7. Seperti Orang Asing

810 Words
Tidak jauh berbeda dengan Damar, Dania pun terkejut ketika mengenali salah seorang pria yang ada di ruangan itu selain Rama. Sama sekali tidak menyangka bahwa ia akan bertemu lagi dengan pria yang telah menorehkan luka di hatinya. Kabar terakhir yang ia dengar, pria itu berangkat ke luar negeri untuk menuntut ilmu. Tetapi ternyata sekarang mereka malah bertemu. Namun Dania bisa segera menguasai diri. Gegas menghampiri Rama yang memanggil. "Siang, Om Rama. Maaf, saya terlambat," sapanya dengan senyum ramah. "Sama sekali enggak telat. Kamu selalu tepat waktu. Kami yang kecepetan," kilah Rama. Dania terkekeh. "Om bisa saja." "Oh, iya, Dania ... kenalkan, ini Dokter Damar yang kemaren om ceritakan. Salah satu dokter anak di sini dan juga yang menjadi CEO di rumah sakit ini," ujar Rama memperkenalkan Damar pada Dania. "Damar, Ini Dania. Anak teman om yang tadi om ceritakan," imbuh Rama, kali ini memperkenalkan Damar pada Dania. Dengan sisa keterkejutan yang masih dirasa, Damar mengulurkan tangan untuk berjabat pada Dania. Tetapi wanita itu mengabaikan dan hanya mengangguk sopan sebagai tanggapan. Damar pun gegas menarik kembali tangannya dengan canggung dan malu. "Silakan duduk semuanya. Meeting sudah bisa kita mulai," ujar Rama, mencairkan suasana. Mereka pun duduk di kursi masing-masing. Satu demi satu staf yang ada di sana bicara dan menjelaskan sesuai tugas mereka. Sementara Damar, beberapa kali ia memanfaatkan kesempatan untuk mencuri tatap, memperlihatkan dengan seksana wanita yang mirip dengan mantan istrinya itu. 'Gak mungkin dia. Pasti cuma mirip aja. Lagian penampilan dia juga beda sama mantan istriku dulu. Tapi ... memangnya ada, ya, dua orang yang muka dan mananya sama?" Damar bicara dalam hati sambil memperhatikan Dania yang sedang fokus mendengarkan penjelasan dari salah satu staf yang sedang bicara. "Pak Damar!" bisik pria yang duduk di samping Damar. Tetapi tidak ditanggapi. "Pak Damar!" Kali ini ia memanggil sambil menyikut pelan. Damar yang sejak tadi sibuk dengan pikirannya sendiri pun langsung gelagapan. "I-iya. Kenapa, Dimas?" "Bapak ditanya oleh Pak Rama," bisik Dimas yang merupakan sekretaris Damar dalam pengelolaan rumah sakit. "Oh." Damar menoleh pada Rama. "Iya, Om? Ekhem! Maksud saya Pak." Rama terkekeh. "Sepertinya kamu butuh istirahat." Damar tersenyum meringis. "Sepertinya begitu, Pak," cengirnya sambil menggaruk kepala yang tidak gatal. "Ambilah cuti. Sejak di sini kamu belum pernah cuti, bahkan hari libur pun kadang kamu masih datang ke rumah sakit." Damar mengangguk. "Akan saya pertimbangkan, Pak," angguk Damar lalu menoleh sekilas pada Dania yang duduk di samping Rama tetapi wanita itu terlihat sedang sibuk dengan berkas yang ada di depannya. *** "Pak Damar baik-baik saja?" tanya Dimas saat semua orang yang ada di ruangan itu telah keluar karena rapat telah usai. Hanya tinggal mereka berdua. "Saya gak apa-apa," jawab Damar sambil melonggarkan dasi dan membuka kancing kemeja paling atas. Dimas hanya mengangguk tanpa kata. "Apa Dania ... maksud saya, Bu Dania sering datang ke sini?" Damar sengaja bertanya pada Dimas karena pria itu sebelumnya menjadi sekretaris Rama dan pasti lebih banyak tahu. Dimas menggeleng. "Saya malah baru bertemu sekarang, Pak. Sebelum-sebelumnya bukan Bu Dania yang datang." "Oh." "Apa ada masalah, Pak?" "Gak ada apa-apa." "Dari tadi saya perhatikan Bapak seperti sedang banyak pikiran. Saya rasa saran Pak Rama untuk cuti bisa Bapak perimbangankan selagi tugas masih belum banyak dan masih bisa saya handle," ujar Dimas. Damar menghela napas panjang sambil berpikir. Sepertinya tidak ada salahnya. Ia bisa istirahat di rumah tanpa harus memikirkan soal pekerjaan atau pun pasien. "Kamu atur aja waktunya." Dimas mengangguk. "Baik, Pak." Mereka pun keluar dari ruangan tersebut, berjalan bersama menuju ruangan kerja yang ada di bagian samping rumah sakit tersebut. Di depan sana, Dania sedang berjalan dari arah yang berlawanan. Dalam hati ia menggerutu karena di rumah sakit sebesar itu lagi-lagi ia harus bertemu dengan orang yang paling enggan ia temui. Namun sekali lagi ia memilih abai dan bersikap seolah mereka tidak saling mengenal sebelumnya. Bagai orang asing, Dania melangkah tanpa menoleh apalagi menyapa. Berbeda dengan Damar yang terus menatap matan istri, bahkan kepalanya ikut menoleh ketika Dania melewatinya begitu saja. 'Apa iya itu Dania yang sama? Tapi kenapa dia jadi anak konglomerat? Bukannya dulu dia hanya mahasiswa yang merangkap jadi pegawai minimarket? Tinggalnya aja di kontrakan. Apa mungkin setelah bercerai dia ketemu orang kaya lalu diangkat anak? Atau ....' Damar berpikir sejenak ketika kepingan ingatan tentang masa lalu mulai muncul dan teringat pada pria yang menjemput istrinya dahulu. "Oh aku tahu!" Tanpa sadar mengeluarkan suara, tidak seperti sebelumnya yang hanya bicara dalam hati. Tentu saja hal itu membuat Dimas menatap Damar dengan bingung. "Tahu apa, Pak?" Damar pun akhirnya menyadari bahwa di sana bukan hanya ada dirinya. "Tahu ...." Damar diam sejenak. "Tahu ... tahu goreng kayaknya enak nih, dimakan anget-anget sama cabe rawit. Saya ke kantin dulu, mau cari tahu goreng." Berlalu tanpa menunggu tanggapan dari sekretarisnya tersebut. Dimas hanya melongo seraya menatap punggung sang atasan yang berlalu menjauh. "Ternyata dokter bisa juga salah minum obat. Error gitu Pak Damar," gumamnya sambil menggeleng pelan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD