana. Sementara, tim cheers yang diketuai olehku mendapatkan peringkat kedua. Meski masih kelas 1, tapi Arion yang paling menonjol di sana. Tak hanya dari segi fisik, tapi juga juga permainannya. Pastinya banyak perempuan yang memandang sinis kepadaku. Betapa beruntungnya aku bisa bersama Arion dulu. Walau hubungan itu awalnya dari sebuah taruhan, aku sungguh mencintainya. Aku menoleh ketika layar ponselku menyala dan muncul sebuah notifikasi pesan di sana. Senyumku mengembang ketika membaca pesannya. Aku diterima kerja di perusahaannya Arion. Aku ditanya kapan bisa mulai bekerja, apa bisa langsung masuk pada esok hari? Aku segera mengetik balasan pesan tersebut. Senang sekali rasanya akan bekerja kembali. Aku akan punya penghasilan lagi, gaji di sana juga besar. Dan juga, Arion bilang bahwa aku akan merangkap sebagai asisten pribadinya semisal diterima, bukan? Yang mana, berarti aku akan ada tambahan pendapatan lagi. Aku tak sabar untuk segera bekerja, untuk kehidupanku dan adik-adikku semoga lebih baik ke depannya. Aku yang juga mempunyai impian untuk memiliki sebuah rumah sederhana bersama mereka. Aku bersyukur Arion menerimaku. Berarti dia profesional, tidak melibatkan masa lalu kami dalam memilih calon karyawannya. Padahal, tadi aku sempat lemas mengingatnya yang seperti sedang menyinggung tentang aku yang membohonginya pada masa lalu. *** "Semangat kakakku! Semoga hari pertama bekerja kembali ini menyenangkan. Aku selalu berdo'a yang terbaik segalanya buat Kak Jasmine." Syafira memelukku ketika aku hendak pamit berangkat kerja. "Dan semoga aja di tempat baru ini kakak bisa menemukan jodoh!" lanjutnya lagi mengurai pelukan kami. Aku terkekeh kecil—seketika terbayang sosok Arion di sana. Ah, tidak, apa yang aku harapkan? Kisah kami sudah lama berakhir. Lelaki nyaris sempurna seperti Arion pasti sudah memiliki kekasih, atau mungkin sudah menikah? Entah lah, aku tak pernah mencari tahu lagi tentangnya setelah sekian lama. Dulu, sampai bertahun-tahun hingga kuliah, aku masih sering mencari tahu. Tapi ketika tahu dia sudah memiliki kekasih lagi, aku tak pernah lagi mencari tahunya. Lagi pula, semisal Arion masih sendiri saat ini, tentunya dia tak mungkin akan tertarik lagi padaku. Dia pasti tak akan sudi jatuh cinta padaku lagi. Aku telah menorehkan luka padanya. Masih ingat dalam benakku bagaimana Arion melempar sebuah kalung padaku ketika tahu dirinya menjadi bahan taruhan. Lelaki itu marah besar dan meneteskan air mata. Aku tersenyum tipis. "Aamiin dulu aja. Tapi kakak saat ini pengen fokus sama kerjaan dulu." "Tapi, Kak Jasmine udah mau kepala tiga. Nggak apa-apa semisalkan kakak menikah kalau udah ketemu jodohnya. Sekarang udah waktunya Kakak mikirin masa depan—kebahagiaan Kakak sendiri. Selama ini, Kakak udah bekerja keras untuk kami semua. Aku udah mau lulus dan Raffan juga udah mulai mandiri." "Iya. Do'ain aja yang terbaik buat Kakak, ya?" Aku berangkat kerja dengan menggunakan angkot, lalu naik kereta dan lanjut naik angkot dari Stasiun Tebet menuju kantor. Ada motor sebenarnya di rumah, hanya saja sehari-harinya digunakan oleh Raffan. Aku dan Syafira ke mana-mana menggunakan transportasi umum. Tiba di kantor pukul 07:30, kantor masih sepi. Aku menunggu di depan ruangan HRD hingga sekitar 15 menit kemudian baru mulai berdatangan. Aku diantarkan menuju ke lantai atas lagi di mana ruangan CEO berada. "Pak bos udah datang, Lan?" tanya staff HRD yang mengantarkanku ke sana kepada sekretaris yang berada di meja depan ruangan Arion. "Udah. Baru banget datang." "Ya udah. Ini, gue anterin dia doang. Draft kontrak kerja kemarin udah nggak ada yang mesti direvisi, kan?" "Enggak, sih. Gue cuma tambah-tambahin beberapa poin yang si bos sebutin." "Sipp. Gue tinggal, ya?" Aku saling mengenalkan diri dengan sekretaris tersebut. Dia berbicara beberapa hal sambil menyiapkan kontrak kerjaku. "Semoga betah di sini, ya? Pak Arion itu sebenarnya baik, cuma sikapnya cenderung dingin dan cuek aja. Aku sebenarnya berat mau resign karena lingkungan kerja di sini enak, tapi apa daya, aku harus ngikutin apa kata suamiku." Ya. Aku yakin pasti akan betah meski bekerja bersama mantan kekasihku itu. Melanie hanya mengantarkanku masuk saja karena Arion memintanya untuk keluar setelahnya. "Kamu baca dulu kontrak kerjanya," ujar Arion menunjuk berkas di depanku. Aku mengangguk dan perlahan membaca helaian kertas tersebut. Aku mengambil bolpoin dan hendak membubuhkan tanda tangan di sana, akan tetapi terhenti ketika Arion bersuara. "Kamu udah baca semua yang tertera di sana?" "Sudah, Pak." "Nggak ada yang ingin kamu tanyakan? Apa kamu merasa ada keberatan dengan isinya?" Aku menggeleng. "Saya ingin kembali menjelaskan isi kontrak tersebut. Salah satunya jika kamu resign sebelum masa kontrak tersebut, kamu bersedia dikenakan denda sebesar 500 juta? Maaf, saya harus tegas di sini. Mungkin kebanyakan perusahaan hanya akan mengenakan denda pinalty dengan tidak membayar gaji atau harus membayar beberapa bulan gaji. Tapi tidak dengan saya, saya ingin memberikan ketegasan di awal agar tak main-main bekerja di sini. Jangan tiba-tiba minta keluar di saat perusahaan sedang butuh-butuhnya." Aku mengangguk paham. "Saya mengerti, Pak." "Ya sudah. Silahkan tanda tangan di situ." Aku pun membubuhkan tanda tangan yang disertai materai di sana. Aku yakin, aku tak akan mengajukan resign sebelum kontrak kerja berakhir. Apa pun yang akan aku hadapi ke depannya, aku akan tetap bertahan di perusahaan ini. "Sudah? Ini satu lagi, kontrak kerja kamu sebagai PA saya. Silahkan dibaca dulu." Aku meraih berkas yang diulurkan oleh Arion. Aku manggut membaca isi dari kontrak tersebut. "Ada yang bikin kamu keberatan?" "Nggak ada, Pak." "Saya lumayan sering ke luar kota. Semisalkan kamu diperlukan, bersedia ikut?" "Saya bersedia." "Nggak ada masalah sama pasangan kamu?" "Ini soal kerjaan, nggak ada hubungannya sama pasangan saya." "Hmm. Ya udah, silahkan tanda tangan jika nggak ada yang ingin kamu tanyakan." Aku menyerahkan kembali berkas kontrak kerja kepada Arion setelah aku tanda tangani. "Hal-hal lainnya, silahkan kamu belajar dengan Melanie." "Baik, Pak." "Sebelum mulai bekerja, saya minta tolong bikinin saya kopi sekarang. Tanya letak pantry sama Melanie." "Baik, Pak." Aku keluar ruangan dan bertanya letak pantry kepada Melanie. "Kamu mau bikin teh atau kopi?" "Iya. Pak Arion minta dibikinin kopi." "Serius? Kok tumben banget." "Tumben?" "Iya. Biasanya Pak Arion itu selalu dibikinin kopi sama OB, nggak pernah minta aku bikinin sejak setahun yang lalu dia mulai jadi CEO di sini." Aku mengedikkan bahuku. "Ya udah sana bikinin! Mungkin Kang Jufri enggak masuk." Aku ke pantry dan membuatkan kopi di sana. Tak lama, aku kembali masuk ke dalam ruangan Arion. "Kopi hitam? Saya nggak suka kopi hitam," ujar lelaki itu. Duh, seharusnya tadi aku bertanya dulu. "Maaf, Pak. Saya enggak tahu, lupa bertanya tadi." "Lain kali itu tanya dulu! Jangan asal mengerjakan sesuatu tanpa bertanya detail tentang apa yang akan dikerjakan." "Baik, Pak. Maafkan saya." "Sana, bikin baru lagi! Kopi susu." Aku membuatkan lagi yang baru dan kembali beberapa saat kemudian. "Kurang manis, saya nggak suka. Ini bawa lagi dan bikin baru." Aku tadi membuat kopi instan yang otomatis sudah ada kadang gulanya di sana. Apa mesti ditambahkan gula lagi? "Harus kamu yang bikin, ya? Karena seterusnya itu termasuk salah satu kerjaan rutin kamu." Di saat ke pantry lagi, aku bertemu dengan seorang OB yang namanya Jufri seperti yang Melanie sebutkan. "Kenapa dicampur gula lagi, Mbak? Manis banget dong!" Aku sontak menoleh kepada Jufri yang masih berada di sana, setelah sebelumnya memperkenalkan diri sebagai sekretaris baru. "Mbak suka yang manis-manis banget gitu?" "Bukan buat saya. Ini buat Pak Arion." "Buat Pak Arion?" "Iya. Emm, tadi Melanie bilang kalau kamu yang biasanya bikinin. Ini, biasanya takaran gulanya tambah berapa, ya?" "Kalau buat Pak Arion nggak usah pakai tambahan gula lagi, Mbak. Cukup itu aja." Aku mengernyit. Tadi kata Arion kurang manis. "Tadi Pak Arion bilang kurang manis pas saya suguhin ini aja, tanpa tambahan gula lagi." "Masa, sih?" "Iya. Dia bilang begitu." "Biar saya bikinin yang baru deh, saya yang antar juga." Aku menggeleng cepat, ingat akan ucapan Arion tadi yang meminta harus aku yang membuatnya. "Mungkin Pak Arion lagi pengen yang agak manis, Kang." Aku ke ruangan Arion lagi setelah menambahkan sedikit saja gula pada kopinya. Aku sempat mencicipi dan rasanya tidak begitu manis juga. "Kemanisan! Kamu masukin segunung gulanya?" decak lelaki itu setelah meneguk kopi yang aku sajikan. "Bisa bikin kopi nggak, sih?" "Saya akan coba bikin lagi, Pak." "Nggak usah! Dari tadi salah mulu, ngabisin waktu aja. Dah, sekarang kamu keluar sana hand over kerjaan dari Melanie." Aku menghela napas berjalan keluar ruangan. Baru hari pertama kerja, aku sudah kena semprot. Semoga perihal kopi ini, bukan perasaanku saja jika Arion itu sedang mengerjaiku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD