"Char? Char siapa tadi yang kau sebut?!"
Mino mencengkram tangan sebelahku ke dinding. Memberikan rasa yang cukup sakit di punggungku. Aku tahu ia tak berani melukaiku, tapi tetap saja. Aku takut dengan kemarahan laki-laki.
Kusentuh bahunya pelan lalu memberanikan diri menatap mata cemburunya yang menyala. Aku minta maaf setulus yang aku bisa —
"Charlie. Aku memanggilmu Charlie, maaf. Aku tengah memikirkan orang itu —"
Bel masih berbunyi dibalik punggungku. Aku menoleh dan seketika Mino melepaskan cengkramannya. Berganti membukakan pintu dengan amat sangat emosi.
Di sana berdiri sepupu jauhku yang telah lama tak kutemui. Pria itu dan aku dipertemukan lagi setelah aku tak sengaja makan di restorannya.
Dan aku cukup terkejut, saat aku tau dia dan Gerald adalah rekan bisnis. Dunia memang memberi banyak kejutan.
"Irene!"
"Charlie?"
Mino bertanya dan aku segera mencegahnya. Aku rasa pikiran Mino sudah penuh dengan nama itu. Memang aku tak pernah menyebut nama itu selama in, tapi yang aku tahu Mino seorang pencemburu. Terakhir kali dia pernah masuk penjara karena memukul seorang pria yang menyukaiku terang-terangan.
"Sorry? Namaku Jose, hallo. Kau tunangan Irene itu?"
Mino menoleh padaku masih dengan tatapan yang sama. Jose tampak kebingungan lalu melirik padaku. Aku hanya bisa menunduk lalu menerima semua yang Jose bawa untukku.
"Ah, i know. Aku datang di saat yang tidak tepat yah? Kau meninggalkan pesta , jadi ku bawakan masakan yang kau pesan tadi."
"Pesta?"
Kini suara Mino sedikit lebih lembut. Aku rasa, Mino sudah menyadari kesalah pahaman ini.
"Yah.. Aku dan temanku mengadakan pesta kecil di rumahnya —"
Kedua pria itu berakhir saling bercerita selagi aku menaruh piring berisi bacon panggang dengan saus tartar yang memang tadi kupesan pada Gerald sebelum kami masuk ke apartemen masing-masing.
Wajahku memanas. Mungkin gugup karena Gerald sama sekali tak mengalihkan pandangannya padaku. Apa karena kemarin malam?
Cerita di pantai semalam benar-benar membekas.Di sana lah ingatanku tentang Charlie semakin menyita pikiranku.
Begitu lama aku tak mengetahui kabar teman sekamarku dulu di bangsal rumah sakit tempat aku dirawat akibat traumatis.
Sekelebat ingatanku muncul saat bocah tujuh tahun itu pingsan di koridor rumah sakit. Aku memapahnya dengan tubuh kecilku menuju ruang kepala.
Napasnya tak teratur menerpa pundakku. Sebab itulah, aku menjadi panik karena Mino yang tanpa suara mendekapku. Dan sialnya aku juga memikirkan embusan napas Gerald juga yang membuatku ikut meremang. Aku merasa berdosa -
Mino kembali ingin menyelesaikan percakapan kami yang tertunda setelah mengusir Jose pulang. Aku merasa bersalah melihatnya duduk diam mendengarkanku menjelaskan semuanya. Dan ikut bersalah lagi saat aku bersama dengan pria lain.
Bagaimana mana ini? Aku tak bisa menghilangkan pikiranku tentang masa lalu dan juga Gerald. Oh Tuhan..
Mino mendekat dan tanpa ampun memagut bibirku. Tangannya secara bebas menyapa titik-titik rangsangan di tubuhku yang akan begitu mudahnya membuatku terbuai.
Benang saliva kami belum lagi terputus saat ia mencari oksigen di sekitarnya. Mino dengan segera mendorongku jatuh ke sofa lalu melanjutkan apa yang ingin ia dapatkan.
Melepas semua potongan demi potongan untaian benang yang menutupiku. Sampai tak membiarkanku membalas perbuatannya karena setiap jengkal kulitku di sentuh dengan lidah tak bertulangnya.
Saat aku tau ia mulai menginginkan lebih, Mino dengan bibir bengkaknya mendikteku lagi, "Masih berani memikirkan pria lain? Cukup sekali ini saja. Ku mohon jangan buat aku kecewa Irene."
Dia tak butuh persetujuanku karena dia tahu aku hanya akan pasrah dengan kendalinya. Apapun itu, Mino selalu berhasil membuatku terkurung dalam genggamannya.
Selama ini, aku tidak pernah bisa atau memang tak pernah ingin, menatap pria lain selain Mino.
Tapi belakangan, aku mulai mengabaikan semua prinsip yang kubuat.
Karena pria itu.
Yah.. Aku mulai mencari tahu tentang pria yang membuatku berdetak layaknya yang aku rasakan jika bersama Mino.
Aku mulai...
Merasa bersalah karena melakukan pengkhianatan kecil yang tak tampak ini.
.
.
Haruskah ku maki Mino dengan sebutan f*****g Mino ?
Tubuhku dipenuhi hasil perbuatannya tanpa bisa kucegah. Bahkan tak memberi spasi pada leher dan juga area depan tubuhku.
Pagi-pagi sekali Mino berangkat ke kantor polisi. Aku bahkan hanya menerima secarik kertas saat terbangun pagi ini.
Pesan dengan tanda seru yang banyak. Memintaku agar hanya memikirkannya seorang.
So funny...
Sebenarnya aku ingin mengurung diri dulu untuk menghilangkan jejak sialan Minoku ini, tapi janjiku dengan kepala rumah sakit , tak bisa kubatalkan begitu saja.
Dengan sweeter turtle neck merah, aku menutupi semua hadiah kecil Mino itu. Setibanya aku disini, langkahku semakin cepat begitu melihat wanita tua yang menyambutku di depan rumah sakit.
Aku memeluknya teramat erat, hingga ia menepuk punggungku kesal.
"Kau ingin membunuhku?"
Aku meringis, "Sofia —"
Sofia tersenyum hangat padaku, "Masuklah. Di luar sangat dingin."
Rumah bekas aku dirawat ini tak mengalami perubahan yang signifikan. Hanya bangunannya saja yang ditambah serta Taman bermain untuk anak-anak yang mengidap PTSD sepertiku dulu.
Aku masuk ke ruangan bekas di mana ayah dulu bekerja.
Sekali lagi..
Sekelebat ingatan muncul. Kali ini tentang darah ditanganku dan tubuh ayah yang telah terbujur kaku dengan luka lebar di d**a.
Membuatku berhenti melangkah...
Aku berpegangan pada pintu ganda dan aku bersyukur Sofia menangkap tanganku segera.
"Kau ingin bicara di tempat lain ?" ajaknya.
Aku mengangguk dan ia membawaku ke rest area. Aromaterapi yang ada di ruangan membuatku lebih rileks.
Sofia juga memberikanku teh bunga krisan yang menambah kenyamanan dudukku untuk merenggangkan kaki. Setelah sebelumnya kurasakan kakiku seperti tak bertulang.
Aku buka perbincangan langsung dengan menanyakan kabarnya. Setelah kami bertukar pengalaman seru, aku akhirnya mencari tahu tujuanku datang ke sini.
"Charlie? Terakhir kali dia pergi karena sepasang suami istri mengadopsinya. Aku tidak ingat siapa, tapi mereka masih kerabat dengan Charlie."
"Apa dia masih memakai nama itu?"
Sofia menggeleng seraya mempertahankan senyumnya. Meski keriput telah mengitari wajahnya, tapi entah bagaimana, Sofia masih mengeluarkan aura tajam seperti dulu.
Dingin dan hangat.
Seolah bisa menjadi satu di dalam dirinya.
"Sepertinya tidak. Dia tentu menggunakan nama aslinya dan menambahkan nama keluarganya yang baru."
Aku meraih gelasku lagi sebelum menanyakan pertanyaan terakhir. Aku tau Sofia orang yang sibuk. Dia tak bisa berada di sini lama karena kesibukannya dengan yayasan amal yang tersebar nyaris di penjuru negeri.
Karena itu, aku tak mau menunda kesempatan ini.
"Apa nama keluarganya yang baru?"
Sofia mencoba mengingat, namun sepertinya itu sulit...
"Maaf sayang, aku tidak bisa mengingatnya. Karena kita biasa memanggil nama inisialnya, aku jadi lupa dengan data pribadinya."
Aku mengangguk paham, "Tidak apa-apa. Aku mengerti."
"Aku akan minta bantuan sekretarisku untuk mencari tahu. Jika telah diketemukan , aku akan menghubungimu."
"Baiklah. Terima kasih, " seruku bahagia.
Sebelum berpisah, Sofia memberiku bingkisan sekotak teh krisan padaku. Hingga taksi yang kupanggil datang dan Sofia mengecup keningku sebelum aku masuk ke mobil.
Hingga ia berseru mengingat sesuatu. Aku sampai mengurungkan niatku masuk karena ia tersenyum lebih lebar padaku.
"Mungkin aku bisa mulai mencari Charlie dengan nama keluarga barunya —"
Aku ikut tersenyum mendengarnya, "— ia mendapat nama Cartner —" lanjutnya dan pikiranku tak jauh-jauh dari nama pria itu.
Gerald Cartner.
.
.
Bersambung