He is Mino ( POV )

1006 Words
Seluruh tulangku rasanya remuk. Tapi aku bisa tersenyum licik saat mengetahui hasil perbuatanku pada Irene. Gadis itu masih terlelap dengan tubuh yang lengket. Lihat saja apa yang akan ia lakukan setelah melihat tanda kepemilikan posesifku padanya. Apa pria-pria itu masih akan mendekatinya? Ya..ya aku tahu kalau aku begitu licik. Tapi terserahlah. Di luar sana mungkin aku adalah polisi yang membela kebenaran, tapi tidak semua polisi akan sok suci untuk tak melakukan hal tak senonoh. Termasuk aku yang bahkaa pernah memukul seorang pria karena ia terus melirik ke wanitaku. Penjara tiga hari cukup membuatku lelap tertidur. Aku berangkat kerja tanpa ingin membangunkan gadisku. Kuletakkan saja secarik pesan untuknya di atas meja dan dia pasti akan segera menelponku. Untuk mempersingkat waktu, aku memilih menuruni tangga darurat. Saat aku turun sampai ke lantai sepuluh, aku melihat seseorang tengah memukul-mukulkan sebuah benda di pegangan tangga. Bunyinya amat kontras dengan area tangga darurat yang sepi ini. Aku semakin mendekat padanya dan kulihat seorang pria tengah menyeret tasnya. Sepertinya cukup berat hingga dia terlihat setengah menyeret koper tersebut. Lalu saat kudekati, aku melihat pria itu dan langsung mengingat wajahnya. Wajah datar yang sempat mengusikku semalam. "Hei. Mau berpergian?" Pria bernama Gerald itu pada awalnya terkejut mendengarku menyapanya. Tapi tak lama ia kembali pada ekspresinya yang datar. "Kau--" "Aku tunangan Irene. Kau lupa?" "Ahh..iya. Maaf, aku tak langsung mengenalimu." "Tak apa. Kita baru sekali bertemu." Hening sesaat. Tiba-tiba aku penasaran dengan tas kopernya itu. Aku jadi teringat dengan analisa prof. Lee tentang kasus Blue Murder ini. Kenapa kami menamainya Blue Murder? Tentu saja karena adanya bunga biru yang ia letakkan tepat di dalam kuburan tempat mayat-mayat itu beristirahat. Karena itu unik disebabkan memakai bunga, kami pun setuju menamainya Rose Blue atau Blue Murder case. Ah...kepalaku langsung berdenyut karena kasus itu. "Kau mau pergi? Kopermu sepertinya berat -" Gerald menatapku tajam saat aku akan menepuk koper berukuran besar itu. Entah apa yang dia pikirkan, yang jelas aku semakin menaruh curiga dengan tas tersebut. "Tidak, ini tidak berat. Hanya saja aku yang suka membawanya dengan menyeret seperti ini." "Ooh. Unik sekali. Padahal ada lift kau justru lebih memilih turun tangga." "Sekalian berolahraga," senyumnya. "Anda sendiri, kenapa tak menggunakan lift?" "Oh..sama sepertimu, turun tangga lebih menyehatkan." Kami berdua akhirnya sama-sama menikmati waktu dengan berbincang banyak hal. Dan aku baru mengetahui tentang pekerjannya yang ternyata adalah seorang designer sekaligus koki. "Dua keahlian yang bertolak belakang sekali -" Gee tertawa tipia mendengarku, "Memasak harusnya jadi kebiasaan orang lain selain untuk wanita saja. Kita butuh makan karena itu aku jadi koki. Desaigner juga demikian." Giliranku yang tergelak. Ternyata dia punta bad joke juga. Dia benar juga, apa yang salah dari memiliki hobi yang bertolak belakang? Toh sama-sama menghasilkan. "Kau sendiri? Apa yang kau kerjakan selain mengejar penjahat?" ungkapnya. Aku meliriknya cukup lama karena tak menyangka dia tahu apa pekerjaanku. Dan saat kutanya dia tahu darimana, Gerald menjawabnya cukup lama. "Dari Irene. Tentu saja. Dia banyak bercerita tentangmu." Aku mendelik penasaran. Apa Irene semudah itu bercerita dengan orang asing? Apalagi itu menyangkut hal pribadi. "Oh ya? Irene cerita apa saja tentangku?" tanyaku balik. "Tak banyak. Dia hanya cerita kalau kau tunangannya." Begitukah? Apa cuma itu saja? Aku punya firasat dia tahu sesuatu. Tapi rasa penasaranku sepertinya harus kutunda karena langkah kami berhentu di anak tangga terakhir. Kami berpamitan untuk menuju mobil kami masing-masing. "Senang bisa ngobrol denganmu. Bagaimana kalau satu hari kita minum bersama?" "Sure. Aku tunggu undanganmu," jawabnya enteng dan kami pun melanjutkan perjalanan kami masing-masing. Dan rasa penasaranku tadi menguap begitu saja. Koper itu gagal kucari tahu apa isinya. # Sampai di kantor keributan malah terjadi. Wartawan sialan ini datang berkerumun ingin menanyakan perihal kematian seoranh tunawisma beberapa hari lalu. Mayatnya dtemukan terbungkung plastik wrap. Tapi bedanya, dia tak di kubur ataupun dibakar. Melainkan diletakkan begitu saja didekat gereja gang freeklyn. Metode pembunuhannya tidak sama dengan mayat yang kami temukan di hutan. Namun yang menyamainya adalah tentang cara membungkusnya. Apa ini dilakukan oleh orang yang sama? Tapi kenapa lebih brutal? Seorang wartawan dari televisi BCC berlari mendekatiku. Diikuti oleh yang lain alhasil aku disorot dan diberi lampu flash yang nyaris membuat mataku buta. Aku menghalau mereka karena tak punya jawaban apa-apa tentang pertanyaan mereka itu. Hingga Bobby datang masuk dalam kerumunan lantas membantuku berjalan masuk ke dalam gedung. "Sir. Kau tahu ini pembunuhan berantai kan?" "Apa kematian tunawisma ini ada hubunhannya dengan yang ada di hutan?" "MINGGIRLAH KUMOHON!" teriak Bobby yang berhasil membawaku ke dalam gedung. Pemuda lulusan terbaik sekolah kepolisian ini awalnya hanya seorang polantas. Karena membantu penyelidikan tentang kematian seorang nenek di gang tempat dia bekerja akhirnya ia bisa sampai menemaniku dalam bekerja. Sekarang dia banyak bekerja di bawah naunganku. Bobby memang bisa diandalkan. Tapi terkadang, dia juga sedikit menggangu. Apalagi saat ia memgandalkan emosinya saat bekerja. "Sial. Jaketku sampai robek!" ocehnya. "Kau sudah periksa semua kamera cctv?" "Dekat gang itu tidak ada kamera namun saat aku menuju salah satu restauran ada satu kamera di belakang dapur mereka." "Lalu?" Bobby menggaruk kepalanya seperti orang bingung. Aku bisa menebak apa yang akan dia katakan. "Kau tidak periksa?" "Hehe..maaf. Kemarin itu aku harus ke bandara. Terjebak macet jadi -" Kutepuk kepalanya dengan map tulang. Sangat keras hingga membuatnya minta ampun. Bobby benar-benar payah jika menyangkut pacar barunya. Yang aku ketahui bernama Anna - seorang janda beranak satu. "Lalu tunggu apa lagi?" "I.iya siap! Aku segera berangkat!" "Tunggu. Aku ikut." Sebenarnya kejadian ini sangat memilukan. Karena terjadi tak jauh dari apartemen Irene yang biasa aku datangi. Kejadiannya terjadi di salah satu gedung kosong tak terpakai. Yang memang begitu strategis untuk menyerang ataupun membunuh seseorang. Kami mendatangi restauran yang Bobby maksudkan. Begitu sampai di sana, aku terhenyak dengan pria tambun yang ada di dalam restauran. Pria itu sepupu jauh Irene yang - Jose Pedro. Kami masuk dan disambut dengan hangat olehnya. Dia juga bahkan berseru melihatku datang. "Mino! Wah senang bertemy denganmu di sini!" "Yah..ini restomu?" "Oh bukan. Ini milik Gerald, pria yang bersamaku hari itu." "Oh jadi ini restaurannya? Great!" "Ya...ya. mari masuk. Kalian sudah sarapan?" "Harusnya begitu. Tapi aku tak tega membangunkan Irene pagi ini." Mereka berdua mendelik padaku. Aku menggendikkan bahu acuh saja saat mata mereka terlihat geli mendengar penuturanku itu. "Baiklah. Ayo masuk, aku akan buatkan sesuatu untuk kalian dan ini siapa?" "Aku Bobby. Rekan kerjanya." "Tak perlu repot-repot Jose. Kami hanya ingin meminta ijin darimu untuk mengecek sesuatu," ujarku to the point. Jose mengeryit bingung. "Mengecek apa?" . . bersambung. Follow and tap lovenya yah. Biar aku semangat updatenya :(
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD