6. Kembali Bertemu

839 Words
Enam tahun kemudian. "Selamat pagi, Dokter Damar." "Pagi, Sus," balas Damar. "Apa pasien saya hari ini banyak?" Suster itu mengangguk. "Beberapa sudah ada yang daftar secara online. Sebagian sudah datang sejak pagi." "Tolong tutup pendaftaran online, Sus. Saya hari ini ada pertemuan dengan Pak Rama setelah makan siang." "Apa perlu saya tutup pendaftaran di sini juga, Dok?" "Gak perlu. Kasihan yang udah jauh-jauh datang ke sini kalau disuruh pulang lagi kecuali jika pasien bersedia dipindahkan ke Dokter Syam." "Baik, Dok," angguk suster wanita itu, mengerti. "Kita mulai saja supaya lebih cepat." "Baik, Dok." Suster itu keluar dari ruang praktek dan mulai memanggil nama pasien yang merupakan anak-anak yang datang bersama wali dengan berbagai keluhan yang diderita. Detik berlalu, menit berganti. Damar masih saja sibuk dengan pasien yang berganti keluar masuk ruangan seperti sekarang, seorang wanita dengan anak perempuan sedang duduk di hadapannya. "Bagaimana keadaan anak majikan saya, Dok?" tanya wanita itu. Sejenak Damar terkejut, ia mengira mereka adalah ibu dan anak tetapi ternyata tidak. Lalu ke mana orang tua anak yang sedang sakit itu? Ah, sudahlah. Itu bukan urusannya. Ia hanya kasihan pada anaknya. "Saya resepkan obat untuk putri Ibu. Tapi jika keluhan sudah tidak ada, Ibu bisa hentikan pemakaian obat ini," ujar Damar dengan ramah sambil menyodorkan secarik kertas pada orang tua pasiennya. "Baik, Dokter. Terima kasih," angguk ibu tersebut. "Kalau gitu saya permisi, Dok. Mari." Ia bangkit berdiri dari kursinya kemudian mengangguk sopan pada suster sebelum akhirnya keluar. "Kasian anak itu, sakit tapi yang nganter berobat bukan ibunya," komentar Damar, menatap iba. Suster hanya tersenyum karena itu bukan pasien pertama yang datang bukan dengan orang tua, melainkan dengan pengasuh. "Masih ada lagi, Sus?" "Tidak ada, Dok." "Alhamdulillah." Damar akhirnya bisa bernapas lega setelah pasien terakhirnya tadi pamit. "Sebagian saya arahkan ke Dokter Syam takutnya Dokter telat. Tadi saya lihat Pak Rama sudah datang," jawab suster itu. "Kalau gitu saya solat dulu sekalian makan siang sebelum mempertemuan." "Silakan, Dok." Damar keluar dari ruang praktek, melangkah menuju ruangan pribadi. Tetapi langkahnya melambat saat melihat seseorang yang ia kenal sedang berjalan dari arah yang berlawanan. Untuk beberapa saat ia hanya menatap orang itu dengan jantung berdebar. "Dania," gumamnya beberapa detik setelah mereka saling berpapasan dan orang yang ia duga sebagai mantan istri itu melewatinya begitu saja. Damar menghentikan gerakan kaki lalu berbalik, ingin memastikan bahwa penglihatannya masih berfungsi dengan baik. Tetapi setelah menyapukan pandangan, ia tidak melihat wanita tadi. "Kayaknya aku salah lihat deh." Damar bicara sendiri, berlalu kemudian. Tidak terlalu memikirkan apa yang baru saja terjadi. Memilih melanjutkan niat awalnya untuk istirahat dan makan siang. Mungkin memang Danar hanya salah lihat apalagi selama ini rasa bersalah pernah beberapa kali muncul dalam hatinya karena telah bersikap tidak baik pada mantan istrinya dulu saat mereka masih bersama. "Apa yang aku lakukan sudah tepat untuk kebaikan aku dan dia juga." Itu yang selalu Damar katakan pada dirinya sendiri saat rasa bersalah pada Dania muncul. *** "Siang, Om," sapa Damar saat bertemu dengan Rama di ruang pertemuan. Rama dan beberapa staf management rumah sakit sudah ada di sana. Pria paruh baya itu tersenyum. "Siang, Mar. Duduk!'' "Makasih, Om." Damar duduk di salah satu kursi kosong yang ada di sana, tidak jauh dari Rama. "Seperti yang udah om bilang, hari ini om mau kenalkan kamu sama pemilik sebagai saham rumah sakit ini." Rama memulai obrolan mereka. Damar hanya mengangguk, mendengarkan dengan patuh. Ia memang sudah tahu apa tujuannya berada di sana dari sekretaris. "Jadi dulu, rumah sakit ini dibangun oleh om dan teman om. lima puluh lima persen milik om dan empat puluh lima persen milik teman om itu. Biasanya setiap tahun teman om yang datang ke pertemuan ini karena ingin membahas soal pembagian hasil yang biasanya dilakukan setahun sekali, tapi tahun ini teman om mengutus anaknya sebagai wakil karena Beliau gak bisa hadir." "Aku pikir saham rumah sakit ini punya Om semuanya," sahut Damar, "Sebenarnya om mau ambil alih semuanya tapi temen om gak kasih, katanya ada salah satu anaknya yang gak setuju." "Oh ... begitu rupanya." Damar mengangguk tanda mengerti. "Sekarang anak teman om mana?" Rama melihat jam yang melingkar di pergelangan tangan. "Mungkin sebentar lagi. Pertemuan ini juga dijadwalkan jam dua. Ini masih kurang sepuluh menit." Setelah itu Damar dan Rama pun berbincang tentang hal lain di luar pekerjaan sambil menunggu waktu rapat tiba. Beberapa menit kemudian pintu ruang rapat itu terbuka. "Selama siang. Maaf saya terlambat." suara seorang wanita terdengar dari arah pintu hingga membuat semua orang yang ada di sana menoleh ke arah sumber suara, termasuk Damar. Pria itu diam sambil menatap sosok wanita yang baru saja tiba, tanpa sadar ia berdiri perlahan tanpa mengalihkan pandangan. Namun kemudian Damar menggelengkan kepala sambil menutup mata untuk mengenyahkan bayangan sosok itu dari kepalanya karena ia mengira semua itu hanyalah ilusi. 'Gak mungkin! Ini gak mungkin! Aku pasti salah lihat,' batin Damar sambil membuka mata, tetapi apa yang dilihatnya sekarang masih sama seperti beberapa detik yang lalu yang menandakan bahwa ia tidak salah melihat. "Dania, ke mari, Nak!" Ucapan Rama serta-merta membuyarkan pikiran Damar sekaligus menyangkal dugaannya yang mengira ia sedang terhalusinasi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD