Aku tak percaya ini. Aku terlalu takjub karena mengetahui fakta ini.
Benarkah Charlie itu adalah Gee?
Lantas..kenapa dia tak mengingatku? Ah..apa mungkin karena penampilanku yang telah berubah dewasa?
Itu bisa saja.
Ah..aku harus menemuinya. Pasti menyenangkan bisa menemukan teman masa kecil.
Aku terlalu bersemangat hingga sebuah taksi nyaris menabrakku saat aku hendak menyeberang ke restaurannya. Namun kuurungkan untuk masuk ketika aku lihat Mino daa Bobby baru keluar dari sana.
Aku melarikan diri. Bersembunyi disebalik mobil yang terparkir tak jauh dari mobil milik Mino. Jantungku berdebar. Takut dengan apa yang akan terjadi jika aku berani menemui Jose ataupun Gerald.
Karena sepucuk surat dari Mino saja sudah membuatku merinding.
"Kau yakin itu kamera mati?"
Itu Mino setengah berbisik dengan Bobby setelah mereka keluar dari resto. Mino tampak kesal lalu tak lama mereka masuk ke dalam mobil.
"Pria bertato itu terlihat tidak asing -"
"Maksudmu si wajah datar itu?"
"Iya. Ah aku baru ingat. Dia pria yang membawa Irene mabuk malam itu."
Apa?
Jadi Bobby pernah melihatku bersama Gee? Pantas saja Mino marah semalam dan berbuat hal sedikit kasar padaku. Ternyata selain karena aku menyebut nama Charlie padanya, sebelumnya ia tahu tentang aku yang dipapah oleh Gerald ke apartemen oleh Gee.
Astaga..kalau begini aku benar-benar seperti wanita jalang. Aku seperti mengkianati Mino dari belakang
"Mereka rekan kerja. Sudahlah aku sedang tak ingin membahas itu. Sekarang tulis laporannya dan kita coba kembali ke TKP. Mungkin akan menemukan sesuatu."
Mereka hendak pergi namun karena aku gegabah, persembunyianku dicurigai. Mino berteriak siapa dan aku memilih untuk diam dan mencoba untuk kabur.
Maafkan aku Mino. Aku tak pernah bermaksud untuk berselingkuh darimu. Semua ini terjadi karena aku mabuk. Yah..aku harus akhiri semua ini.
Aku harus menghindar dari Gee untuk selamanya.
"Siapa di sana?"
Masih dengan teriakan Mino. Tak lama mereka mulai melakukan gerakan menyergap ke mobil silver tempatku bersembunyi. Namun begitu mereka berpencar untuk mencoba menangkapku, aku sudah lebih dulu berpindah mobil.
Kulihat Mino terlihat kecewa karena pelarianku. Mereka akhirnya kembali ke mobil dan aku memilih menjauh sambil menatap ponselku yang bergetar tanda paggilan masuk. Panggilan itu saling bersahutan. Dari Alice lalu Gerald.
Aku ingat hari ini ada pembukaan PMO. Namun melihat hal ini, aku jadi mengurungkan diri untuk bergabung.
Aku tak ingin menambah beban untuk Mino. Aku ingin menjadi wanita baik untuknya.
"Alice, maaf. Aku tak bisa datang. Bisakah kau menggantikanku?"
Alice di ujung telepon terdengar menghela napas. Mungkin gugup karena dia memang tak pandai berpidato di depan umum. Tapi Alice tak bertanya lebih lanjut. Dia memilih mengiyakan dan menutup teleponnya.
"Baiklah. Tapi aku tak ingin ada penolakan saat pesta ultahku besok. Kau janji?"
Aku memijit kening. Lupa dengan rencana pesta itu. Kupenuhi walau aku tak yakin mendapat ijin dari Mino atau tidak. Bagiku sekarang, Mino adalah prioritasku.
"Aku tanya Mino dulu -"
"Hais..belum jadi suami saja dia sudah begitu," gerutu Alice tak berkesudahan. Aku sedang tak ingin berdebat hingga percakapan ini berhenti."
#
Sesuai pesannya, Mino akan pulanh cepat hari ini. Maka untuk menyambutnya aku sudah selesai menyiapkan makanan asli ibunya, yaitu korea.
Mino keturunan korea - Amerika. Karena itu namanya tetap menggunakan Kim di belakangnya. Beberapa tahun yang lalu Mino pernah membawaku ke sana. Dan negara itu begitu amazing.
Negara besar dengan banyak sekali perempuan cantik dan modis. Aku pikir, aku juga mulai menyukai drama mereka yang biasanya selalu kutonton di tv kabel.
Dan saat aku di sana, aku dibuat kenyang dengan makanan korea seperti kimbab, bibimbab, aneka sup dan juga makanan ekstrim seperti gurita hidup.
Hem. Mungkin lain kali aku akan mencoba memakannya lebih baik.
Bel berbunyi. Tak seperti biasanya. Kalau itu Mino dia akan langsung masuk karena dia tahu password rumah ini. Setelahnya, aku mendengar suara klik yang berarti pintu terbuka setelah ditekan passwordnya.
Namun..aku tak mendengat salam darinya.
Aku mulai curiga dan berjalan perlahan untuk memeriksa siapa yang datang. Melirik sekitar karena aku takut itu bukan Mini. Sampai di depan pintu, aku mengintip dari balik lubang pintu kecil itu.
Tidak ada siapapun dan saat kuperiksa gagang pintu keadaan normal dan terkunci. Lalu tiba-tiba, aku merasakan sesuatu di bekakangku. Entah apa namun sesuatu yang tak kuinginkan.
Aku berbalik dengan amat perlahan dan..
"Hoaah!"
"Aarrrg!"
Kupukul dengan keras seseorang yang menyerangku itu. Dan saat panciku ditahan olehnya, aku memberanikan diri membuka mata dan melihat siapa dia.
Betapanya jeleknya dan menyebalkannya Mino dengan f*****g wajahnya yang nyengir itu!
"MINO!"
"Iya sayang..ada apa?" ucapnya tanpa rasa bersalah.
Aku terus melayangkan pukulan manja padanya karena berhasil menakutiku. Dia tetap saja tertawa jahil menerima semua. Ciuman sekilas bulunya membuatku tenang dan Mino menatapku jahil sambil kembali memagutku hingga dia membawaku ke meja makan penuh dengan hidangan makan malam untuknya.
Untungnya dia berhenti setelah mencium bau masakannya. Kalau tak, aku mungkin sudah berakhir di atas ranjang sekarang.
"Wow..kau memasak?"
"Tentu. Hari ini menunya sangat spesial."
"Humm. Apa hari ini ulang tahunku?" ucapnya sambil tak sabar untuk menyicipi kimbabnya dengan kedua tangannya yang belum dicuci itu.
Aku menepuknya sebelum dia benar-benar menyentuhnya.
"Cuci tanganmu dulu -"
Mino mencebik kesal, "Arasseo arasseo."
"Huh? Apa itu?" tanyaku tak mengerti. Mino berlalu saja sambil membawa handuk yang sudah kusiapkan. Berlari kecil menuju kamar mandi.
"Baiklah. Itu artinya," jawabnya yang kemudian masuk ke kamar mandi dengan semringah.
Selesai mandi, Mino yang hanya mengenakan celana olah raga tanpa baju itu langsung duduk di kursinya. Aku bisa lihat otot-otot di tubuhnya yang mampu membuatku pangling dan memasrahkan diri saat ia menindihku. Aku akan selalu puas jika melihat bentuk tubuhnya dan aku juga akan merasa sakit jika melihat luka tembak di perutnya itu.
Mino pernah hampir kehilangan ginjalnya karena peluru masuk dan bersarang di usus besarnya. Membutuhkan banyak jam untuk mengeluarkannya dan akupun hampir mati memikirkan keadaanya.
Syukurlah Mino masih diberi kesempatan hidup dan kini dia ada di hadapanku. Pekerjannya terkadang membuatku merinding. Dia akan terus bertemu dengan banyak penjahat dan kemungkinan lain yang bisa saja mengancan nyawanya.
Seperti kali ini, dia harus menangani kasus dari pembunuh berantai yang sampai sekarang belum mendapatkan kabar tentang itu. Bahkan korban juga semakin berjatuhan padahal tempat tersangka biasa menyembunyikan mayatnya telah diketemukan.
Aku jadi mengira, pelaku kesal dengan hal itu dan mengubah cara membunuhnya. Apa dia sudah sangat candu untuk membunuh?
Itu bisa saja.
"Hei..kenapa melamun? Ayo makan," ajak Mino yang bahkan sudah menyantap setengah dari telur dadar.
Aku menggeleng melihatnya makan sangat banyak hingga mulutnya penuh.
"Makanlah yang banyak. Kau pasti butuh banyak energi."
"Kalau aku tahu kau membuat masakan ini, aku ajak Bobby untuk makan sekali."
"Bobby? Ah..sudah lama kita tidak menjamunya. Apa dia sibuk?"
Mino mengangguk dengan mulut penuh. Aku memberikannya segelas air dan memintanya untuk pelan-pelan saja.
"Kami semua sibuk. Dia juga sibuk pacaran selama ini."
"Oh ya? Siapa pacarnya?"
"Dia janda beranak satu. Humm seleranya tidak masuk akal."
Dengan cepat aku menendang kakinya dan hanya ditanggapi tawa oleh Mino. Dia tahu aku tak suka mendengar ocehannya dan aku juga tahu Mino hanya bercanda.
Memangnya kenapa dengan status janda? Bukankah tidak ada yang akan menolak pesona mereka?
"Sepertinya Bobby serius dengan wanita itu? Bagaimana orangnya?"
"Hum yah. Dia sangat menggilainya. Tapi aku tak tahu orangnya seperti apa."
Makanan habis tanpa tersisa. Aku menggeleng lagi karena Mino baru sadar aku baru makan sedikit. Kami akhiri makan malam ini dan Mino tampak begah hingga tak sanggup beranjak. Aku sendiri memilih untuk mencuci piring setelah semu selesai.
Hening sebentar hingga Mino memanggilku. Ia tampak nyaman dengan duduk bersandari di depan tv.
"Sayang -"
"Hum?" jawabku sambil tetap melanjutkan untuk mencuci piring.
"Tadi aku pergi ke restauran sepupumu itu --"
Deg.
Apa Mino tahu? Akulah yang bersembunyi itu?
Aku menoleh untuk melihatnya yang kini menatapku serius. Mino pun melanjutkan ucapannya tanpa ekspresi sama sekali.
"-- aku melihatmu bersembunyi. Apa kau menghindariku?"
Deg! Entahlah. Aku langsung tak bisa bergerak sama sekali.
Aku..seperti dihantam banyak anak panah olehnya.
"Apa kau ke sana untuk menemui pria itu?"
.
.
bersambung