Bab 3: Arion

1118 Words
Aku berdehem mendengar jawaban Jasmine. Apa dia sangat membutuhkan pekerjaan ini? Aku tahu, Jasmine berasal dari keluarga sederhana. Bahkan, dulu saja keluarganya masih tinggal di sebuah rumah kontrakan. "Kenapa kamu keluar dari perusahaan sebelumnya?" "Karena perusahaan itu mengalami collapse." Aku manggut-manggut. Dan kembali melihat lembaran berkas CVnya. Pengalaman kerjanya lumayan—isi portofolio perempuan itu cukup bagus. Dia lulusan dari salah satu universitas negeri dengan IPK yang tinggi. Jasmine memang pintar sejak sekolah dulu. "Semisalkan diterima, apa kamu keberatan untuk bekerja sekaligus merangkap personal assistant? Kebetulan saya lagi butuh juga." Aku mempunyai seorang personal assistant juga yang ikut aku pergi ke mana pun untuk urusan kerjaan atau pribadi. Di luar hal yang tidak dikerjakan oleh sekretarisku di kantor. Namun, dia juga berniat mengundurkan diri karena ingin membuka usaha di Bali. Aku juga tak bisa melarang seseorang yang ingin berkembang. "Mau!" Sudut bibirku terangkat membentuk senyuman sinis mendengar Jasmine yang langsung menyahut antusias. Sepertinya Jasmine memang membutuhkan pekerjaan ini. "Akan ada tambahan gaji tentunya, dari saya sendiri," lanjutku lagi. "Tapi itu juga semisal kan kamu diterima. Karena ada banyak kandidat lain yang melamar untuk posisi ini juga." Jasmine mengangguk. “Saya mengerti.” "Oke. Saya rasa cukup untuk interview-nya. Semoga beruntung." "Terima kasih, Pak. Saya pamit dulu." Alisku terangkat begitu Jasmine mengulurkan tangannya padaku untuk bersalaman sembari tersenyum. Aku tak menyambut uluran tangan itu hingga Jasmine menariknya kembali tangannya beserta senyumnya yang luntur seketika. Aku ingat bagaimana dulunya pernah menggenggam tangan itu... Aku menggelengkan kepala. Terbayang akan kenangan yang pernah kulalui bersamanya dulu. Ada sekitar 1 jam kurang aku interview Jasmine. Interview terlama yang aku lakukan. Aku memberikan banyak pertanyaan padanya, mengatakan berbagai macam prosedur yang sebenarnya tidak begitu penting. Aku yang awalnya berniat menghajar mentalnya supaya mundur, akan tetapi perempuan itu tampak pantang menyerah. Menarik sekali melihat kegigihannya. Setelah Jasmine, ada satu kandidat lagi yang interview. Kurang dari 10 menit, aku selesai mewanwancarai kandidat tersebut tanpa bertanya banyak hal setelah membaca berkas CVnya. Kandidat itu lebih muda 4 tahun dari Jasmine dan lulusan universitas ternama. Baru punya satu pengalaman kerja selain magang. Aku tak begitu tertarik, begitu juga dengan kandidat sebelum-sebelumnya. Aku memanggil sekretarisku untuk menyampaikan sesuatu. "Tolong bilang sama bagian HRD, nggak usah lakukan interview lagi. Saya udah menemukan kandidat yang tepat untuk menggantikan posisi kamu." "Baik, Pak." "Oh ya, satu lagi," ucapku sebelum sekretarisku itu keluar dari ruanganku. "Minta HRD untuk mengabari pelamar bernama Jsmine Ayuningtyas yang hari ini saya interview. Tanyakan, apa bisa besok langsung bekerja atau kapan dia bisanya." Sekretarisku itu mengangguk. "Kabari saya segera. Saya tunggu." Setelah skeretarisku itu keluar, aku meraih CV Jasmine dan menyeringai menatap foto yang tertera pada bagian atas data dirinya tersebut. Jasmine Ayuningtyas, aku pikir tidak ada salahnya menerima perempuan itu menjadi sekretaris sekaligus PA-ku. Dia itu pintar, jadi aku rasa dia layak mendapatkan posisi ini. Selain itu, jika dia jadi sekretarisku, aku rasanya ingin bermain-bermain dengan sedikit memberikan pelajaran kepadanya sebagaimana dulu dirinya yang mempermainkan perasaanku. Tak ada salahnya, bukan? Aku yang begitu mencintainya dengan tulus kala itu, ternyata dia menjalin hubungan denganku hanya karena taruhan dari temannya. Sungguh sakit sekali rasanya. Aku sampai menangis mengetahui fakta tersebut. Dia merupakan cinta pertamaku, dia juga yang menorehkan luka padaku. *** "Gosip itu beneran, Ar? Seriusan lo pacaran sama kakak kelas yang itu?" tanya Saga. "Hmmm." "Kok bisa? Gimana ceritanya??" "Nggak gimana-mana," jawabku singkat. Terdengar dengusan sebal dari teman sebangkuku itu. "Irit kosakata banget lo! Enggak mau cerita." Aku tak menjawab, sibuk memasukkan buku dan alat tulis ke dalam tas. "Ar, tapi gue penasaran. Sorry nih, gue tanya, kenapa harus dia?" Aku sontak menoleh pada Saga dengan alis terangkat. Maksudnya apa? "Maksud gue, kan banyak yang jauh lebih cantik dari dia, yang seumuran juga. I mean, kalau mau sama kakak kelas, kenapa enggak sama Kak Gladys aja yang cantik banget begitu? Dia primadona di sekolah ini. Udah cantik, body goals, pintar dan terkenal ramah juga. Suka sama lo, tapi malah lo tolak. Heran gue! Kenapa lebih milih yang kayak gitu?" "Yang kayak gitu gimana maksud lo?" Aku menatap tajam Saga. Aku tak suka dia berbicara seperti itu, kesannya seperti menganggap Jasmine tak layak bersanding denganku. Jasmine memang tak secantik Gladys atau perempuan lainnya yang menyukaiku. Namun, aku menyadari jika perempuan itu mempunyai daya tarik tersendiri. Setelah sebulan bersamanya, aku lama-kelamaan merasa nyaman dengannya. Walau pada awalnya aku tak tahu kenapa aku langsung menerimanya, sekarang aku berpikir untuk serius dengannya. Aku menyukai sosoknya yang sederhana. Hubungan kami yang awal mulanya canggung, tak banyak bicara satu sama lain, sudah mulai berkembang saat ini. Aku yang lebih banyak mengajaknya berbicara. Dan sejak 2 minggu lalu, aku menawarkan diri untuk menjemput dan mengantarkannya sekolah. Jasmine menolaknya tadinya, akan tetapi aku tetap datang mengantarkannya pulang dan setelahnya mulai rutin antar jemput. Hari Sabtu lalu, itu pertama kalinya aku mengajaknya kencan menonton di bioskop dan melanjutkan malam mingguan dengan makan malam bersama. Gladys, kakak kelas yang Saga maksud memang menyukaiku. Dia menyatakan perasaannya padaku kira-kira 2 minggu sebelum aku pacaran dengan Jasmine. Sebelumnya, dia beberapa kali mendekatiku dan aku tak pernah meresponnya. Aku sama sekali tak tertarik meski tak menampik jika dirinya memiliki paras yang cantik. Jika menurut orang-orang, dia itu perfect, tapi tidak begitu menurutku. Bagaimana sikapnya di sekolah, tak menunjukkan bagaimana karakter aslinya dia. Aku pernah tak sengaja melihatnya memakai pakaian seksi dan bermesraan dengan seorang. "Santai, Kawan!" seru Saga. "Gue cuma enggak nyangka aja, sih. Kirain lo yang nyaris perfect begini, milihnya yang setara juga sama lo." "Lo nggak tahu apa-apa, mending diam. Gue yang jalanin, gue yang rasain dan enggak butuh pendapat orang lain." Aku bangkit berdiri setelah mengecek ponsel dan mendapati pesan dari Jasmine yang mengatakan bahwa dirinya telah menungguku di parkiran. Dulu itu memang banyak yang terkejut ketika berita menyebar dengan cepat bahwa aku memacari Jasmine. "Selain pintar dan ketua cheers, apa lagi kelebihan yang dimiliki Jasmine itu? Cantik pun enggak". Begitu lah penilaian orang-orang di sekolah kami yang heboh dan aku mengabaikannya. Bayanganku tentang masa lalu terhenti ketika sekretarisku masuk ke ruanganku pada pukul 15:00. "Ada apa?" "Pihak HRD udah menghubungi pelamar yang Bapak maksud." "Lalu?" tanyaku tak sabar. "Dia bisa langsung masuk besok." "Bagus. Setelah ini, kamu tolong minta lagi bagian HRD untuk menyiapkan kontrak kerja samanya. Soft copy dulu aja dan kirim ke kamu. Nanti saya akan menambahkan beberapa poin di sana dan kamu ketik tambahannya itu." "Baik. Ada lagi, Pak?" "Untuk saat ini nggak ada. Nanti saya kasih tahu lagi untuk selanjutnya kalau ada tambahan. Silahkan keluar dan segera kasih yang saya minta." Aku terkekeh sinis membayangkan akan bagaimana ke depannya setelah merekrut mantan kekasihku itu menjadi asistenku. Rasa sakit dulu yang pernah kurasa, kembali muncul ke permukaan. Dear mantan, persiapkan dirimu untuk berhadapan dengan orang yang pernah kamu jadikan bahan taruhan ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD