Peniru ( bag. 2 )

1004 Words
Acara launching berjalan dengan lancar. Antrian untuk produk terbaru kami berupa coat berbulu dengan miniskirt berbulu juga laku dipasaran. Dara yang paling banyak membantuku untuk mengatur acara ini berjalan dengan lancar. Tidakada yang menggangguku sampai aku menyadari bahwa Irene tak datang di acara ini. "Bagaimana? Kau puas?" "Aku bisa menduganya bahwa ini akan terjual habis." "Promosi mereka tak main-main. Aku senang mendapatkan rekan seperti mereka." "Tapi...kenapa Irene tak datang?" tanyaku akhirnya yang tak bisa lagi menahan rasa penasaranku. Dara juga baru menyadarinya. Gadis itu mencoba untuk menghubungi Irene namun tak tersambung. "Mungkin dia ada urusan yang tak bisa diganggu." Entahlah. Aku pikir bukan itu alasannya. Seorang pelayan datang menghampiriku. Memberikanku sebuah amplop dengan potongan-potongan kata yang pengirim ambil dari kertas koran. Aku membacanya dan cukup terusik dengan isinya. Sebuah surat ancaman bertuliskan - I KILL YOU. "Surat siapa Gee?" Dara ikut membacanya lalu tercengang. Ia menahan diri untuk tidak berteriak namun akhirnya ia lakukan juga. Pasalnya seseorang telah menggantungkan sebuah foto salah satu korbanku di kepala manekin. AAARRRRGGGG! Semua panik. Dan asalnya juga bukan hanya berada disatu manekin, tapi di beberapa manekin juga. Petugas segera mengamankan foto tersebut sembari aku mencari seseorang yang kurasa mencurigakan. Lalu atensiku jatuh pada seseorang berpakaian hitam yang berlari keluar dari tokoku. Aku mengejarnya hingga dia kulihat berlari ke sebuah gang sempit. Aku kejar dengan sepeda motor yang kebetulan ditinggal pemiliknya masuk ke minimarket. Kekacauan tak bisa dielakkan. Pelaku yang aku bisa tebak bahwa dia adalah seorang pria itu terus berlari tanpa memikirkan orang lain di depannya. Aku mengejarnya terus hingga dia masuk ke dalam gedung. Karena tak bisa kulalui dengan sepeda motor, akupun masuk dengan berlari. Dia naik ke lantai atas dan aku mengejarnya secepat yang aku bisa. Suara sirine bersahutan di luar mungkin untuk membantuku dalam mengurus penjahat kecil sialan ini. Aku tidak akan melepaskannya. Tidak sebelum aku membakar tulang belulangnya lalu kubuang ke sungai Puri. Gedung ini bekas motel.. Tak jarang ada banyak pintu kamar di mana-mana. Aku terpaksa mencarinya dengan membuka satu persatu pintu namun belum juga mendapatkan hasil. Padahal hanya berlantai satu, tapi aku cukup kewalahan dengan tingkah kucing-kucingannya ini. Bayangannya terus berlarian di setiap sudut pintu kamar. Aku mengejar namun saat kubuka tak menemukan apapun. Lalu....suara tangga yang terpijak menyadarkanku, bahwa ia tengah melarikan diri dari tangga balkon. Saat aku cek ke sana, tak ada seorang pun yang berlarian di sana. Dan..ketidak fokusanku menjadi bencana bagiku. Orang itu mendorongku keras dari belakang hingga aku nyaris terjatuh kalau saja aku tak sempat meraih salah satu besi pagar. Kulihat dia tersenyum menang, sambil mengambil pisau belati yang ia simpan di belakang sakunya. Orang itu menyeringai sambil mengacungkan pisaunya untuk melukai tanganku. "b*****h sialan sepertimu, harusnya di NERAKA!" AAARRRGGHH Tanganku yang tengah berpegangan dengan besi berkarat, ditusuknya. Belum puas dengan itu dia mencabutnya lalu melakukannya sekali lagi. Aku menggeram melihat kepasrahanku ini. Aku berhasil meraih tali sepatunya dan dia tergelincir. Tak lama suara langkah kaki bertubi-tubi menyapa tangga kayu. Pria itu mundur lalu meraih pisaunya kembali. Sambil menjilati bekas darah yang ada di sekitar pisau. Aku merutuki diriku karena kalah darinya. Dia..benar-benar telah menginjak harga diriku! Tak lama polisi datang bergerombol. Mereka berpencar menjadi dua kelompok dengan satu timnya menyelamatkanku naik ke atas. Aku digiring untuk mendapatkan pertolongan. Salah satu orang dari sekian banyak polisi yang datang, aku bisa melihat rekan Mino itu turut bergabung. Aku tidak tahu pasti siapa namanya. Yang jelas, dia lah rekan Mino tersebut. "Hai..kau tidak apa-apa?" tanya si pemuda berambut sedikit ikal itu. Aku masih menerima pertolongan pertama sebelum akhirnya masuk ke dalam mobil ambulans. "Ya..aku baik-baik saja." "Apa kau melihat wajah pelaku? Aku harap kau bisa memberikan kami keterangan agar pelaku bisa kami temukan." Ck. Menemukan? Mencari orang yang telah membunuh banyak ibu muda saja kalian tak bisa menemukanku, apalagi orang itu. "Baiklah." "Pergilah dulu," ucapnya setengah memerintah. Kulihat nametag di d**a kaos army yang ia kenakan. Di sana aku baru melihat dengan jelas siapa namanya. Bobby. Bobby McGuel. # Sampai di rumah sakit, empat puluh jahitan mewarnai kulitku. Aku tak menyangka, bisa mendapatkan serangan orang sepertinya. Siapa dia? Apa dia pernah melihatku membunuh? Atau dia lah peniru itu? Aku tidak suka bersosialisasi, lingkar pertemananku pun hanya sekitar pekerjaan. Lantas, cuma satu kemungkinan. Orang tersebut adalah orang yang bersinggungan langsung dengan pembunuhan yang kulakukan. Atau bisa jadi, dia pernah melihatku membunuh. Ck. Aku kecolongan kali ini. "Apa sakit sekali?" Perempuan bermata hazel itu tengah asik menjahit telapak tanganku. Namanya dokter Anna Simpsons. Wanita yang cukup cantik bila disejajarkan dengan deretan dokter yang masuk dalam bidang pembedahan yang selalu berkaitan dengan darah setiap harinya. Mungkin karena aku terdengar menggerutu tadi, karena itu dia bertanya. Aku menggeleng cepat sampai suara tangis seseorang menghampiriku. Itu Dara. Gadis itu membalikkan badan ketika aku tengah dijahit dan berlumuran darah. Yang menarik perhatianku adalah seseorang di belakangnya. Ada Irena yang sejak kemarin tak kulihat batang hidungnya. Dia terlihat cantik seperti biasa, dengan wajah datarnya yang tengah memperhatikan proses penjahitanku. Tak berselang lama dokter Anna menyelesaikan tugasnya. Dia berbenah diri dan mempersilahkan penjengukku masuk mendekat. "Satu jam lagi akan aku periksa," ujarnya lalu menghilang dibalik tirai. "Gee! Kau tidak terluka serius kan?" "Hanya empat puluh jahitan. Itu tidak akan membuatku mati." Dara kesal karena penuturanku. Gadis itu memelukku erat tepat di hadapan Irene. Entah kenapa dia hanya berdiam diri saja tanpa mengatakan apapun. Sesekali berbicara dengan Alice lalu mengalihkan pandangannya dariku. "Hai nona Irene. Lama tak bertemu," sapaku yang dijawab canggung oleh Irene. "Oh hai. Maaf aku tak datang ke pembukaan brand kalian -" "Tak apa. Sekarang pun kau sudah datang itu sudah cukup." Semuanya melirikku serius. Aku acuh tak acuh saja karena toh aku memang senang bisa melihat dia. Entahlah. Hatiku bergejolak cepat melihatnya mengenakan dress work merah seperti sekarang. Dia akan bertambah sexy jika tengah tak tersenyum seperti itu. Keributan sepertinya tengah terjadi di lorong UGD. Seseorang mengacungkan pisau pada seorang petugas kesehatan. Dan kekacauan semakin menjadi saat pelaku yang berpakaian pasien itu mengancam dokter yang ia sandera. Dokter itu adalah dokter yang menangani lukaku yaitu dokter Anna. "JANGAN ADA YANG MENDEKAT! ATAU DIA AKAN KUGOROK!" ancamnya yang tampaknya memang tak main-main. Petugas keamanan pun dikerahkan. Namun tak ada yang berani mendekat karena pelaku itu benar-benar sedikit menggoreng leher dokter Anna. Melihat darahnya yang ada di sekitar itu, kenapa hatiku bergejolak begitu hebatnya? "Dasar...pecundang," gumam Irene yang membuatku terkejut tak percaya. . bersambung Jangan lupa tap and follow yah :* ditunggu juga komen2nya :*
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD