Pemandangan langit-langit kamar tak mampu mengalihkan mata Hazel. Cowok itu sibuk dengan pemikirannya yang penuh memenuhi kepala. Ia sama sekali tak bisa mencerna perihal kejadian di mana dirinya harus mengejar Julian—yang tengah mengejar copet—dengan sebegitu menggebunya. Ia sendiri tak mengerti seperti apa kepribadian cowok introvert itu sebenarnya.
Semalam di tengah parkiran sepi, seorang wanita dicopet. Pencopet itu lari dan tak tanggung-tanggung membuatnya terengah-engah. Betapa malunya Hazel ketika Julian seperti tak patah semangat saat pencopet itu lari lewat jalan-jalan tikus di sekitaran mall sampai pelarian sengit itu jarus berakhir saat keduanya jatuh bersamaan. Julian saat itu tak berteriak, melihat cowok itu jatuh, Hazel segera melompati motor yang menghalanginya dan menduduki perut pencopet itu. Ketika pencopet itu sibuk dengan rasa sakitnya, Julian merebut tas curiannya.
Hazel ingat dengan jelas, saat itu Julian yang tiba beberapa menit kemudian menerjang tas itu dan memeluknya. Hazel terheran-heran, hingga akhirnya ia memutuskan untuk memukuli pencopet itu sampai petugas keamanan datang melerai. Setelah itu Julian hampir ambruk karena tiba-tiba diserang asma. Untungnya hanya serangan ringan, dan membaik saat Hazel membawanya duduk beberapa menit setelahnya.
Satu embus napas Hazel terurai kasar. Ia bergerak memeluk gulingnya. Pikirannya terlalu berkecamuk tentang spekulasi-spekulasi yang membuat kepalanya sakit; mengenai Julian dengan semua sifatnya yang sulit ditebak. Ia tertawa. Julian memang cowok yang lucu.
Sebuah deringan di ponsel membuat pikiran Hazer buyar. Nama Aneshka tertera di sana.
"Halo?" jawab Hazel dengan ponsel di telinganya.
"Kamu di mana?" jawab telepon di seberang.
"Di rumah, sayang." Hazel meringis sendiri mendengar panggilan sayang yang hampir ia lupakan itu. "Kenapa?"
"Aku ada di depan rumah kamu."
Hazel langsung terkesiap dan duduk di kasur.
"Kok nggak ngomong dulu?" Ia berbicara sambil bergegas ke pintu depan. "Tunggu, aku bukain pintu bentar."
"Ya."
"Ya udah, matiin!" katanya.
"Iya, iya."
Begitu sampai di ruang tamu, Hazel langsung membuka pintu depan. Ia lebih terkejut lagi saat Aneshka langsung tepat di depan mukanya. Cewek cantik dengan rambut ikal sebahu itu tersenyum, walau Hazel yakin agak terpaksa. Aneshka langsung menggenggam tangannya.
"Kangen," ujar Aneshka dengan manja. "Kamu ke mana aja sih?"
Tangan Hazel mengusap rambut pacarnya sekilas. "Masuk dulu, yuk."
Aneshka melepas pegangan tangannya dan mengekori Hazel dari belakang. Ia berhenti ketika Hazel menuju ke dapur, bukan kamarnya.
"Aku ke kamar, ya?" tanyanya yang sebenarnya tanpa harus meminta persetujuan, ia sudah sering ke dalam ketika tiba di sana.
"Mau minum apa?" teriak Hazel.
"Aku bawa minum, tadi mampir," jawabnya, Hazel menepuk jidat teringat bawaan pacarnya. Tanpa repot-repot membuat minum, ia langsung menuju kamar. Hazel langsung duduk di kasur, ia memerhatikan Aneshka yang tengah membereskan kamarnya yang berantakan. Aneshka selalu melakukan itu jika datang, jika dilarang Aneshka biasanya akan ngomel-ngomel.
Aneshka menaruh kembali sapu yang dipakainya ke belakang pintu. Lalu duduk di lantai dan bersandar di kaki Hazel. Beberapa menit mereka dalam keheningan. Hazel juga tak benar-benar ingin mengusik.
"Nih, aku bawa kopi." Aneshka membuka bungkus paperbag-nya dan mengeluarkan dua minuman. Satu cappucino untuk Hazel dan satu green tea untuk dirinya sendiri. Hazel menerima minuman itu sambil memerhatikan Aneshka yang tengah meneguk miliknya.
"Kamu tau aja kesukaan aku." Hazel mengacak-acak rambut Aneshka gemas. Ia turun dan ikut duduk di lantai. Matanya segera melirik bungkusan paperbag lain yang ada di depannya. "Itu apa?"
Tanpa menjawab, Aneshka mengeluarkan isi dari paperbag itu dan menyerahkannya pada Hazel. Cowok itu membuka bungkus kado yang membungkus dan melebarkan isinya. Sebuah sweater warna hitam lengkap dengan kapucon.
"Ini buat aku?"
Aneshka mengangguk semangat. "Bagus, ‘kan?"
"Kenapa kamu kasih aku ini?" tanya Hazel. "Tau nggak, katanya kalau kita ngasih baju ke pacar, nanti bisa cepet putus."
Aneshka mengernyit. "Kata siapa?"
"Mitos."
"Itu sih kamu yang mau putus kali!"
"Emang," jawabnya dalam hati. Hazel langsung tersenyum kikuk sambil memeluk leher Aneshka. Membenamkan kepala di sana. "Nggaklah, sayang."
"Lagian percaya banget sama mitos." Aneshka menarik tangan Hazel dan membawanya ke bawah. Mengenggamnya. "Aku lebih percaya kalau ini jadi bukti karena aku bisa dapetin kamu, yah, setelah ditolak terus. Ngerti?"
Hazel menghela napas. Inilah hal yang tidak pernah mau Hazel jalani dengan Aneshka. Ia lebih suka menganggap cewek ini sebagai adiknya daripada pacarnya sendiri. Aneshka terlalu berharga untuk ia sakiti. Meski ia tahu betapa sakit yang sudah Aneshka rasakan demi mendapatkan posisi di hatinya.
"Oh ya. Mandi dulu sana, anak-anak mau dateng, nih."
Hazel langsung menatapnya. "Anak-anak? Adam?"
"Iya, Adam sama yang lain. Riko sama Hari juga, katanya mau bawa pacar."
"Kebiasaan deh nggak bilang-bilang dulu."
"Abis kalau nggak gitu kamu tuh susah diajak keluar."
"Emang Adam udah punya pacar?" Hazel murung. Satu alasan lain kenapa ia tak pernah mau menjalani hubungan dengan Aneshka adalah gara-gara Adam.
"Nggak tau deh."
"Kan nggak enak kalau ngajak-ngajak jomblo," katanya berusaha jenaka. Tapi gagal, karena di mata Aneshka itu seperti gerutuan.
"Kenapa sih? Kita cuma ngerayain ultah kamu doang."
Hazel hanya bisa menghela napas.
***
Bayangkan betapa awkward-nya keadaan di mana setiap kali ada Hazel-Aneshka-Adam. Kedua manusia itu—selain Hazel—tampaknya tenang-tenang saja memang menghadapi keadaan kemarin. Pesta ulang tahun kecil-kecilan untuk merayakan hari jadi Hazel yang kedelapan belas. Tapi sikap tenang yang dibuat Adam tak bisa tak mengusiknya. Sikap itu membuat Hazel lebih khawatir.
"Hazz, bengong aja!" Orang yang baru saja dikhawatirkan, menyenggol bahunya. Ia terlihat sibuk lagi dengan catatan di bukunya. Padahal sedang jam istirahat.
"Ini—gue main dikalahin terus sama cewek!" kata Hazel sambil pura-pura fokus ke layar ponsel yang sedang menampilkan sebuah game.
"Biasa main susun batu juga, tumben bener main itu."
Adam terkekeh lagi tanpa mengalihkan pandangannya dari buku. Hazel ikut terkekeh. Ia mulai heran dengan buku catatan yang ditulis Adam.
"Sialan, itu sih mainan lo!" elaknya, menggeser tubuh dan memasukkan ponselnya ke kantung celana. Sweater di gantungan tasnya terjatuh. Adam buru-buru mengambilnya.
"Wow, sweater baru dari Neshka udah dipake aja."
"Kok lo tau?"
Tanpa menoleh, Adam menjawab, "Itu belinya minta temenin gue, Zel."
Hazel sedikit tertohok.
"Btw, lo ngerjain apaan sih?" Akhirnya ia basa-basi menghindari percakapan yang sifatnya sensitif bagi keduanya.
"PR Matematika. Lo udah ngerjain belum?!" Adam menoleh, menghentikan kegiatan menulisnya dan menunggu reaksi temannya itu.
"Mampus! Kok lo diem-diem aja, nggak ngasih tau sih?!"
"Bukannya gue tadi udah bilang dan lo jawabnya 'entar-entar' mulu?"
Hazel tak ingat sama sekali. Bergegas mengambil buku catatan Matematikanya. Menghadapi guru Matematika yang tak galak namun tak segan memberi hukuman itu, membuatnya bergidik. Terakhir kali ia ingat, gurunya itu memberinya modul siswa kelas tiga tahun lalu dan harus menyelesaikannya dalam waktu seminggu ketika ia bilang mengerti saat kepergok tidur di pelajarannya.
"Semoga Cecil gembrot itu nggak masuk!!!" rapalnya berulang-ulang. Sambil mengingat-ingat bahwa tadi ia sempat bertemu dengan guru Matematikanya itu—yang gemuk dan pendek— dengan rok berkibar dan turun dari mobilnya.
***
"Haz—eh, mau ke mana lo? Ikut nggak main biliard?" kata Riko sesaat setelah bel pulang, tapi Hazel langsung buru-buru pergi.
"Nggak bisa gue hari ini." Hazel terpaksa duduk lagi. Hari yang duduknya jauh dari mereka langsung duduk di depan Hazel—bersama Riko. Tubuh Hari yang kurus sangat kontras dengan Riko yang gemuk.
"Elah. Anak pejabat aja nggak gitu-gitu amat sibuknya." Cibiran Riko membuat Hazel meringis. Kalau biasanya ia tak bisa kalah argumen dengan Riko, kali ini jangan sampai terulang.
"Emang lo kenal anak pejabat, Rik?" tanya Hari dengan polosnya.
"Iya, pejabat sampah!" seloroh Riko.
"Sampah itu bukannya yang lo pake untuk nutupin burung ya, Rik?"
"Itu sempak, Hari."
"Sempak itu bukannya—sempak bola???"
"Sepak!"
"Pak, beli pembalut sepak, ya. Jangan lupa disambelin." Hari menepuk tangan Riko, berlagak sedang di warung—ia sebagai pembeli.
"Kambing kali disambelin."
Oke, Riko ikut terbawa arus.
"Sembelih, Rik," jawab Hari santai. "Sembelih ‘kan kalau susah pup, yak?!" Hari tertawa sendiri.
Sedangkan Riko lagi, "Sembelit—HARI ONCOM!!!"
Hari tertawa dengan sangat keras sampai-sampai mulutnya dibekap oleh tangan Riko yang gemuk dan bantet. Pertengkaran duo teman 'akur' itu tak lagi digubris Hazel. Ia tak heran melihat Hari yang terlalu polos—atau bodoh—untuk menempati peringkat teratas di kelasnya. Ia tahu Hari hanya mencairkan suasana, karena itu memang keahliannya. Jangan tanya bagaimana ia bisa begitu serius jika sudah berhadapan dengan buku. Ia dan Riko sebenarnya adalah satu paket yang sulit untuk dipisahkan. Bagi Hazel, Hari adalah penyelamat untuk siswa malas sepertinya dan Riko—Adam juga.
Hazel melirik Adam yang sejak tadi tak menyahuti apa-apa melihat pertengkaran mereka berdua. Riko tiba-tiba menyenggol bahunya. "Kalau lo nggak ikut trus Aneshka gimana?"
"Nah, loh, bahaya entar Neshka dikarungin Riko."
Baru semenit Riko selesai bergulat dengan Hari. Ia langsung menarik leher Hari lagi dan menguyel-uyel rambut si jenius 'polos' itu.
"Dam, lo anterin Neshka dulu, ya," pinta Hazel meski ia tahu Adam pasti akan marah.
"Gue kasih alesan apa?"
Hazel tak menyangka bahwa Adam setuju dengan permintaannya, ia segera memutar otak. "Bilang aja gue rapat seleksi pemain untuk turnamen futsal antar sekolah."
Dan syukurnya di-iya-kan oleh Adam.
Bohong banget adalah alasan yang diberikan Hazel kepada Adam ketika sahabatnya itu menanyakan alasan. Sebenarnya tak sepenuhnya berbohong sih. Tapi Hazel juga tak mungkin mengatakan sejujurnya kalau ia—
“Mau ketemu Julian, ada urusan penting.”
Atau—
“Bentar aja. Mau pulang bareng temen.”
Intinya sama saja, Adam pasti akan menanyakan alasan apa yang membuat Hazel mengabaikan Aneshka—sampai ke akar-akarnya. Untuk alasan seleksi pemain turnamen futsal, itu memang benar. Hanya pemilihannya sudah terjadi beberapa hari lalu, entah kapan yang pasti ketika Hazel berada di tubuh Julian. Yang pastinya juga Julian tak akan mau repot-repot untuk ikut seleksi hanya karena ia menjadi Hazel.
Baru saja kakinya menapak di lantai dua, matanya menangkap sosok Julian yang tengah duduk di bangku depan perpustakaan dengan headset di telinga dan buku di tangan. Kebisingan siswa lalu lalang tak mengusik fokus cowok itu. Hazel tersenyum. Meski ia tak tahu apa alasan yang membuatnya ingin bertemu Julian, tapi ia punya jawaban ketika Julian mempertanyakan alasan itu nanti.
"Jul!" Hazel berdiri di depan Julian dan membuatnya mendongak kaget.
"Hm?"
"Pulang bareng yuk!" ajaknya.
"Gue nunggu Kiki," jawab Julian sambil lalu dan kembali fokus pada buku. Jawabannya terdengar lemah tapi Hazel bisa mendengarnya. Ia menyapu pandangannya ke sekitar, mencari-cari Kiki. "Dia lagi latihan untuk turnamen basketnya, maklum wakapten."
Hazel membentuk mulutnya menjadi huruf 'O' sebagai jawaban. Tanpa permisi ia duduk di sebelah Julian dan membuat cowok introvert itu bergeser.
"Lagi dengerin lagu apa?" tanyanya sok akrab.
"Ini bukan lagu, tapi percakapan Bahasa Inggris."
Hazel gagal sok akrab. Sekarang ia bersumpah tak akan pernah cocok berteman dengan Julian dan semua kehidupannya. Tapi jujur, Hazel memang ingin berteman dengan Julian. Sungguh, ini tidak mengada-ada.
"Tapi aneh aja, dengerin percakapan Bahasa Inggris sambil baca komik."
Kalau tak salah lihat, itu memang komik. Dari sampulnya yang bertema goresan pensil yang menyerupai gambar manusia. Hazel tak bodoh untuk tidak mengira itu komik walaupun ia tak pernah membacanya. Saat itu pula Julian langsung mendongak kesal. Mood membacanya hancur, ia menatap Hazel mengabaikan cerita di dalam komik yang sedang seru-serunya—di mana cinta segitiga antara suami istri dan seorang pembantu yang terbongkar di mana sang istri memergoki suaminya tengah bermesraan dengan pembantu baru mereka yang semok, dan menerima fakta bahwa pembantunya itu adalah teman SD si istri itu sendiri.
Tapi, bukannya berceloteh memuntahkan semua kekesalannya, Julian malah menarik napas dan kembali membaca komiknya yang sampai di bagian di mana cinta segitiga—
Cukup!
Ponsel Julian bergetar, menyelamatkannya dari rasa marah dan mendapati nama Kiki pada layarnya. Cowok itu menelepon.
"Kenapa, Ki?" Julian melirik sebentar ke arah Hazel yang tengah mendengarkan lagu dari ipod baru yang dibelikannya kemarin. "Kenapa nggak bilang dari tadi? Gue ‘kan nungguin lo supaya bisa pulang bareng."
Jeda sebentar. Setelah itu Julian menutup teleponnya dan benar-benar menatap Hazel. "Tawaran lo masih berlaku nggak?"
"Masih dong.”
Dan harga diri Julian jatuh ke jurang seketika.
Sialan.
Hazel dan Julian masih berselisih pendapat hingga sampai di jalanan kecil yang jauh dari jalan raya. Alasannya satu, perempatan lampu merah yang menuju komplek rumah Julian jam segini akan ramai karena motor diberhentikan. Sebenarnya, Julian menolak pulang bersama Hazel untuk kedua kali bukan karena alasan itu saja. Alasan lain karena Hazel terus memaksanya melalui jalan tikus yang memutar jauh dan Julian yakin cowok begajulan sepertinya pasti sering ditilang.
Apalagi? Sudah pasti karena tidak punya SIM?
Ketika mereka sibuk 'bercengkerama', Julian tiba-tiba panik ketika melihat papan stop yang sering digunakan polisi untuk razia. Karena Hazel merasa tak aman diguncang sedemikian rupa oleh Julian, ia ingin berbalik. Namun gerakan motornya agak tersendat sampai suara nyaring terdengar.
"Motor hijau dengan plat B 3823 HZL, harap menepikan motor di lajur kiri!"
Dan ia tak bisa lagi kabur.
"Maaf mengganggu perjalanan, bisa tolong perlihatkan kelengkapan surat berkendaranya?" tanya seorang polisi seusai hormat sesuai formalitas.
"Hng, nggak ada, Pak, ketinggalan." Hazel nyengir polos.
"Adik tahu kalau tidak bawa SIM dan STNK akan kena sanksi apa? Ditambah kalian berdua tidak pakai helm."
Hazel geleng-geleng panik. "Pak, saya nggak sengaja, rumah saya daerah sini. Kita berdua tadi pake helm, sumpah."
Polisi itu mengernyit.
"Nah, kita berdua ini ‘kan lagi makan bakso di perempatan sana, Pak, yang bakso Bu Eti itu. Tau ‘kan, Pak?" Hazel mengambil napas sejenak. Sambil menunjuk udara kosong. "Helm kita dicuri, Pak. Nggak tau dah, makan apa itu orang larinya cepet banget! Jadi ini kita mau ngejer pake motor. Ini aja udah ketinggalan jauh, eh, Bapak malah nahan kita gini."
Julian mengaduh sambil menepuk jidatnya. Akting Hazel parah sekali. Lain kali Julian akan menyarankan Hazel untuk belajar akting sama Kiki.
"Bisa adik sebutkan ciri-ciri pencurinya?"
Hazel agak tergagap. Julian tahu cowok itu tengah memutar otak.
"Orangnya itu—"
"Udah, Pak, saya telepon Papa saya dulu, ya, Pak," potong Julian sambil mengeluarkan ponselnya dan terlihat menghubungi seseorang. Ini sudah kepalang tanggung, masalah akan diomeli sang ayah nanti akan ia pikirkan sendiri. Sekarang yang penting mereka berdua harus selamat. "Pak, ini Papa saya mau ngomong."
Setelah pembicaraan singkat lewat telepon itu, mereka pun dibebaskan tanpa surat tilang oleh para polisi tersebut. Tapi mereka tak luput mendapatkan ceramah ketertiban berkendara. Hazel mengiyakan dengan grogi. Tak benar-benar mendengar ‘ceramah’ itu.
Hazel cuma bertanya-tanya; Siapa sih Julian? Siapa sih 'Papa'nya?
Hazel bersumpah ia jarang sekali melihat ayah Julian di rumah ketika ia menjadi Julian waktu itu. Walaupun bertemu, rasanya ia terlalu malas untuk duduk berdua dan mengobrol langsung. Ia lebih sering di kamar.
Tbc ....