Di pintu itu, di langit.
Aku bisa melihat bayanganku yang pudar
Mungkin kegelapan ini
Menyerupai cermin
Nafasku yang meninggi dan naik
Dan semua hal yang mengguncang di dunia
Sepertinya mereka memanggilku
Matahari merah terbit
Kamu membuatku kembali..
Aku tidak punya tempat untuk kembali
Tidak ada tempat untuk beristirahat
Aku hanya mengubur diriku dalam kegelapan
Dengan dunia yang pucat
aku mendengar suaramu
Meneleponku.
Langkah kakiku yang kelelahan tetap sendirian
Hilang tanpa tujuan
Seperti matahari terbenam di langit
Telpon aku
Bangunkan aku.
===========
Sulit sekali untuk menghilangkan kebiasaan ini. Terlebih saat tempat 'bermainku' diusik.
Hah! Aku menderita sendirian tanpa orang lain tahu. Penderitaan yang bahkan sudah aku rasakan dari kecil lagi.
Kulihat salah satu stasiun tv meliput tempat yang biasanya kupakai untuk mengeksekusi korban-korbanku. Aku gemetaran tanpa kusadari. Aku akan terus begini jika tak merobek leher seseorang. Dan malam tadi aku sudah mendapatkannya.
Namanya Elly Wang. Perempuan berdarah china itu kulihat sudah memaki anaknya. Bicara tentang memaki, mungkin ibuku adalah juaranya. Lalu karena makian Elly itu darahku langsung mendidih. Elly benar-benar seperti ibu.
Maka malam tadi aku pura-pura menawarkannya pekerjaan. Meski awalnya dia ragu namun begitu melihat tokoku dia langsung setuju. Dan ketika malam gelap hari itu, aku langsung menghabisinya tanpa perlu waktu lama. Padahal aku cukup lelah setelah menghabiskan separuh waktuku bersama Irene.
Nah..aku tak sadar juga telah bersama gadis itu. Aku jadi memikirkannya beserta seluk beluknya. Haruskah kulakukan itu?
Selesai kugores leher Elly aku langsung membungkusnya. Kulepaskan semua pakaiannya dan membakarnya. Tentu saja untuk menghilangkan identitas. Tapi karena koperku agak kecil untuk dirinya yang jangkung, aku memutuskan untuk memotong kedua kakinya dan juga tangannya. Agar bisa menekuk dengan sempurna.
Daa jadilah ia kini terperangkap dalam koperku. Untunglah Elly tak sebesar tunawisma itu. Tapi oh..itu berbeda. Charlotte adalah kesialan. Aku tak sengaja melampiaskan nafsu membunuhku padanya. Melihat dari ukuran tubuhnya tentu aku tak mungkin menyeretnya seperti ini. Aku cukup membuangnya lalu pagi ini polisi menemuman jasadnya.
Sial!
Sepertinya cara kerjaku mulai kacau. Tapi apa? Apa yang membuatku sedikit merubah pola membunuhku? Untunglah aku mengetahuinya lebih dulu sehingga aku bisa berhati-hati. Ini semua karena wanita itu.
Aku menghindari penghuni lain dengan menaiki lift. Maka aku memilih tangga darurat ini agar aku bisa lebih sedikit rileks.
Aku bahkan tak tahu kebiasaanku ini buruk. Aku pikir..wajar jika aku memberikan hukuman pada orang tua yang menyakiti anak-anak mereka.
Apa anak-anak itu minta untuk dilahirkan?
Dulu aku sering menanyakan hal itu pada diriku sendiri. Kenapa Tuhan menitipkan aku pada orang tua pecandu narkoba seperti ibu?
Kenapa aku harus dilahirkan dengan menderita?
Kenapa? Kenapa!
Penyiksaan demi penyiksaan. Pukulan demi pukulan, ketakutanku dan kemarahannya selalu menjadi momok hingga tidurku pun tak pernah tenang. Karena aku takut, ibu akan tiba-tiba mencekikku.
Lalu satu hari aku ditolong oleh seseorang. Yang ternyata kehidupannya juga tak kalah sulit. Mereka memang tampak seperti keluarga yang harmonis. Tapi siapa sangka sang ayah bahkan dibunuh oleh puteri semata wayang mereka.
Dunia memang penuh dengan tipu daya. Aku pikir memang hampir tak ada yang namanya harmonis. Semua pasti tetap akan merasakan yang namanya masa kelam.
Aku pikir ketenanganku ada di tangga darurat ini. Tapi ternyata tidak. Ada seseorang yang mengawasiku dari belakang. Anjing pemburu akan tetap menjadi pemburu. Walau senurut apapun orang tersebut, ia tetap akan kembali seperti semula. Menjadi predator untuk melukai orang lain.
Apa manusia juga memiliki naluri seperti itu?
Pasti ada. Aku contohnya. Aku tak pernah ingin berhenti. Sampai aku benar-benar bisa melepasnya.
"Kau mau pergi? Kopermu sepertinya berat -"
Aku menoleh perlahan. Membuatnya sedikit mengeryit. Aku mencium aroma kecurigaan darinya. Dan aku harus waspada saat matanya mulai memindai rasa penasaran ke.koperku.
"Tidak, ini tidak berat. Hanya saja aku yang suka membawanya dengan menyeret seperti ini."
"Ooh. Unik sekali. Padahal ada lift kau justru lebih memilih turun tangga."
"Sekalian berolahraga," senyumku. Mencoba untuk ramah.
"Anda sendiri, kenapa tak menggunakan lift?"
Polisi satu ini mulai banyak bicara. Padahal aku pikir saar melihatnya pertama kali semalam, aku berasumsi bahwa calon tunangan Irene ini irit bicara.
"Oh..sama sepertimu, turun tangga lebih menyehatkan."
Kami berdua akhirnya sama-sama menikmati waktu dengan berbincang banyak hal. Dan aku baru mengetahui tentang pekerjannya yang tengah mencari pembunuh berantai di kawasan ini.
Ck. Apa lama-lama ia akan sadar bahwa orang yang meresahkan itu adalah aku.
"Dua keahlian yang bertolak belakang sekali -" ujarnya saat aku bercerita tentang pekerjaanku selama ini.
Aku tertawa tipis mendengarnya, "Memasak harusnya jadi kebiasaan orang lain selain untuk wanita saja. Kita butuh makan karena itu aku jadi koki. Desaigner juga demikian."
Tunangan Irene itu tergelak. Ternyata dia punya bad joke juga.
"Kau sendiri? Apa yang kau kerjakan selain mengejar penjahat?" tanyaku balik.
"Kau tahu aku polisi?"
"Dari Irene. Tentu saja. Dia banyak bercerita tentangmu."
Mino mendelik penasaran. Mungkin dia bertanya-tanya apa benar Irene yang menceritakan semua itu?
"Oh ya? Irene cerita apa saja tentangku?" tanyanya balik.
"Tak banyak. Dia hanya cerita kalau kau tunangannya."
Kami akhirnya bisa terpisah setelah sampai ke lantai dasar apartemen.
"Senang bisa ngobrol denganmu. Bagaimana kalau satu hari kita minum bersama?"
"Sure. Aku tunggu undanganmu," jawabku pura-pura. Padahal sejak tadi, aku sudah ingin muntah setiap kali mencoba akrab dengan orang lain .
Apalagi dengannya. Pria dari wanita yang mulai menarik perhatianku.
Aku harus secepatnya membuang mayat Elly Wang ini. Lokasi yang mungkin orang lain menyadari bahwa pembunuhan ini berbeda.
Tapi di mana?
Padang jagung. Yah..tempat itu cukup ideal. Kulajukan mobilku ke sana. Berharap tepat waktu sebelum seminar tentang PMO akan di mulai sejam lagi.
Aku melewati tempat itu dengan segala kenangan yang aku punya. Terutama dengan Jasmine. Gadis kecil berbaju biru yang menyelamatku. Gadis kecil yang rahasianya membuatku terperenyak.
Berlarian, mencari dan bermain, menjadi rutinitas kami. Bertemu dengannya adalah mimpi indah. Dan mimpi itu terpaksa pergi karena ia meninggalkanku. Kemana dia sekarang?
Apakah dia merindukanku?
#
Apa karena aku bekerja sama dengan kekasihnya maka aku akan terus bertemu dengannya?
Mino lagi-lagi muncul di hadapanku. Entah memang kebetulan atau ia sengaja untuk datang mampir ke restoranku.
Dengan seorang pria muda lain mereka bercengkrama dengan Jose yang menyambut mereka dengan hangat. Aku mengamati saja sampai ketika aku turun dan mendengarkan pembicaraan mereka. Terutama tentang guyonan Mino tentang tak sempat sarapan karena meninggalkan gadisnya tertidur lelap.
Entah kenapa..hatiku memanas.
"Baiklah. Ayo masuk, aku akan buatkan sesuatu untuk kalian dan ini siapa?" ajak Jose yang berada di seberang pantry itu
Mino menolak dengan mengatakan sesuatu yang membuatku mengeryit.
"Tak perlu repot-repot Jose. Kami hanya ingin meminta ijin darimu untuk mengecek sesuatu."
"Mengecek apa?"
"Kamera. Kami ingin cek kamera cctvmu yang ada di belakang gedung."
"Hai...kita bertemu lagi. Ada apa ini?" tanyaku basa-basi. Mino menyambut uluran tanganku lantas kembali menjelaskan tentang maksud dan tujuannya datang kemari.
"Kalian sudah dengar tentang pembunuhan keji di gedung kosong itu kan?"
"Ah ya. Aku dengar tubuhnya penuh luka dan darah," ujar Jose ketakutan.
"Lalu?"
"Kami hanya ingin cek cctvmu yang letaknya tak terlalu jauh dari TKP. Apa kalian keberatan?" tanya Mino seolah mengancam dengan kedua matanya yang serius memandangi kami berdua.
"Sayangnya itu tidak bisa Mino. Karena kamera itu hanya tempelan saja. Kamera off, you know lah," ucap Jose sambil tertawa malu-malu.
Aku menambahkan dengan mengatakan hal yang sama seperti yang Jose katakan. Tanpa bisa berbuat apapun, Mino dan rekannya menghela napas kecewa lalu pamit pulang.
"Aku minta maaf tak bisa membantu penyelidikanmu."
"Tak apa. Dan terima kasih jamuannya. Lain kali aku akan bawa Irene kemari," tukas Mino yang mulai menyalakan mobil SUV nya dan berlalu.
Aku menatap mobil putih itu pergi sambil mengumpat terang-terangan.
Bahwa aku benci pria itu.