Tempat yang sepi itu adalah ruang remang-remang yang berisi sofa, peralatan menyanyi dan layar plasma yang menampilkan video klip lagu dengan liriknya, tepatnya ruang karaoke. Lampu warna warni berkedip-kedip berubah warna membuat matanya sakit.
Julian melipat d**a sambil menekuk muka. Berapa langkah dari tempatnya duduk ada artis amatir yang tengah memegang mic dan jingkrak-jingkrak seperti orang gila. Itu Hazel. Menyenandungkan lagu rock dengan suaranya yang serak dan fals di sana-sini. Sebenarnya ia bisa saja pergi dari tempat karaoke itu sekarang, tapi entah kenapa itu tak dilakukannya sejak tadi.
Pecah kuping gue lama-lama, batin Julian dengan hiperbolisnya.
Hazel menatapnya sambil mengerling, tangannya mengajak Julian bangun untuk ikut bernyanyi. Julian tidak menanggapinya. Saat satu buah lagu metal berakhir, Hazel terlihat sangat puas. Ia tersenyum dengan wajah merah ke arah Julian, mungkin malu dengan suaranya yang tak bisa diseimbangkan dengan lagu yang bernada cepat itu.
"Yak, selanjutnya lo mau nyanyi apa, Jul?" seru Hazel dengan polosnya menggunakan mic. Julian sampai harus tutup telinga karena suara melengking dari benda itu. Ini sudah kesembilan lagu sejak Hazel menyanyi. Julian memilih berdiri dan menuju ambang pintu karaoke. Tapi, Hazel dengan cepat menahan bahunya. "Lo mau ke mana?" tanyanya.
"Toilet." jawab Julian ketus. "Lo mau ikut?"
Hazel menggeleng dan tangannya turun dari bahu Julian. "Jangan lama-lama, ya."
Begitu Julian keluar dari ruangan kedap suara itu. Pintu kembali tertutup otomatis. Hazel mendesah dan mendudukkan tubuhnya di lantai dekat meja. Ia menyesap cappucino yang tadi dipesannya sambil memilih-milih lagu lain yang judulnya tertera pada tracklist. Sampai bosan ia tak menemukan lagu apa yang ingin dinyanyikannya. Akhirnya Hazel memilih diam dan mengaktifkan ponselnya yang mati. Beberapa pesan masuk, semuanya dari Aneshka, pacarnya yang beberapa hari ini ia abaikan.
Hazel tertawa miris membaca semua pesannya. Lalu mengusap wajahnya dengan kasar. Meski ia tahu Aneshka mencintainya lebih dari apa pun, tapi Hazel tak pernah bisa memberikan hati seutuhnya untuk cewek cantik itu. Kalau ditanya siapa orang yang selalu ada di sisinya ketika ia sedih, jawabannya adalah Aneshka. Siapa orang yang mengerti bagaimana kondisi keluarganya, bagaimana ia terpuruk setelah kedua orang tuanya bercerai, dan siapa yang rela menemaninya menangis berhari-hari tanpa beranjak dari posisinya, jawabannya tetap sama; Anehska.
Namun, entah kenapa, Aneshka di hatinya tak lebih dari seorang adik.
Hazel tersadar dari lamunannya saat pintu ruangannya terbuka dan ia mendapati Julian duduk di kursi.
"Gue bingung milih lagu," katanya sambil pura-pura fokus ke layar tracklist. "Suara gue juga kayaknya hampir abis gara-gara nyanyi rock mulu. Lo nggak mau nyanyi?"
"Nggak,” jawab Julian sesingkat mungkin. Hazel terkekeh dan tangannya kembali sibuk menggeser-geser kursor. "Gue ada lagu yang bagus sih tapi nggak tau, ada atau nggak di situ."
Hazel menatapnya. "Nih, coba cari."
Julian langsung duduk di sebelah Hazel. Tangannya mengetik satu judul dan keluarlah beberapa lagu dari beberapa penyanyi. Ia menggeser pelan-pelan tak mau lagu yang ia ingin beritahukan ke Hazel, terlewat. Begitu lagu itu ditemukan, ia segera memasukkannya ke playlist dan mulai menyanyi dengan khidmat. Ruangan itu dianggap sebagai panggungnya. Ia membiarkan suaranya mengalun sangat lembut, seolah-olah itu adalah satu-satunya bakat yang ia miliki, ia pun membuang rasa maunya jauh-jauh untuk menyanyi di depan orang lain.
Toh, cuma Hazel, cowok itu tak penting bagi hidup Julian.
Sedangkan Hazel, nampaknya ia cukup kagum dengan suara lembut itu, tak perlu cengkok yang bagus seperti penyanyi terkenal, suara ini sudah mampu membuatnya terpukau. Bahkan setelah bagian chorus lagu berakhir, backing vocal wanita terdengar mengiringi suaranya. Lalu beberapa jeda setelahnya Julian tak mengikuti alur lagu lagi, ia menaruh mic, duduk tenang bersandar di sofa tanpa dosa. Hazel kebingungan ketika nada mengambang dan Julian bungkam tiba-tiba.
"Loh? Kok udahan?" tanyanya bingung.
Julian mendesah. "Udahan, ah."
"Suara lo bagus banget tadi. Serius."
"Makasih."
"Lagu yang pilih juga bagus, sesuai sama karakter suara lo yang lembut." Hazel tidak bermaksud apa-apa saat memuji Julian, namun Julian nampaknya terlihat tak nyaman, Hazel melanjutkan, "Apa tadi judul lagunya?"
Tangan Hazel menggeser tracklist, tapi lagu itu sudah hilang. Julian memerhatikannya diam-diam sebelum menjawab, "Run to him."
Mendengar judulnya, Hazel segera mencari lagu itu di mesin pencari pada browser-nya. Julian segera memberi nama penyanyi yang membawakan lagu tersebut. Hazel tak membuang kesempatan untuk segera mengunduhnya, tak sadar bahwa Julian sejak tadi melihat pergerakannya tanpa sedikit pun berpaling.
Tiba-tiba ia mendesah kecewa. "Lupa gue! Speaker HP gue ‘kan rusak, percuma nggak bisa didenger lagunya. Harusnya gue punya ipod ya."
"Lo lagi ngode minta dibeliin ipod, Zel?" tanya Julian polos dan tanpa maksud apa pun. Ia ikut memeriksa ponselnya sebentar. Hazel tersenyum tipis mendengar Julian mulai terbiasa memanggil namanya, selama ini belum pernah.
"Iya, kode, kok tau? Beliin dong!"
Julian membuang muka. "Gue mau pulang."
Mood Hazel merosot ke lantai. Ia tak lagi menanyai Julian apa-apa, hanya melirik jamnya yang menunjukkan pukul delapan tiga puluh.
"Tapi makan dulu, ya, gue laper." Julian menambahi.
Bagai dapat kekuatan bulan, Hazel langsung menarik tangan Julian dengan semangat. Si empunya hanya terhuyung sambil mendengus. Mereka keluar dari ruang kedap suara itu dan menuju resepsionis family karaoke itu.
"Berapa, Mbak?" Julian bertanya sambil mengambil uang dari dompetnya. Baru saja wanita itu hendak menjawab, Hazel menahan tangan Julian dan menaruh selembar uang ke meja.
"Gue yang bayar," katanya.
Julian mengangkat bahu. Begitu mendapatkan uang kembaliannya, mereka berjalan beriringan menuju eskalator. Hazel terus menerus sibuk dengan ponselnya sementara Julian menjelajahi matanya ke sekeliling berharap menemukan sesuatu yang menarik. Saat itu pula ia benar-benar menemukan sesuatu yang menarik. Julian langsung menyenggol bahu Hazel agar mendengarnya. "Kita mau makan di mana?"
"Foodcourt aja?" Hazel balik bertanya. Takut Julian tidak setuju idenya.
"Nggak deh. Gue pengen makan bakso di tenda depan mall. Lo ke sana duluan, gue toilet dulu." Setelah mengatakan itu Julian langsung berlari meninggalkan Hazel yang kebingungan.
"Woi!" Samar-samar Hazel melihat Julian berbalik sebentar membuat isyarat untuk menyuruhnya cepat pergi terlebih dahulu dan menunggunya di sana. "Oke, baiklah."
Beberapa menit berjuang di eskalator dan menghadapi mall yang sudah mulai ramai di malam Minggu, Hazel akhirnya sampai di luar mall. Kepalanya mencari-cari tenda tukang bakso yang disebut-sebut Julian. Sampai ia melihat tenda biru dan seorang laki-laki tua bersarung yang tengah sibuk dengan centong besarnya. Ia langsung ke sana dan mengambil tempat.
"Bang, bakso dua, ya."
Laki-laki tua itu menoleh sekilas ke Hazel. "Pedes?"
Mendengar pertanyaan itu Hazel bingung, ia tidak tahu apa yang disukai Julian. "Dipisah aja sambelnya," kata Hazel.
Pesanannya tiba tak lama kemudian; dua mangkuk bakso yang asapnya menguap harum. Tapi Hazel segera mengernyit, lupa berpesan kalau ia tidak mau pakai sayur, tapi sudah terlanjur.
"Masnya makan sendiri?" kata penjualnya membuyarkan lamunan Hazel.
"Sama temen, Bang." Setelah ia selesai mengatakan itu, Julian tiba.
"Sorry, lama." Julian langsung duduk di hadapan Hazel dan langsung mencopot jaketnya. Hazel menatapnya sambil menyeruput kuah bakso.
"Ah!" Hazel menjulurkan lidahnya kepanasan.
Julian tertawa geli. "Kenapa?!"
"Vanasss! Hufh ... hufh ...." Hazel meniup kuah baksonya, kali ini ia tak mau lidahnya terbakar lagi.
"Nih!"
Hazel mengurungkan niat meniup baksonya, melirik sebentar ke arah benda yang ditaruh Julian ke hadapannya.
"Minumnya apa, Mas?" tanya penjual bakso itu tiba-tiba.
"Aku es jeruk aja," jawab Julian, "lo apa, Zel?"
"Ini maksudnya apa, Jul—"
"Zel?" potong Julian, Hazel gelagapan. "Lo minum apa?"
"Air mineral aja," katanya sambil mengangkat benda itu. Seperti ipod. "Jul, ini apa? Lo beli ini trus dipamerin ke gue?"
Julian meniup-niup kuah baksonya. Hazel mendengus karena Julian tak langsung menjawab, ia taruh kembali ipod itu dan menyeruput kuah baksonya. "Itu buat lo—" Kalimat Julian terhenti saat Hazel tersedak. "Eh, lo kenapa? Minum dulu! Minum!"
Hazel memegangi dadanya dan terbatuk lagi, untung minuman mereka segera datang.
"Minum nih."
Hazel melambaikan tangan saat ia merasa tenggorokannya telah lega. Lalu terdiam sebentar sambil melihat ipod biru terbungkus di depannya.
"Itu buat lo! Udah, nggak usah diliatin terus. Sampe keselek pula," sindir Julian.
"Omongan gue di karaoke tadi cuma becanda, Jul."
"Iya, gue tau."
"Terus?" tanya Hazel yang merasa pertanyaannya belum terjawab sepenuhnya.
"Ini hadiah ulang tahun buat lo ... dari gue," kata Julian pelan dan langsung mengibaskan tangannya. "Jangan keselek lagi, please."
"Serius?" Hazel menatapnya dengan tak yakin.
Julian mengangguk tanpa memedulikan ekspresi Hazel. Ia melahap baksonya satu bulat penuh, pipinya langsung menggembung. Akhirnya ia menatap Hazel.
"Kenapa? Nggak suka?"
"Suka banget! Thanks, ya."
Tanpa sadar Julian diam-diam ikut tersenyum. "Gue udah masukin beberapa lagu, lagu kesukaan lo juga ada di sana."
Hazel tak menyempatkan diri untuk bertanya lagi. Segera saja dirinya langsung membuka bungkus ipod biru tersebut dan membuka isi di dalamnya. Seketika matanya melebar. Ia menatap Julian—yang tengah menahan tawanya—dengan protes.
"Lagu dangdut semua?" tanyanya melihat judul lagu yang asing tapi ada beberapa lagu yang ia tahu. Dan itu memang lagu dangdut kepunyaan Indonesia.
"Ya, bagus dong, lo ‘kan pecinta musik Indonesia. Harusnya lo bangga."
"Thanks, ya ...." ujar Hazel tak merasa tersinggung sama sekali, malah merasa lucu.
"Udah cepet makannya, gue mau langsung balik."
Tak ada kata yang terucap dari bibir Hazel. Jangan tanya bagaimana perasaan cowok itu sekarang. Mungkin sebuah ipod memang bukan barang yang terlalu berharga, tapi entah kenapa mendapatkan benda itu langsung dari Julian, membuatnya menjadi berbeda.
"Lo nggak suka sayur?" tanya Julian yang langsung menghentikan tangan Hazel yang tengah menyingkirkan sayur ke pinggiran mangkuk. "Sini buat gue aja."
Julian menyodorkan sendok kosong, Hazel dengan sigap memindahkan sayurnya ke sendok Julian. Cowok yang lebih muda setahun dari Hazel itu serta merta memakan sayur sumbangan tersebut dan kegiatan itu berlangsung sampai sayur di mangkuk Hazel tandas.
"Lo makan dari tadi kayak anak kecil banget!" ujar Julian. "Kepanasan, keselek, sampe nggak doyan sayur segala."
"Kayak gitu 'kan wajar."
Julian angkat bahu. Mereka akhirnya hanya menghabiskan sisa makanan mereka dalam diam. Sampai menit berikutnya makanan mereka tandas, dan Julian lagi-lagi hendak membayar dan dicegah oleh Hazel.
"Gue tau lo banyak duit, tapi biar gue yang bayar," kata Hazel, ia tahu Julian pasti tidak akan keberatan membayar semua makanan jika mereka jalan berdua, tapi Hazel juga tahu malu. "Sekarang ke mana?"
"Pulang."
Hazel tak menjawab dan mengiyakan ucapan Julian. Ia mengambil kunci motor di saku celananya sambil mencoba mengajak Julian berbicara, bagaimanapun, Julian sudah sangat baik dan mau menerima maafnya karena pernah dengan lancang menciumnya.
"Lo nggak pernah keluar malam, ya?"
"Nggak pernah."
"Pantes aja nyokap lo kayak setuju banget waktu gue bilang mau ngajak lo main?"
"Emang Mama bilang apa?"
"Katanya lo jarang main, sukanya bertelor di rumah." Hazel mengangkat bahu sambil mengatakan itu.
Kalimat itu membuat Julian tertohok. Selama ini kalau soal main keluar Julian tidak bisa tanpa Kiki. Sama halnya dengan para introvert di luar sana, Julian lebih suka berada di kamar; menghemat energi dan mencintai ketenangan.
"Lo tunggu di sini—woi!" Hazel tak melanjutkan ucapannya sampai ia merasakan pergerakan Julian yang cepat. Cowok itu berlari memecah kesunyian sampai ada kebisingan lain yang didengarnya ketika melihat Julian berlari meninggalkannya.
"Dek, tolong! Copet! Tolong, Dek. Tas saya diambil!" ujar seorang wanita paruh baya dengan paniknya.
Hazel mulai paham situasi, ia langsung berlari mengejar Julian. Tidak, maksudnya ikut Julian mengejar copet yang kabur dengan berlari ke pintu keluar motor. Berkali-kali ia meneriakkan nama Julian dan copet itu bergantian. Sampai akhirnya kedua orang tersebut jatuh bersamaan dengan bunyi gedebuk yang ngilu.
Tbc ....