Peniru

1009 Words
Sebuah berita menyebutkan tentang pembunuhan berantai yang kulakukan. Mereka menyebutnya Blue Murder karena kebiasaanku meninggalkan bunga mawar biru sebagai identitas. Namun yang membuatku kesal saat menonton berita tersebut adalah lokasi penemuan mayat yang berada di sebuah sekolah tua. Mereka menyebutkan bahwa korban adalah seorang pelajar perempuan. Tubuhnya dibalut oleh plastik wrap seperti yang kulakukan. Bahkan dijelaskan kematiannya disebutkan kehabisan darah karena luka sobek di leher. Mereka menyimpulkan bahwa ini perbuatanku. Blue Murder case yang berkelanjutan. Aku kesal setengah mati karena dituduh. Karena sudah jelas itu bukan perbuatanku. Ada seseorang yang meniru cara kerjaku. Plagiat! Yah..aku tak menyangka ada orang yang suka dengan caraku menyelesaikan mereka. Apa aku memiliki penggemar? "Gee -" panggil Dara lembut. Gadis itu mendekatiku meski dengan raut wajah yang masih terlihat sungkan dan takut. Aku mendekatinya lantas mengambil apa yang ia bawa untukku. Mungkin Dara bingunf melihatku menghampirinya. Apalagi saat aku juga memeluknya setengah badan. "A..ada apa?" "Maaf." Dara diam saja. Mungkin terkejut mendengarku mengatakan hal itu. "Maaf soal kemarin itu. Aku tak bermaksud membentak ataupun menyakitimu," ucapku setengah berbohong. Aku berkata jujur saat tak bermaksud membentaknya dan bohong ketika aku bilang tak ingin menyakitinya. Justru aku teringin sekali menyakitinya apalagi dengan sekali atau dua kali penetrasi untuk melampiaskan kebosanan dan kekesalanku dengan peniru itu. Dara tampak tak mengelak saat aku menggiringnya menuju tembok. Membelakangiku lantas aku langsung membuatnya banyak menyebut namaku. Aku tak langsung menghujaminya karena aku ingin bermain sedikit. Tapi itu pun jika Dara tak menolaknya. "Yes, i do." Aku cukup terkejut mendengarnya. Dara bersedia untuk kuikat seperti waktu itu. Dengan mulut yang tersumpal sapu tangan, aku mengikat kedua tangan Dara kebelakang. Kupinta gadis itu untuk menungging lantas kupukul beberapa kali dengan tanganku. Saat pukulan kesepuluh sayangnya ada seseorang yang datang mengetuk pintu. Kami berdua gelagapan namun tetap berusaha tetap tenang. Kubuka pintu selagi Dara memperbaiki dirinya yang berantakan. Dan aku sedikit tertawa geli saat Dara mengumpat bahwa ia tengah menikmati dan kesal saat permainan itu menggantung. Aku kembali ke perhatianku pada gadis yang pernah kutemui sebelumnya. Dia adalah Alice rekan dari Irene. "Hai. Apa aku mengganggu?" tanya Alice basa basi. Aku tersenyum saja sambil mengantarkan Alice untuk duduk di dekat mini bar. "Kau sendirian? Di mana Irene?" "Ah..dia ada urusan sebentar jadi daripada menunggu lama aku yang datang sebagai perwakilan " "Hai Alice! Apa kabar?" Dara sudah selesai berbenah. Tampak wajah gadis itu menahan sesuatu yang tadi memang kutanamkan di bawah tubuhnya. Dua bola perak yang dapat membuat Dara terangsang setiap saat. Itu bisa dilihat bagaimana susahnya dia menghapus rona merah di wajahnya. "Oh hai Dara. Aku baik. Bagaimana denganmu? Apa kau demam?" tanya Alice polos. Sepertinya tak menyadari dengan cara Dara gelisah sejak tadi. "Tidak. Aku baik-baik saja. Oh ya apa kedatanganmy tentang surat kontrak itu?" "Yah. Aku butuh tanda tangan kalian berdua." "Oh bagus sekali. Ini lebih cepat dari perkiraanku." "Dan sebenarnya aku datang ke sini juga untuk mengajak kalian ke pesta ulang tahunku. Apa kalian mau datang?" "Pesta? I love party. Kapan?" seru Dara. Selagi kedua wanita itu berbincang, aku memilih ke pantry untuk menyiapkan sesuatu sebagai cemilan dan minuman. Ternyata ada banyak buah yang tersisa. Maka tak perlu banyak memasak ini itu, aku memutuskan untuk membuat salad campuran antara buah san sayuran. Alice pasti suka. "Esok lusa. Aku berencana merayakannya dengan one night at beach. Apa kalian mau bergabung?" "Satu malam di pantai? Wow tampak menarik. Aku ikut! Bagaimana denganmu Gee?" Aku masih belum menanggapi karena sibuk memotong buah. Terutama buah nanas yanh harus kubuang sisik dan kulitnya dulu. "Kalau terlalu ramai aku tak yakin." "Tidak terlalu ramai. Hanya diisi oleh keluarga dan juga rekan kerja." "Irene juga ikut?" Pertanyaan Dara mewakili pertanyaanku. Aku menungu jawaban Alice sebelum aku memberikan jawaban yang jelas untuk ajakannya itu. "Tentu saja. Dia kan teman baikku." "Tapi sepertinya tunangannya itu tak suka Irene pergi berpesta -" Alice tertawa. Ia seperti tengah mendengarkan cerita lucu, "Mino memang seperti itu. Kolot! Aku tak suka polisi kaku macam dia." "Tunangan Irene seorang polisi?" Aku selesai membuat salad dan keduanya berpaling dari percakapan mereka. Alice memuji makanan ringan buatanku sambil melanjutkan ceritanya. "Yah. Karena itu pernikahan mereka tertunda karena Mino sibuk menangani kasus." "I see -" sambung Dara. Aku berdeham sambil tersenyum senang. Paling tidak aku punya kesempatan untuk mendekati gadis itu. "Jadi bagaimana? Kau mau ikut kan Gee?" "Karena kalian memaksa jadi mari kita buat pesta yang tak akan terlupakan." # "Gee sayang..." Aku bergerak gelisah. Suara itu kembali datang. Aku ingin membuka mata namun sulit kulakukan. Yang ada..aku semakin tersiksa karena tak bisa bergerak saat wanita jahat itu datang dan mengiris pahaku. Aku terengah sambil meringis kesakitan merasakan setiap pisaunya mengenai kulitku. Ibuku melotot ketika aku berhasil membuka mata. Dia lalu merangkak naik ke atas tubuhku dan terbang melayang. Dengan seringaian dan rambutnya yang menjuntai, aku seperri tahu apa yang akan dia lakukan selanjutnya. Dan tanpa aba-aba, Ibu menatapku lekat-lekat tepat ke mataku. Tak cukup membuatku merinding, Ibu menyeringai sambil berteriak keras. Membuatku akhirny terbangun dengan teriakan yang ia keluarkan tadi. "KUBUNUH KAU!" Dengan sekuat tenaga, Ibu menancapkan belatinya ke dadaku. Meski itu hanya mimpi, aku bisa merasakannya saat terbangun. Kulihat Dara masih terlelap dengan tidur secara tengkurap. Aku langsung bangkit untuk mengambil air minum. Napasku masih tersengal dan aku hanya bisa mencuci muka berharap mimpi itu tak muncul lagi. Tapi sepertinya sulit. Bayangan ibuku akan selalu ada di manapun. Seperti sekarang. Ia muncul lagi meski aku tak sedang tertidur. Aku melempar air ke bayangan ibu yang tepat berada di hadapanku itu dengab kesal. Tapi tetap saja, itu tak mengenainya karena itu hanya ilusi. Ilusi tentang kematian ibuku yang tak wajar itu. "Pergi lah! Aku sudah melakukan apa yang kau sukai. Jadi jangan ganggu aku!" bentakku. Namun sepertinya sulit. Bayangan ibuku akan terus ada selama aku melakukan apa yang ia inginkan. Bagaimana aku menjadi pembunuh berantai ialah karena ibu. Dia yang terus menghantuiku itu selalu menghina dan menjeritkan tentang ingin membunuhku. Aku tertawa geli karena mungkin pengaruh dari wine. Ibuku yang tampak lusuh dengan membawa pisau besar di tangannya itu malah terlihat seperti arwah yang gentayangan Mirip. Memang sangat mirip. Dan aku tertawa sambil menantang ibu untuk membunuhku. Apa dia bisa lakukan dengan keadaannya yang sekarang . "Ibu takkan bisa membunuhku karena aku tahu apa maumu. Maaf Ibu..sepertiny kau akan lebih lama bergentayangan karena aku belum ingin mati seperti dulu." . . bersambung Jangan lupa kritik dan sarannya ya gaes..huhuhu makasih banget yang udah tap love dan follow :*
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD