He is Mino ( POV )

1075 Words
"Charlie ? Siapa tadi yang kau sebut?!! " Aku mencengkram tangannya ke dinding. Berharap ia merasakan kemarahanku. Aku tahu Irene membenci kemarahan pria. Tapi tetap saja, aku tak bisa menahannya. Irene menyentuh pelan bahuku lalu memberanikan diri menatap mata cemburuku yang nyala. Lalu aku mendengarnya mengatakan maaf yang kudengar begitu tulus — "Charlie. Aku memanggilmu Charlie, maaf. Aku tengah memikirkan orang itu —" Bel masih berbunyi dibalik punggungku. Aku menoleh lalu melepaskan cengkramanku. Berganti membukakan pintu dengan amat sangat emosi. Di sana berdiri dua pria yang sama sekali tak kukenali. Salah satu dari mereka bertubuh tambun dan juga sama bingungnya melihatku. Sedangkan pria di belakangnya membuatku cukup ragu untuk mengatakan ini. Aku bisa merasakan sesuatu darinya. Sesuatu yang membuat insting kewaspadaanku menyala. Seperti seekor anjing ataupun ular yang bisa menangkap sebuah ancaman. Maka insting itulah yang kumaksud. Dia..tatapannya sungguh berbeda. "Irene—" "Charlie?" Aku bertanya pada pria tambun itu dan Irene langsung mencegahku bertanya lebih lanjut. "Sorry?  Namaku Jose. Kau tunangan Irene itu?" Aku menoleh pada Irene yang diam membeku. Jose tampak kebingungan lalu tanpa sengaja aku melihatnya tengah melirik pada Irene. Irene menunduk lalu menerima semua bawaan Jose. "Ah, i know. Aku datang di saat yang tidak tepat yah?  Kau meninggalkan pesta ,  jadi kubawakan masakan yang kau pesan tadi." "Pesta?" Kini suaraku kubuat sedikit lebih lembut. Aku menyadari kesalah pahaman ini. "Yah.. Aku dan temanku mengadakan pesta kecil di rumahnya —" Irene memilih masuk dan meninggalkan kami bertiga mengobrol di depan pintu. Dan maaf saja, aku tidak suka keakraban ini. Irene seorang perempuan. Dan mereka secara gamblang datang untuk memberikan sesuatu. Jika aku tak di rumah, apa mereka akan masuk untuk duduk dan makan-makanan bersama? Ck. "Ah ya..maaf sekali. Ada yang harus kami lakukan." Jose tertawa terbahak-bahak hingga perutnya bergetar. Entah apa yang dia pikirkan yang jelas ia mengangguk semangat dan tampak melirikku genit. Sedangkan pria di sebelahnya..masih asik mengamati Irene yang berada di dapur. "Baiklah. Maafkan kami. Irene! Kami pamit dulu." "Sebentar!" Panggil Irene sambil mengembalikan taperware yang Jose berikan tadi. Irene menyerahkannya lalu ikut memberi salam perpisahan kepada mereka. "Terima kasih untuk kudapannya. Sampai jumpa, Jose. Sampai jumpa Gee." Gee? Jadi nama pria itu Gee? Setelah mereka pergi, aku kembali ingin menyelesaikan percakapan kami yang tertunda. Irene kembali gelisah dan terlihat kebingungan untuk menjelaskan. "Aku pergi ke rumah Gerald karena dia mengundangku dan Alice untuk makan malam bersama." "Lalu?" "Di sana lah ingatanku tentang Charlie muncul." Sebenarnya aku tahu tentang Charlie. Dia adalah teman sekamar Irene dulu di bangsal rumah sakit tempatnya dirawat untuk menangani traumatis. Irene menjelaskan bahwa ia kembali mengingat kejadian saat bocah tujuh tahun itu pingsan di koridor rumah sakit. Irene memapahnya dengan tubuh kecilnya menuju ruang kepala. Karena ingatan itu, Irene merasa terngiang dan menganggap helaan napasku itu adalah helaan napas Charlie. Sebab itulah, Irene menjadi panik karena aku yang tanpa suara mendekapnya. "Aku benar-benar minta maaf. Sungguh." Aku mendekat dan tanpa ampun memagut bibirnya. Tanganku secara bebas menyapa titik-titik rangsangan di tubuhnya yang akan begitu mudahnya membuatnya terbuai. Benang saliva kami belum lagi terputus saat aku mencari oksigen di sekitarnya. Aku dengan segera mendorong Irene jatuh ke sofa lalu melanjutkan apa yang ingin aku dapatkan sejak tadi. Melepas semua potongan demi potongan untaian benang yang menutupinya. Aku sama sekali tak membiarkannya membalas perbuatanku karena setiap jengkal kulitnya kusentuh dengan lidah tak bertulangku. Saat aku mulai menginginkan lebih, Aku mendiktenya lagi. Kulihat bibirnya bahkan membengkak karena perbuatanku. "Masih berani memikirkan pria lain? Cukup sekali ini saja. Kumohon jangan buat aku kecewa padamu." Aku tak butuh persetujuannya karena aku tahu Irene hanya akan pasrah dengan kendaliku. Apapun itu, Aku akan selalu membuatnya terkurung dalam genggamanku. Aku mulai dengan memagut bibirnya sambil meremas kasar buah dadanya. Irene masih enggan untuk mengerang dengan cara menahan diri. Suara gaduh di atas sofa pun menjadi saksi, bagaimana aku masih belum bisa menerima segala penjelasannya. Aku terlalu posesif? Yah. Aku Mino, pria paling sensitif jika menyangkut Irene. Dia segalanya bagiku. Irene selalu bilang bahwa aku menemukannya, padahal bagiku dialah yang menemukanku. Kulihat dulu ia begitu tertekan dan kurus. Matanya sayu seolah menatap dunia yang tak adil ini. Mungkin memang tak adil karena dia harus menanggung kesedihan separah itu. Waktu itu salju lebat. Irene bermain ayunan di cuaca yang cukup dingin itu. Aku belum menganggapnya ada karena saat itu aku tengah belajar bermain icekating di atas kolam taman kota yang membeku. Hingga sebuah mobil yang melaju tak tentu arah karena tergelincir jalanan yang lici datang menuju kolam. Aku tak sempat melarikan diri namun Irene datang menarikku ke tepi. Aku selamat dari maut namun Irene masih beraut wajah sama. Dingin dan datar. Namun itu tak membuatku takut ataupun enggan. Karena sejak saat itu, aku terus mendekatinya dengan ingin berteman dengannya. Hingga sekarang, aku bisa memilikinya. Kulihat dia masih menahan diri hingga kupagut dalam gundukan putihnya itu sedalam mungkin. Membuatnya melenguh apalagi saat tanganku yang lain mulai masuk ke celana perseginya. "Mino please. Jangan di leher. Besok aku harus --" "I dont care," jawabku yang kini membuka kedua pahanya lebar. Membuka resleting celanaku yang terasa sudah sangat sesak di sana. Irene memberi kode untuk memakai pengaman, namun aku menolak. Kutancapkan langsung ke dalam dirinya yang membuatnya sedikit tersentak hingga pinggulnya terangkat. Aku tak langsung bergerak dan hanya sekedar menancapkannya saja. Hingga Irene terbelalak melihatku sambil mengarahkan tatapan penuh pendambaan. "Kenapa?" tanyanya. Aku menggendikkan bahu tak acuh, "Aku ingin peranmu. Puaskan aku sayang." Irene mendengus lantas berusaha untuk bangun. Aku bersandar pada sofa dan Irene berada di atasku. Berjongkok masih tetap mempertahankan kejantananku yang masih menancap pada dirinya. Irene mengalungkan tangannya ke leherku lalu mulai bergerak naik turun. Aku diam saja seolah-olah tak merasakan apapun. Irene tak menyerah dan dia mulai menghisap p****g di dadaku yang datar. Irene menaikkan libido sedikit. Di sana, ia menyerangku cukup ganas dengan masih menaik turunkan pinggulnya yang indah. Buah dadanya yang putih bersih itu bahkan harus berguncang karena perbuatannya sendiri. Karena tak mendapat respon dariku, dia mencari cara yang lain. Kali ini dia membelakangiku lalu berpegangan pada meja. Irene bergerak maju mundur dalam posisi doggy. Aku mulai melihat bulir-bulir keringatnya yang deras dan juga lenguhannya karena kelelahan. Aku merasakan miliknya sudah berkedut dua kali. Itu artinya Irene telah mencapai klimaksnya. Tapi dia bertahan karena aku yang tak sedikitpun menanggapinya. Aku menghentikannya lantas memeluknya dari belakang. Mencium punggugnya yang halus lalu membiarkannya bersandar di dadaku. Irene ngos-ngosan hingga tak mampu lagi melawan ciumanku. Hati kecilku mulai berontak. Aku tak tega melihatnya seperti ini. "Kita sudahi saja." "Kenapa hari ini kau --" tanya Irene sedikit menggantung. Aku paham apa yang dia maksud. Aku lantas melepas ikatan kami dan memeluknya dari belakang. "Itu pelajaran untukmu. Sekarang istirahat dulu. Sejam lagi..aku akan membuatmu lebih lelah dari ini." Irene terbelalak namun tak mengatakan apapun. Ia malah tersenyum geli sambil merangkulkan diri dengan tubuh kami yang masih bertelanjang bulat. . . bersambung
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD