Bab 5: Arion

1452 Words
Aku terkekeh sinis setelah Jasmine keluar dari ruanganku dengan raut wajah sendu. Ini baru permulaan, Mantanku... Mantan? Apa dia pantas disebut sebagai mantan pacar mengingat bahwa dulunya dia memintaku menjadi pacarnya karena suruhan dari seseorang? Aku memeluk Jasmine dari belakang dengan daguku yang bertengger di bahunya. "Mau nginep aja nggak? Kamu bisa tidur di kamar Ayyara." Kami saat ini berada di balkon kamarku. Ini bukan kali pertama Jasmine ke rumahku dan dia bisa dekat dengan orang tua serta kedua adikku juga. Aku baru saja memasuki kamar hendak membangunkan Jasmine yang tidur di kamarku, ternyata dia sudah bangun dan berada di balkon kamar. Dia tidak enak istirahat siang di kamar Ayyara tadi, karena adikku itu sedang tidak ada di kamarnya. Ayyara belum pulang dari rumah temannya. Jasmine menggeleng. "Aku mau pulang aja. Nggak enak kalau mau nginap, kita masih status pacaran loh!" "Mau lebih dari yang pacaran nggak? Tunangan sama aku, ayo! Kita bisa tunangan dulu dan beberapa tahun lagi menikah. Langsung menikah setelah aku lulus, kalau kuliah dan kerja kan bisa sambil menikah." "Enteng banget kamu ngomongnya," sahut Jasmine terkekeh. "Aku serius, Mine. Kalau kamu mau, ayo kita tunangan." "Kita nggak bisa memprediksi apa yang akan terjadi pada ke depannya, Ar. Akan bagaimana kelanjutan hubungan kita ke depannya." "Aku tetap pengen terus sama kamu." "Sekarang kamu bisa ngomong kayak gitu. Nanti setelah aku lulus dan kita jarang ketemu, siapa tahu kamu nanti ketemu seseorang yang jauh lebih baik dari aku lagi di sekolah." Aku tak suka dengan jawaban Jasmine yang seakan tak mempercayaiku. Aku tak semudah itu untuk jatuh cinta. Dengannya saja, awalnya aku biasa saja. Hingga kebersamaan kami yang lama-kelamaan membuat perasaanku perlahan mulai tumbuh padanya. Aku memutar tubuh Jasmine agar menghadap padaku. "Kamu kayak enggak yakin sama hubungan kita?" "Bukannya enggak yakin. Tapi hati manusia itu bisa berubah seiring berjalannya waktu. Tuhan mampu membolak-balik hati manusia." Aku berdecih mengingat sekilas bayangan tentang masa lalu dengan Jasmine dulu. Pantas saja dia tidak mau diajak bertunangan, karena dia menganggapku tak lebih dari sekedar barang taruhan. Belasan tahun berlalu, belakangan ini aku malah sering terbayang kembali akan kenangan kami. Aku geleng-geleng kepala. Kemudian, mengingat akan ada meeting di luar sebentar lagi, aku pun meraih gagang telepon dan menghubungi Melanie. “Ya, Pak?” “Apa banyak kerjaan yang akan kamu hand over kepada Jasmine hari ini?” “Lumayan sih, Pak. Soalnya kan saya akan maksimalkan waktu 10 hari kerja yang tersisa. Hari ini saya fokusnya dengan data client kita dan beberapa berkas yang terkait dengan itu. Jasmine bisa bikin file sendiri untuk merangkum itu semua, biar dia nanti enggak bingung mau cari.” Melanie memang telah menyerahkan surat pengunduran diri dari bulan sebelumnya dan tidak bisa ditunda lagi. Suaminya sudah mendesak. Jadi, sebenarnya Melanie seharusnya tinggal seminggu lagi bekerja di sini, hitungannya 5 hari kerja. Akan tetapi, aku meminta sedikit tambahan waktu kepada perempuan itu karena cukup susah menemukan penggantinya. Untung saja suaminya bersedia memberikan Melanie tambahan waktu untuk membantuku. Sebenarnya tak tega juga, karena kondisi kehamilannya yang kadang membuatnya terlihat lelah. Aku sudah mewawancarai banyak pelamar sejak sebelum Melanie menyerahkan surat pengunduran diri. Tak ada seorang pun yang sesuai dengan kriteria yang aku inginkan. Yang cantik banyak, yang lulusan universitas ternama juga banyak. Namun, aku membutuhkan seseorang yang setidaknya seperti Melanie. Dan Jasmine, aku merasa perempuan itu tak jauh berbeda dari Melanie. Apa lagi, dia juga memiliki pengalaman sebagai sekretaris juga. “Hmm. Jasmine ikut saya meeting dulu ketemu Pak Heri. Saya butuh ditemani kali ini. Tolong bilang dia untuk siap-siap, setengah jam lagi. Untuk kerjaan dia, entar bisa dilanjut setelah balik lagi ke sini.” Biarkan dia lembur sampai malam, lanjutku di dalam hati dengan sudut bibir terangkat. “Oke, Pak. Saya akan bilang Jasmine untuk bersiap-siap.” Setengah jam kemudian, aku keluar ruangan dan Jasmine mengikuti langkahku menuju lift. Dia hanya diam dan aku pun tak berminat mengajaknya berbicara. Tiba di dekat mobil, Jasmine malah membuka pintu mobil bagian belakang. “Duduk di depan! Kamu pikir saya sopir yang bawa majikannya?” “Maaf, Pak.” Jasmine menutup kembali pintu yang sudah dibukanya dan membuka bagian penumpang di sebelahku. Aku tak menyahut lagi. Sepanjang perjalananan, kami hanya diam hingga tiba di tempat meeting. Kami tiba lebih dulu di sana. “Mau pesan makan apa kamu?” tanyaku. Aku menyodorkan buku menu padanya “Pilih.” Aku memanggil pelayan untuk mencatat pesanan makanan kami. Aku sudah menyebutkan pesananku, sementara Jasmine tampak masih membolak-balik menu. Lama sekali. “Saya pesan minum aja, Pak,” ucapnya beberapa saat kemudian. Aku berdecak. Ini sudah masuk jam makan siang, bagaimana juga, aku tak mungkin membiarkannya tanpa makan. Meeting dengan Pak Heri biasanya cukup lama. Pak Heri itu seolah tak habis-habisnya bahan yang akan dibicarakannya, entah itu kadang pembicaraan tidak jelas mengenai dirinya. “Satu lagi, Cordon bleu aja, Mas. Tapi pakai nasi, ada nggak nasinya?” Sialnya, aku masih ingat saja jika Jasmine itu harus makan nasi. Tidak biasa makan siang hanya sekedar lauk, bahkan kentang. Jasmine menoleh padaku dan aku langsung membuang pandangan ke arah lain. “Nggak usah ge-er kamu. Saya cuma nggak pengen karyawan saya sakit, apa lagi ketika perginya sama saya. Dalam urusan pekerjaan.” Aku kembali menoleh dan mendapati perempuan itu tengah tersenyum. “Kenapa senyum-senyum?” Jasmine menggeleng. “Saya udah mulai terbiasa makan tanpa nasi, kok. Yang penting ada karbonya.” “Apa pentingnya kamu bilang itu sama saya?” dengusku. Senyum perempuan itu luntur seketika. “Maaf. Saya pikir jika kamu masih ingat kebiasaan saya dulu. Sekali lagi, maafkan saya.” “Jangan sekali-kali kamu bahas lagi tentang masa lalu. Saya membenci hal itu. Dan ingat, kamu cuma sebagai karyawan. Jangan lancang untuk membahas hal selain yang berhubungan dengan kerjaan, apa yang saya minta kamu untuk kerjakan.” *** “Balik kantor atau langsung pulang, Pak?” tanya Jasmine saat kami berada di mobil kembali setelah meeting. Waktu sudah menunjukkan pukul 16:45, sedangkan jarak dari tempat meeting ke kantor sekitar setengah jam-an. Sudah akan memasuki jam pulang kerja, aku rasa akan sedikit macet dan bisa-bisa baru tiba di kantor menjelang maghrib. “Saya mau langsung pulang. Kalau kamu, harus balik lagi ke kantor. Kamu harus menyelesaikan kerjaan yang seharusnya kamu selesaikan hari ini. Karena besok, hal lain lagi yang akan dilimpahkan dari Melanie. Waktunya cuma 10 hari kerja lagi di kantor.” “Baik, Pak.” “Kamu nanti saya turunkan di pertigaan lampu merah sekitar 10 menit dari sini. Setelah itu, kamu bisa naik ojek untuk balik ke kantor.” “Iya.” Seperti tadi saat berangkat, kami sama-sama hening. Tak terasa, mobilku hampir tiba di lampu merah yang aku maksud. “Saya turunkan di halte depan aja. Lewat dikit dari lampu merah.” Jasmine mengangguk. Setelah dirinya turun, aku melajukan mobilku ke arah kantor. Ya… aku berbohong pada Jasmine karena ingin melihatnya kesusahan saja. Jalanan kebetulan tidak begitu macet. Aku memarkirkan mobilku di gedung seberang yang mana terdapat sebuah coffeshop di sana. Aku duduk di bagian luar coffeshop dengan pandangan mengarah ke gedung seberang jalan di mana kantorku berada. Hingga aku melihat sosok Jasmine turun dari sebuah ojek. Dia baru tiba di sana pukul 17:35. Aku beberapa kali melirik jam di pergelangan tanganku. Waktu berjalan dan sekarang sudah menunjukkan pukul 20:00, Jasmine belum tampak keluar dari gedung. Hingga hujan turun dengan deras. Aku bangkit berdiri dan berlari menerobos hujan menuju mobil yang terparkir persis di depan coffeshop gedung. Aku melajukan mobilku dan putar balik ke arah gedung seberang. Tiba-tiba aku merasa kasihan, bagaimana Jasmine akan pulang di tengah derasnya hujan? Saat mobilku tiba di depan lobi, terlihat Jasmine keluar beberapa saat kemudian. Aku pun membuka kaca mobil di seberangku. Perempuan itu menoleh ke seketika ke arahku. “Masuk!” seruku kencang agar terdengar olehnya karena suara hujan yang begitu deras, berisik. Jasmine menuruni tangga dan mendekat ke arah mobilku. “Ada apa, Pak?” Bukannya langsung masuk, dia malah bertanya. “Saya antar kamu pulang!” Jasmine tersenyum, kemudian menggelengkan kepala. “Nggak usah, Pak. Terima kasih. Rumah saya jauh.” “Kalibata mana jauh coba?” Aku tentunya masih ingat di mana letak rumah perempuan itu karena dulu sering ke sana. “Enggak tinggal di Kalibata lagi. Saya udah pindah, jauh.” “Di mana emangnya?” “Lenteng Agung, masuk ke dalam lagi jauh.” “Nggak apa-apa. Ayo, saya antar!” Jasmine menggelengkan kepala. “Nggak usah, saya naik kereta aja. Lebih cepat.” “Ya udah, saya antar sampai Stasiun Tebet.” Loh, kenapa aku yang ngotot mengantarkan dia? “Terima kasih atas tawarannya, Pak. Tapi, saya mau naik angkot aja. Permisi, Pak. Saya duluan.” Jasmine mengangguk dan langsung berlari menerobos hujan le arah depan. Di depan memang ada halte. Apa-apaan ini? Kenapa aku yang jadinya dibuat kesal olehnya?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD