Chapter 4

913 Words
Setelah selesai ujian, Biyan menyempatkan diri ke supermarket dan membeli sayuran untuk makan malam Garrend. Sebenarnya ia lelah sekali karena baru selesai kuliah, namun ia menghkhawatirkan Garrend. Kalau saja ia bisa memberitahu Attar, sahabatnya itu bisa saja mengantarnya ke supermarket. Garrend melarangnya memberitahu Attar tentang maag nya yang kambuh karena Attar bisa saja memberitahukan kedua orang tuanya sehingga dapat membuat kedua orang tua Garrend langsung terbang dari Belanda ke Jakarta. Garrend tidak mau hal itu terjadi. Biyan membuka pintu apartemen yang tidak banyak berubah sejak terakhir ia tinggalkan. Ia meletakkan belanjaannya di meja makan dan berjalan ke kamar Garrend. Ia membuka pintu kamar laki-laki itu perlahan. Garrend masih tidur. Biyan menutup kembali pintu kamar Garrend lalu berjalan ke dapur untuk membuatkan bubur dengan sayuran yang ia beli tadi. -- Garrend terbangun karena merasa lapar. Ia merasakan kepalanya sakit sekali seperti ditiban kamus tebal. Ia mengerjapkan matanya dan mengecek jam dinding yang sudah menunjukan pukul 7 malam. Lama juga ia tidur. Dengan susah payah ia berusaha untuk beranjak dari kasurnya dan keluar dari kamarnya. Ia bertanya-tanya sendiri apakah Biyan sudah datang? "Sudah baikkan?" tanya Biyan yang sedang memasak di dapur melihat Garrend berjalan kearahnya. Garrend mengangguk. "Perutnya masih sakit?" Garrend menggeleng. "Tapi pusing." "Bapak duduk aja dulu. Saya sudah buatkan Bapak makanan." Bukannya ke meja makan, Garrend malah berjalan ke barstool yang menghadap ke arah dapur dan duduk disana. "Kamu masak apa?" Garrend bertanya menopang dagu dengan tangannya. "Bubur." "Again? Padahal saya mengharapkan makanan seperti gurame asam manis." Biyan mencibir. Beberapa jam yang lalu laki-laki itu tumbang mengeluh perutnya sakit dan sekarang meminta gurame asam manis? Yang benar saja. Biyan menuangkan bubur yang sudah selesai ia buat dari panci ke mangkuk. "Bapak makan disitu atau di meja makan?" "Di meja saja." Garrend turun dari barstool dan berjalan ke meja makan diikuti Biyan dibelakangnya. Biyan meletakkan semangkuk bubur dihadapan Garrend. "Ini sayurannya banyak banget, Abiyan." Garrend merengek. "Biar cepet sembuh, Pak." Garrend tetap mengambil sendok dan memakan bubur itu. Ia tidak suka sayur, tapi ia suka masakan Biyan. Biyan kembali ke dapur untuk mencuci peralatan kotor yang ia pakai untuk membuat bubur. "Habis ini langsung pulang?" Garrend menghampirinya dan meletakkan mangkuk kotor yang langsung dicuci oleh Biyan. "Iya pak." "Saya ganti baju dulu. Saya antar kamu." Biyan menoleh ke arah Garrend yang berdiri di sebelahnya. "Kepala Bapak kan masih sakit. Saya pulang sendiri saja." "Kamu bisa lihat saya baik-baik saja." Biyan meletakkan piring yang sudah bersih dan mengelap tangannya. "Lagipula belum terlalu malam, saya bisa pulang sendiri." Biyan benar-benar tidak tahan jika harus satu mobil berdua dengan laki-laki itu. Terlalu canggung. "Saya mau kamu tetap disini sampai saya selesai mengganti baju. Saya akan antar kamu pulang." -- Radio di dalam mobil Garrend menyala otomatis ketika Garrend menyalakan mobil. Suara seorang pria membicarakan perekonomian Indonesia memenuhi mobil.  "Bapak dengerin saluran radio ini?" Ujar Biyan yang sudah tidak tahan dengan apa yang Ia dengar. Garrend mengangguk ringan. "Memangnya kenapa?" "Yang benar saja malam-malam, jalanan macet, dan membicarakan masalah keuangan Indonesia?" Garrend tertawa. "Biar tau apa  yang tadi dengan negara kita." Bisa tertawa juga laki-laki di sebelahnya. "Bapak suka dengar lagu nggak?" "Kadang-kadang. Saya lebih suka lagu-lagu jaman dulu sih." "Umur nggak bisa bohong ya."  Garrend tertawa lagi. “Maksud kamu saya tua?" Biyan tidak menjawab.  "Kalau kamu mau ganti, ganti aja." "Boleh?" "Saya nggak akan marah hanya karena kamu ganti channel radionya, Abiyan." Garrend tersenyum geli. Biyan langsung mencari saluran radio kesukaannya. "Ini dia!" Biyan bersandar dan menatap ke luar jendela sambil bergumam pelan mengikuti nyanyian di radio. "Umur kamu berapa, Biyan?" tanya Garrend tiba-tiba. "21 pak." "Saya hanya 4 tahun diatas kamu, Biyan." "Yang benar?" Garrend melihat Biyan menatapnya tidak percaya. "Emangnya kamu pikir umur saya berapa?" ujar Garrend kesal. "Awal 30-an?" "Kenapa begitu? Wajah saya terlalu tua?" Biyan menoleh dan mendapati Garrend yang sedang menghadap ke arahnya. Saat ini jalanan macet total sehingga mobil yang mereka kendarai benar-benar berhenti. Biyan mengalihkan pandangannya keluar jendela lagi dan menggeleng. Wajahnya pasti memerah. Ini pertama kalinya ia melihat wajah Garrend sedekat ini. Garrend memang tampan, tetapi Biyan baru mendapat kesempatan memandangi Garrend sedekat ini sehingga ia baru menyadari bahwa bos nya itu benar-benar tampan. "Bapak kenapa nggak suka makan?" tanya Biyan tiba-tiba. "Saya suka makan. Saya hanya terlalu sibuk sampai kadang saya lupa makan." "Makan saja sampai lupa?" ujar Biyan tidak percaya. Garrend mengangkat bahunya. "Kadang saya bekerja tiba-tiba sudah jam 1 lalu ada meeting atau ada kerjaan yang tidak bisa saya tinggal. Seperti itulah." "Udah tau punya maag kronis pakai lupa makan segala." Biyan kesal dengan alasan tidak masuk akal yang diberikan oleh Garrend. "Kalau bapak nggak makan, nanti Bapak kenapa-kenapa,terus karyawan Bapak gimana? Bapak kan punya karyawan banyak dan mereka punya keluarga yang harus mereka kasih makan." Garrend tertawa. "Kamu khawatir sama saya, Abiyan? Saya nggak tahu kalau kamu secerewet itu." Biyan memilih diam dan tidak menggubris perkataan Garrend. Ia kesal karena laki-laki itu masih bisa tertawa seakan lupa kalau tadi ia baru saja kesakitan gara-gara lupa makan. "Sampai." Biyan melepas seat beltnya. "Saya mau jenguk ibu kamu dulu." Garrend ikutan melepas seat belt. "Ibu udah sembuh kok. Kapan-kapan aja mainnya. Makasih tumpangannya, Pak. Bapak pake lagi tuh seat beltnya." "Makasih juga tadi sudah merawat saya, Abiyan." Garrend kembali memakai seat belt. Biyan mengangguk. Baik Garrend maupun Biyan terdiam sebentar. Sangat canggung. Garrend berdehem sebelum bertanya, "besok kamu datang? “Besok saya kan libur, Pak.” “Datang saja ya? Buatin saya sarapan." "Bisa, Pak." "Okay good." "Hati-hati di jalan, Pak." Biyan menutup pintu mobil Garrend  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD