10. Emosi

1026 Words
Fani melangkah cepat mengejar Dania yang sudah beberapa langkah di depan. "Dania!" panggilnya saat sudah dekat. Sang pemilik nama berbalik ke arah sumber suara. "Ma-Mana?" Tentu ia terkejut. Lebih terkejut lagi saat mantan mertuanya tersebut tiba-tiba memeluk erat. Dania masih diam. Ia bingung harus merespon seperti apa. Bertahun tak bertemu membuatnya merasa canggung. Ia tidak pernah menyangka akan bertemu dengan orang-orang di masa lalunya di hari yang sama meski di waktu yang berbeda. Karena tidak ingin mengganggu kedua wanita itu, Andre memberi isyarat pada Dania bahwa ia akan menunggu di mobil. Tak lama kemudian Fani mengurai pelukan, menatap mantan menantunya lekat-lekat. "Kamu apa kabar, Sayang?" "Ak-aku ... alhamdulillah baik, Ma. Mama gimana kabarnya?" Dania bertanya balik. "Alhamdulillah, mama juga baik, Sayang. Mama pernah datang ke kontrakan kamu, tapi katanya kamu pulang pindah dan gak tau ke mana ku pindah," ujar Fani panjang lebar. "Iya, Ma. Aku pindah," sahut Dania singkat. "Tapi mama senang bisa ketemu kamu lagi." Dania hanya tersenyum menanggapi. Sementara itu, Damar menutup pintu mobil bagian belakang setelah meletakkan kantung belanja. "Mam—" Saat berbalik, ia baru menyadari bahwa ibunya tidak ada. "Mama!" panggilnya, cemas. Berlari kecil sambil mengedarkan pandangan hingga menemukan di mana ibunya berada. "Mama!" Fani dan Dania menoleh hampir bersamaan. "Mama ngapain sih? Aku nyariin Mama dari tadi," omel Damar, "Ayo, pulang! Papa udah tanyain Mama. Katanya Mama perginya kelamaan." Tentu saja ia berbohong. "Tunggu sebentar. Kamu gak lihat mama lagi ngobrol sama siapa?" sahut Fani. Damar melirik sekilas pada mantan istrinya. "Aku tunggu Mama di mobil. Tapi jangan lama-lama. Mama pastikan juga kalau Mama gak salah orang, siapa tahu mereka orang yang berbeda," sindirnya sambil menatap sekilas dengan sinis pada Dania kemudian berlalu. Fani mengernyit bingung. "Ngomong apa sih itu anak? Gak jelas banget." Dania hanya tersenyum samar mendengar sindiran mantan suaminya tadi. Bukannya dahulu pria itu yang meminta ia bersikap seperti sekarang? 'Mulai sekarang lupakan semuanya. Anggap kita gak pernah saling mengenal. Kalau pun gak sengaja ketemu di jalan atau di mana saja, bersikaplah seperti orang asing.' Itu adalah kalimat terakhir yang Damar ucapkan, dahulu, saat pria itu mengantarkan sendiri surat cerai mereka. "Em ... Ma. Maaf banget. Tapi aku harus pulang sekarang. Masih ada yang harus aku kerjakan," pamit Dania meski sebenarnya ia hanya ingin beristirahat. "Oh, iya. Silakan. Maaf mama ganggu waktu kamu. Mama juga harus pulang sebelum papa kamu dan anaknya protes," sahut Pamit "Aku duluan. Assalamualaikum." Sekali lagi Dania pamit. "Waalaikumsalam." Fani pun berlalu. Di dalam mobil ia disambut oleh wajah mssam putranya. "Kamu kok gak kelihatan terkejut waktu lihat Dania?" tanyanya setelah duduk si kursi depan. "Kenapa harus terkejut? Kalau aku lihat Malin Kundang baru aku bakal kaget. Dia kan udah jadi batu, aneh kalau jadi manusia lagi. Di sini pula, bukan di Padang. Kan aneh banget kalau tiba-tiba Malin Kundang dalam versi manusia ada di sini," sahut Damar sambil melajukan kendaraan keluar dari tempat itu. Fani memukul lengan anaknya dengan kesal setelah mendengar jawaban asal dan menyebalkan. Sampai hari ini masih tidak habis pikir dengan tingkah anaknya yang seperti tidak suka pada Dania. *** "Kamu gak mampir dulu?" tanya Fani setelah tiba di rumah dan ia meminta penjaga rumah untuk menurunkan barang belanjaan di mobil. "Enggak, Ma. Aku masih ada urusan," jawab Damar. "Urusan apa?" tanya Fani. "Apa sih, Ma? Kepo banget deh." "Bukan kepo, cuma nanya. Kalau gak mau ngasih tau ya udah," ketus Fani meski sebenarnya ia sedikit ingin tahu apa yang akan dilakukan anaknya. "Aku mau langsung pulang. Ada kerjaan juga. Besok aku mau ambil cuti," sahut Damar. "Nah gitu dong, libur. Jangan kerja mulu. Otak kamu udah korslet tuh. Ya udah, mama masuk dulu," pamit Fani kemudian turun dari kendaraan roda empat milik anaknya. Damar mengemudikan kembali kendaraan meninggalkan kediaman orang tua. Ingin segera tiba di rumah karena ada hal yang ingin ia buktikan. Ada sesuatu rentang mantan istri dan jawabannya ada di rumah. Setelah sampai, Damar masuk ke ruang kerja dan mencari sesuatu hingga ia temukan dan memindainya dengan seksama. "Benar dugaan aku, nama binti dia beda dengan nama teman Om Rama yang katanya ayah Dania. Mungkin bener, Dania itu menantu Pak Herlan dan sekarang dikasih jabatan," gumamnya, menduga-duga. Saat dalam perjalanan mengantar ibunya pulang, ia bertanya pada Rama melalui pesan tentang pemilik saham rumah sakit selain Rama. Dan ternyata namanya Herlan. Sementara nama binti Dania yang dulu pernah ia ucap saat ijab qobul adalah Hamid. "Siapa dia sebenarnya? Dan apa maksud dia muncul lagi? Apa dia sengaja nikah sama anak yang punya saham rumah sakit dengan tujuan mau balas dendam sama aku karena dulu aku ...." Damar tidak melanjutkan ucapannya, tiba-tiba ada rasa bersalah saat teringat kejadian dulu. "Tapi, memang apa salahnya? Dia kan istriku. Bukan kejahatan kalau aku menggauli dia," ujarnya lagi, mencari pembenaran untuk menghalau rasa bersalah yang hinggap di hati. "Ah, sudahlah. Apa pun yang berhubungan sama dia, itu bukan urusanku lagi," kata sang pria lagi, membuka kancing kemeja yang ia kenakan sambil melangkah menuju kamar mandi, berniat untuk membersikan diri agar otaknya menjadi lebih segar. Tetapi kemudian ia kembali dengan kancing kemeja sudah terbuka semua hingga memperlihatkan perut dan dadanya yang berotot. "Aku heran sama itu perempuan satu, dari dulu sampai sekarang udah jadi mantan istri tapi suka sekali membuat aku pusing," gerutu Damar sambil meraih ponsel yang ada di atas meja dan melakukan panggilan dengan seseorang. "Halo! Cari tahu semua hal tentang Dania Adinda," perintahnya pada orang yang ada di seberang sana. 'Sorry ... maksud kamu ... Dania Adinda, mantan istri kamu?' Suara seorang pria di sebrang sana, bertanya untuk memastikan bahwa pendengarannya masih berfungsi dengan baik. "Memangnya kenapa? Apa ada yang salah kalau aku nyari tahu soal mantan istriku?" sewot Damar. 'Ya nggak ada yang salah sih kalau mantan suami kepo sama mantan istrinya,' sahut suara dibalik telepon itu lagi. Tetapi Damar justru mendengarnya seperti sebuah ejekan. "Sudahlah. Gak usah." 'Gak usah apanya?' "Gak usah nyari tahu soal wanita itu!" 'Lah baper dia!' ejek suara di balik telepon itu lagi sambil tertawa. "Terserah kamu lah mau ngomong apa!" sungut Damar sambil mengakhiri panggilan telepon secara sepihak. "ARGH ...!" Ia mengerang penuh emosi. Baginya Hari ini benar-benar hari yang burruk karena semua orang bersikap menyebalkan. Kemunculan Dania sungguh telah merussak harinya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD