9. Tukang Selingkuh

837 Words
"Dre, berhenti dulu di depan dong. Aku mau beli sayuran, di rumah udah pada habis," ujar Dania ketika melihat sebuah supermarket di depan sana. "Oke." Andre membelokkan kendaraan roda empatnya memasuki parkiran luas di depan bangunan yang menjual aneka kebutuhan tersebut. "Kamu mau ke mana?" tanya Dania saat melihat Andre membuka sabuk keselamatan. "Mau nemenin kamu lah." "Gak usah. Aku bisa belanja sendiri," tolak Dania. "Terus kamu mau aku nunggu di mobil berjam-jam gitu? Ogah. Aku temenin kamu belanja biar cepat selesai!" tegas Andre. Tanpa menunggu tanggapan ia turun dari mobil. Dania cemberut tetapi tidak tidak ada pilihan selain setuju. Bukan apa-apa, jika Andre ikut, ia tidak bebas berbelanja karena pria itu selalu cerewet meminta untuk segera pulang. "Nia ... buruan. Lama deh! Slow motion banget kamu jalannya," omel Andre sambil menarik tangan Dania dan menuntunnya menuju pintu masuk supermarket. Di tempat parkir yang sama, seorang pria baru saja memarkirkan mobilnya. "Itu bukannya ...." Damar gegas turun dan mengikuti Dania dan Andre. "Tuh, kan ... bener. Itu cowok yang waktu itu. Aku masih inget muka selingkuhan dia. Kayaknya bener deh dugaanku. Cowok itu yang kaya raya dan Dania nikah sama dia. Dasar cewek matre!" gerutu Damar sambil memperhatikan mantan istri yang sedang memilih sayuran. Sementara pria yang bersamaan mantan istri berjalan mengikuti sambil mendorong troli belanja. Sesekali Dania terlihat bertanya dan diangguki oleh pria itu. Pemandangan yang jauh berbeda dengan saat Dania masih menjadi istrinya. Ia sering dipaksa sang ibu untuk mengantar istri belanja keperluan rumah. Yang ia lakukan dulu hanya membayar barang belanjaan. Selebihnya semua Dania yang melakukan, mulai dari memilih barang, mendorong troli sampai menenteng belanjaan ke mobil. "Maaf, Pak. Bisa tolong geser sedikit. Saya mau ambil barang." Suara seorang pengunjung membuyarkan lamunan Damar. "Silakan, Bu. Maaf," sahut Damar sambil berlalu dari sana dan pergi ke tempat troli berjejer rapi. Ia mengambil salah satu dan mendorong ketempat etalase sayuran, tidak jauh dari tempat Dania dan Andre berada. Namun di detik berikutnya Damar bingung, apa yang harus dibeli karena ia sama sekali tidak bisa memasak jadi tidak tahu menahu soal bahan masakan. Tanpa pikir panjang ia pun mengambil apa saja yang ada di etalase secara acak sambil sesekali melirik ke arah Dania dan Andre. "Udah, yuk. Ini udah banyak lho, Nia," ujar Andre. "Sebentar lagi." "Dari tadi sebentar lagi aja terus. Belum lagi dari sini pasti ke tempat daging dan ikan. Abis itu ke tempat bumbu," omel Andre. "Kan aku udah bilang, kamu gak usah ikut. Tunggu aja di mobil," sahut Dania tanpa menoleh. "Udah aku bilang juga, aku harus temenin kamu. Lagian kalau aku gak ikut, siapa yang mau bayarin semua belanjaan kamu." "Iya juga, ya," balas Dania sambil terkekeh. Ia memang tertinggal dompet di rumah karena berangkat terbaru-buru. "Dulu juga aku yang bayar kalau belanja," gumam Damar sembari mengambil sesuatu dan memasukkannya ke troli. Dania mengedarkan pandangan mencari sesuatu. "Itu dia," gumamnya sambil beranjak. Tetapi ia terkejut saat melihat Damar berdiri di dekat barang yang akan ia ambil. Dania mengernyit saat melihat pria itu memegangi troli yang penuh dengan sayuran. 'Sejak kapan dia suka belanja kebutuhan dapur? Apa selama di luar negri dia terbiasa masak?' batinnya. Namun, Dania langsung membuang pandangan saat menyadari Damar menoleh ke arahnya. "Permisi," ujarnya seraya mengambil sesuatu setelah ia kembali. "Ayo ke tempat ikan!" ajaknya pada Andre. "Yakin nih beli sayurannya udah?" "Belum sih, tapi udah keburu males. Ayo ke sana aja!" sahut Dania, melangkah lebih dahulu diikuti oleh Andre yang mendorong troli. "Maksud dia apa ngomong kayak gitu? Nyindir aku? Mana dia sok-sokan gak kenal aku segala—lagi. Dia pikir aku ini ngikutin dia? Geer banget itu orang, padahal aku ke sini mau jemput mama." Bola mata Damar seketika membulat. "Astagfirullah ... mama!" Baru teringat pada ibunya. "Ini semua gara-gara cewek tukang selingkuh itu." Ia pun gegas pergi dari sana dan meninggalkan troli berisi setumpuk sayuran. "Mama nunggu di mana ya? Abis aku diomelin pasti ini," gumamnya sambil merogoh saku celana dan mengambil ponsel. "Tuh, kan, bener. Ada puluhan panggilan dari mama. Mana aku lupa tadi waktu mau meeting HP aku silent. Udah ini mah alamat diomelin dari sini sampai rumah." Setelah membaca pasan, Damar berlari menuju ke depan supermarket, tempat di mana ibunya menunggu "Bagus, ya! Kamu mau mama berjamur fi sini? Kaki mama sampai pegal nungguin kamu. Tadi kamu bilang udah dekat tapi mama tunggu-tunggu gak nongol-nongol. Taun gitu mama pulang aja sendiri,'' omel Fani saat melihat anaknya muncul dengan napas terengah. "Maaf, Ma!" Damar mengarltur napas yang masih tersengal-sengal. "Aku tadi ke dalan, nyari Mama," kilahnya, berbohong. "Kenapa telepon mama gak kamu angkat?" "Maaf, Ma. Waktu mau meeting aku silent dan lupa aktifin bunyi lagi." "Alasan!" "Maaf, Ma," cengir Damar. "Mama udah selesai belanja, kan? Ayo pulang!" ajak Damar sambil menoleh sekilas ke arah pintu masuk, untuk memastikan Dania belum keluar. Ia tidak ingin sang ibu melihat mantan istrinya tersebut. "Ayi, Ma,'' ajak Damar lagi sambil menenteng kantung belanjaan sang ibu semua beranjak. Fani mengikuti langkah sang anak tetapi langsung menghentikan langkah kaki saat melihat seseorang yang ia kenal. "Dania!" gumamnya setengah tidak percaya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD