Bab 2: Jasmine

1762 Words
Aku tersenyum melihat adikku yang ternyata sudah pulang dari kampus. Dia tengah duduk bersandar di sofa bed dengan mata terpejam. Sofa bed seharga 900 ribuan, itu adalah satu-satunya tempat duduk yang terjangkau dan muat di kontrakan kecil kami. Mata adikku terbuka ketika aku duduk di sebelahnya. "Capek banget kayaknya," ujarku sembari merapihkan helaian rambutnya. "Udah makan?" "Udah, Kak." Syafira, adikku itu berusia 7 tahun di bawahku. Aku 29 tahun dan dia 22 tahun. Dulu, aku mempunyai seorang adik sebelum Syafira yang usianya beda 3 tahun denganku. Namun, dia meninggal karena sakit ketika berusia 3 tahun. Selang 3 tahun kemudian, ibuku melahirkan Syafira dan 2 tahun setelahnya melahirkan anak laki-laki yang diberi nama Raffan. Kami hanya tinggal bertiga sejak 4 tahun lalu. Kedua orang tuaku meninggal karena kecelakaan. Kami yang awalnya mengontrak di sebuah rumah yang kamarnya ada 2, setelah itu pindah ke kontrakan petakan kecil. Aku harus bisa mengelola keuangan agar adik-adikku tetap bisa melanjutkan sekolah kala itu. Untung saja, setelahnya mereka bisa lanjut kuliah menggunakan beasiswa. Awalnya, adikku menolak untuk kuliah karena ingin membantuku mencari uang. Tapi, aku meminta mereka untuk tetap kuliah. Syafira yang kuliah lebih dulu dan Raffan 2 tahun setelahnya. Mereka mendapatkan uang saku serta bebas biaya kuliah. Namun, uang saku yang didapat tidak lah banyak. Raffan yang tidak tega padaku, kerja part time di restoran usai pulang kuliah. Setidaknya itu sedikit mengurangi bebanku. Hanya saja, aku memintanya untuk menggunakan uang yang didapatnya untuk kebutuhannya sendiri saja. Biar lah untuk sehari-sehari di rumah dan uang kontrakan per bulan menjadi tanggunganku. Syafira yang sempat ingin bekerja menjadi SPG, aku melarangnya. Aku ingin adik perempuanku itu fokus menyelesaikan kuliahnya dulu dan setelah itu baru mencari pekerjaan. "Kapan sidang, Syaf?" "Dua minggu lagi, Kak. Do'ain aku, ya?" "Pasti Kakak do'ain dong! Semoga lancar dan dapat nilai yang bagus." "Aamiin. Biar bisa cepat-cepat nyari kerja juga." Aku mengangguk. "Kak Jasmine gimana? Udah dapat panggilan interview lagi?" Aku menggeleng. "Belum. Tapi kemarin ini psikotest dan interview sama HRD hari Jum'at lalu sepertinya bagus. Semoga aja ada kabar baik, ya?" "Aamiin." Aku sudah 7 bulan ini menganggur karena perusahaan tempatku bekerja mengalami collapse. Untuk sehari-hari, aku mengandalkan tabungan yang sekarang hanya terisa 1 juta saja dan hasil dari artikel yang aku kirimkan ke media online. Raffan ada memberikan 500 ribu per bulan sejak aku tidak bekerja lagi. Aku tahu berapa gajinya yang tidak tetap itu, jadi aku tak membebankannya dengan berkata jika tabunganku masih banyak karena telah bekerja dalam waktu lama sejak kedua orang tua kami masih ada. Untuk bulan ini, aku rencananya hendak meminjam uang pada sahabatku, Inara. Dia adalah sahabatku sejak kuliah, tinggal satu-satunya yang paling dekat denganku karena Helen yang merupakan sahabatku sejak SMA tidak lagi tinggal di Indonesia sejak 4 tahun lalu. Dia ikut suaminya yang bekerja di luar negeri. Semoga saja pada bulan ini aku mendapatkan pekerjaan. Memang agak susah karena usiaku yang akan memasuki 30 tahun. Banyak perusahaan yang rata-rata mencari sekretaris dengan maksimal umur 26 tahun. Pernah kemarin ini ada yang tak mempermasalahkan umur, hanya saja katanya tak sanggup membayar gaji sesuai dengan aku ajukan. Aku sempat negosiasi dengan menurunkan 2 juta agar diterima, tapi kenyataannya aku tidak mendapatkan kabar lagi setelah interview tersebut. Jum'at kemarin, aku melamar di sebuah perusahaan yang cukup besar dengan modal nekat. Melihat isi CV-ku, aku berharap bisa diterima di sana meski agak ragu jika perusahaan tersebut mempermasalahkan perihal umur. Tapi kriteria yang aku baca pada situs pencari kerja di sana, maksimal umur 30 tahun dan belum menikah. Berarti aku masih masuk kriteria, bukan? Meski sudah berusia mendekati angka tiga, aku belum ada kepikiran untuk menikah. Lagi juga, aku sudah lama sekali tidak memiliki pasangan. Terakhir pacaran ketika tahun pertama bekerja usai lulus kuliah. Ponsel di tanganku berbunyi—menandakan ada notifikasi masuk. Aku tersenyum begitu membaca pesan yang menyatakan bahwa aku lolos interview dengan pihak HRD dan besok diminta untuk hadir interview langsung dengan Direktur Utama. Aku melamar sesuai posisiku sebelumnya, yaitu sekretaris. Dan posisiku yang sekarang aku lamar adalah sebagai sekretarisnya direktur utama. Tapi masalahnya di sini, setelah mencari tahu tentang perusahaan tersebut, CEO di sana saat ini adalah seseorang yang merupakan masa laluku. Arion Raka Widyatama, mantan pacarku yang selalu kuingat sampai kapan pun. Seseorang yang mengisi tahun terakhir masa putib abu-abuku. Aku sangat mencintainya, dulu. Akan tetapi, caraku memulai hubungannya dengan berawal dari sebuah taruhan yang membuat Arion murka saat mengetahui jika dirinya dijadikan taruhan. "Gue enggak dapat beasiswa lagi, Len. Nilai gue turun," ungkapku sedih kepada Helen, sahabatku. "Gimana gue mau bayar SPP nanti? Waktu berjalan dan nggak kerasa entar udah waktunya bayaran.” "Tenang. Lo bisa pakai uang gue, enggak perlu ganti." Aku menggelengkan kepala. "Nggak, Len. Lo udah terlalu baik sama gue selama ini. Gue ngerasa nggak pantas buat nerima." "Helen, lo dipanggil sama Bu Heni." Pembicaraan kami terhenti karena suara seseorang memanggil Helen. "Tunggu ya, Mine? Entar kita bahas lagi." Helen bangkit berdiri, sementara aku masih duduk di sana. Tak lama, seseorang datang menghampiriku. Gladys namanya, temanku sesama cheers. "Lo lagi pusing mikirin SPP, Min? Sorry, barusan gue nggak sengaja dengar." Aku mengangguk jujur, karena dia sudah terlanjur mendengar juga. "Gue bisa bantu lo," lanjutnya lagi membuatku menoleh dengan kening berkerut. "Bukan bantu lo dengan cuma-cuma tapinya. Lo juga nggak akan mau nerima bantuan uang begitu aja, 'kan? Jadi, gue punya sesuatu tantangan buat lo. Hasil dari lo, lo bisa dapetin uang." Aku sedikit tertarik dengan ucapan Gladys. "Gue harus kerja?" "Lebih tepatnya ngerjain apa yang gue pinta." Walau merasa agak aneh, aku tetap penasaran. "Gampang, kok." "Apa?" Gladys pun menyebutkan sesuatu untuk aku lakukan. "Arion, anak kelas satu yang orang tuanya menjadi donatur tetap di sini. Gue pengen lo nembak dia, gimana pun caranya lo harus jadiin dia pacar. SPP dan segala macam keuangan lo nanti sampe lulus, gue bayarin!" "Kalau dianya enggak mau?" "Cari cara supaya dia mau. Lo bisa masang tampang memelas dan lainnya, usaha pedekate gimana pun caranya." "Kenapa harus dia?" "Lo nggak harus tahu alasan gue.” "Hmm. Kalau semisalkan gue berhasil?" "Gue akan kasih tahu lo harus apa selanjutnya." Dan aku melakukan permintaan Gladys... demi uang. Dari pada harus menerima bantuan gratis dari Helen. Sahabatku itu sering mentraktirku, membayarkan ini itu untukku—sudah terlalu banyak. Aku tak ingin merepotkan Helen terus-menerus. Setelah semingguan lebih memantau target, akhirnya tiba pada hari itu di mana aku memberanikan diri untuk menghampiri seorang adik kelas yang bernama Arion tersebut. Niat awalnya ingin pedekate, akan tetapi aku tidak tahu bagaimana caranya yang tepat. Aku tidak punya pengalaman. Ketika Arion mau berbicara denganku berdua di taman belakang sekolah, aku malah langsung mengatakan padanya bahwa aku menyukainya dan meminta dirinya jadi pacarku. Tak kusangka jika Arion mengiyakan permintaanku. Semudah itu? Gladys bahkan tampak terkejut ketika aku reflek memeluk lelaki itu saking senangnya niatku berjalan dengan lancar. Nanti akan aku ceritakan lagi tentang kisahku dengan Arion pada masa lalu. Aku mendesah, apa kah Arion akan profesional interview aku pada esok hari? Mengingat bagaimana dulunya hubungan kami yang berakhir dengan tidak baik. Aku memberikan penjelasan pun, tak ada gunanya. Karena awalnya aku memang salah. Aku tak membantah, tapi… aku benar-benar mencintainya setelah kebersamaan kami. Tak peduli jika usianya terpaut 2 tahun lebih muda dariku. Aku nyaman bersama Arion dengan segala perlakuan manisnya padaku. Tapi, setelah belasan tahun berlalu, bisa jadi Arion sudah melupakan semuanya. Kami berdua sudah dewasa sekarang, mungkin dia tak akan mengungkit kisah kami pada masa lalu. Arion tampan dan punya segalanya, banyak kelebihan. Mungkin saja saat ini dia telah sibuk dengan kekasihnya atau bisa jadi telah menikah? *** Aku tetap maju tak gentar datang untuk interview langsung dengan pimpinan perusahaan yang tak lain adalah mantan kekasihku. Aku mematut diri di kaca toilet berkali-kali sebelum menemui staff HRD yang akan mengantarkanku menuju ruangan pimpinan perusahaan ini. Santai, Jasmine… semua cuma masa lalu. Aku meyakinkan diri untuk tetap semangat karena berharap bisa diterima. Tak peduli jika harus bekerja dengan sang mantan. Aku butuh uang dan di sini salary yang akan didapatkan cukup besar. Dan aku tak mau menganggur lebih lama lagi di mana tabunganku sudah tidak ada lagi. Sisa 1 juta dan aku harus membayar sewa rumah juga. Jika diterima, aku bisa meminjam lebih besar kepada sahabatku dan menggantinya bulan depan. Aku berharap Syafira bisa cepat mendapatkan pekerjaan juga. Masuk ke dalam ruangan, aku pikir Arion tak akan kekanakan. Aku salah menduga, dia malah mengatakan jika salah satu kekuranganku adalah ‘pembohong’ ketika aku menyebutkan kekurangan yang aku miliki. Dia jelas sekali mengungkit kebohonganku pada masa lalu. Aku hanya terdiam menundukkan kepala lemah. "Jasmine Ayuningtyas. Umur kamu saat ini udah 29 tahun dan sebentar lagi akan memasuki kepala tiga... " Aku mendongak dan menarik menapas mendengar suara berat Arion yang sedang membaca lembaran CV-ku yang berada di tangannya. Perasaanku mulai tidak enak. "Apa kamu ada rencana menikah dalam waktu dekat?" lanjutnya lagi menatap lurus padaku. "Umur segini biasanya udah berada pada zona merah, kebelet nikah." Aku bisa membaca bahwa Arion saat ini tengah berbicara padaku dengan nada mengejek. Arion benar, seharusnya aku sudah menikah. Usiaku tak lagi muda, banyak teman sekolahku yang rata-rata telah menikah dan memiliki 2 atau 3 anak. "Saya harus memastikan bahwa sekretaris yang akan saya terima, tidak akan menikah dalam waktu 3 sampai 5 tahun ke depan. Ribet, akan mempengaruhi kinerja kalau sudah menikah. Emm, kamu bisa mundur kalau merasa keberatan dengan syarat awal sebelum saya lanjut membacakan prosedur lainnya." Apa Arion sengaja secara tak langsung memukulku mundur? Aku memang belum ada niat menikah dalam waktu dekat ini. Namun, aku tak yakin dengan 3 hingga 5 tahun ke depan. Bisa jadi aku menemukan jodohnya dalam rentan waktu itu. Bagaimana ini? Jika aku mundur, aku belum tentu akan mendapatkan panggilan kerja yang sesuai. Di sini, setelah interview dengan pihak HRD minggu lalu, mereka sanggup menggajiku sesuai angka yang aku tulis pada form data diri yang diminta untuk diisi. Harus berapa lama lagi aku akan menganggur? “Gimana? Silahkan kalau kamu mau mundur. Masih banyak yang lain antri yang ingin mendapatkan posisi ini.” Aku diam sedang berpikir keras sejenak. Setelah menimang-nimang, aku menganggukkan kepala. Tak apa semisalkan paling lambat aku menikah 5 tahun lagi. Aku membutuhkan pekerjaan ini. Soal jodoh, semoga saja aku mendapatkan yang terbaik suatu saat nanti. “Saya tak keberatan semisalkan diterima,” ucapku yakin. “Are you sure? Mau jadi perawan tua kamu?” tanyanya terdengar mengejek. Aku menahan diri untuk tidak menangis. Kenapa Arion mulutnya jadi pedas begini? Apa Arion masih tidak terima dengan kebohonganku dulu yang menjadikannya bahan taruhan? “Saya hanya ingin fokus bekerja untuk saat ini, Pak. Urusan menikah, bisa belakangan. Saya percaya jika Tuhan sedang menyiapkan jodoh untuk saya nanti.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD