Part 7

2007 Words
Setelah beberapa hari terlewati sejak kejadian pulang sekolah berboncengan. Hari ini tepat hari Rabu, yang berarti tepat tiga minggu setelah kecelakaan naas yang pernah dialami keduanya. Sekarang Julian menjadi fobia sekali dengan hari itu. Walaupun ia bersikeras melupakannya, entah kenapa kejadian itu seolah memproyektorinya terus menerus. Apalagi Hazel akhir-akhir ini nekat menyambangi kelasnya pada saat istirahat maupun pulang sekolah. Julian menghela napas. Hari ini ia bersembunyi lagi dari Hazel. Ia memilih mojok di tribun yang mengarah langsung ke lapangan, di mana Kiki—wakapten basket yang juga sahabatnya—tengah berpanas-panas menggiring bola berwarna bata tersebut. Turnamen olahraga antar sekolah akan diadakan tiga hari dari sekarang. Itu berarti Jumat besok. Kiki pasti sedang sibuk-sibuknya dengan jabatan wakil kapten serta posisi Point Guard di timnya. Andai Julian tahu, kalau misalnya Hazel juga ikut turnamen itu, bukan tak mungkin ia akan bertemu dengan cowok itu di lapangan. Hazel 'kan salah satu anggota klub futsal. Akan tetapi beberapa hari sembunyi ke tribun dengan alasan menemani Kiki, ia sama sekali tak pernah menemukan sosok Hazel yang bergelut dengan bola hitam putih milik sekolahnya. Anak itu pasti tidak serius dengan ekskul futsal. Kiki terlihat berpeluh di lapangan, permainan mendadak berhenti ketika Kiki ngomel-ngomel karena dribble-nya direbut tim lawan. Suara nyaring Kiki bahkan sampai ke bangku penonton. Anak itu benar-benar tidak berubah. Selalu temperamen di segala hal. Ngomong-ngomong anggota basket banyak juga, pikir Julian. Seluruh anggota bahkan dijadikan dua tim untuk semi latihan. Lalu masih ada sisa beberapa orang di posisi cadangan. Beberapa menit kemudian Kiki menghampiri Julian dengan handuk dan satu botol mineral yang tinggal separuh. Napasnya terengah. "Pulang, yuk!" katanya. "Lho emang udahan?" tanya Julian bingung karena permainan baru berjalan kurang dari satu jam. "Capek gue. Udah izin kok sama kapten." Mata Julian mengikuti arah pandang Kiki yang melihat ke arah bangku cadangan pemain, di mana seorang cowok dengan nomor punggung empat tengah ngobrol dengan timnya. "Lo kenapa?" tanya Julian ketika Kiki menopang dagunya. "Nggak apa-apa. Capek aja," jawabnya dengan napas masih agak putus. Julian memasukkan komiknya dalam tas. Sebenarnya ia bukan penggemar komik, itu kepunyaan Kiki, dan Kiki yang memaksanya membaca komik-komik itu. "Lo mau mandi dulu nggak?" tanya Julian sambil berdiri mengikuti Kiki. Kiki menggeleng dan berjalan terlebih dulu. Lalu melambai ke teman-teman basketnya. Kali ini ia tak membawa motornya, jadi mereka terpaksa naik angkot bersama. Julian bilang ingin mampir ke rumah Kiki dulu sekadar tidur-tiduran. Jadi mereka memutuskan untuk ke rumah Kiki. Keduanya langsung masuk ke kamar dan menyalakan kipas listrik. Gerah sekali. "Nyokap gue nggak ada," ujar Kiki tanpa ditanya. Julian mengangguk dan membiarkan dirinya berselonjor di atas kasur, memejamkan mata, sementara Kiki langsung ke kamar mandi untuk membersihkan tubuh. Badannya lengket ditambah debu-debu yang menempel sepanjang jalan. Beberapa menit kemudian Julian tersentak ketika sebuah handuk jatuh ke wajahnya. Kiki tertawa, mengambil handuknya dan menjemurnya di jemuran kecil di depan pintu kamar. Lalu ia masuk lagi dan duduk di samping Julian. "Kan udah gue bilang tadi, idupin aja laptop gue," katanya sambil mengacak-acak rambutnya yang basah. Julian mencium bau mentol di rambut itu. "Gue ngantuk." Setelah mengatakan itu, Julian langsung menguap lebar. Merebahkan badan lagi. Kiki hanya geleng-geleng. "Itu ada camilan. Lo laper nggak?" Julian menoleh ke arah yang ditunjuk Kiki, tanpa rasa malu, ia bangkit ke meja belajar di mana makanan itu berada. Sedangkan Kiki menghidupkan laptopnya dan membuka meja lipatnya di lantai. "Mau nonton apa? Ultraman?" "Apa itu?" tanya Julian sambil ngunyah. Ia membawa mangkuk makanannya ke lantai melihat ke monitor laptop. "Super hero lagi?" Kiki mengangguk. Ia mulai membuka folder penyimpanan semua koleksi filmnya. Meskipun tak begitu mengerti film Jepang, tapi Julian tetap mau menonton semua koleksinya. Begitu episode satu diputar, Kiki langsung naik ke atas kasurnya dan rebahan. Handuk kecil di atas kepalanya ia jadikan alas rambutnya yang basah. Membiarkan Julian menonton sendiri. "Jul?" "Hm?" Kiki tak langsung menyahut lagi, mengotak-atik ponselnya mencari lagu band favoritnya. Suara dari laptop berhenti, Julian menoleh ke atas kasur. "Tadi lo manggil, ‘kan?" Kiki mengecilkan volume lagunya. Ikut menoleh. "Iya." "Kenapa?" "Tes kuping." Julian mendengus, ia kembali menekan start pada layar video yang tadi ia pause. Lanjut menonton serial tokusatsu di mana si pemain utama yang menjadi Ultraman itu sedang bertemu dengan cowok asing yang mengaku berasal dari bawah tanah. "Jul?" Julian mem-pause videonya lagi, sekarang ia benar-benar yakin kalau Kiki memanggil. Tapi, lagi-lagi Kiki tak bicara apa-apa. "Jul." "Apaan sih, Ki?" jawab Julian sambil menonton filmnya. "Lo nggak bingung gitu soal ruh lo yang ketuker sama Kak Hazel?" Tak ada jawaban dari Julian. Ia meremat mouse di tangannya, hingga Kiki menyadari. Memang ini semua masih bahasan yang tidak ditemukan judulnya. Tapi Julian bisa apa? Kiki bertanya lagi, "Lo percaya nggak sih, ada hal-hal kayak gitu?" "Buktinya ada, Ki. Lo nggak lagi nuduh gue bohong, ‘kan?" “Siapa yang bilang gitu?" Tombol pause ditekan lagi. Julian menyingkirkan meja lipat itu dan bersedekap. Entah kenapa ucapan Kiki tentang hal itu benar-benar mengganggu pikirannya. Kalau memang ada hal tak masuk akal begitu, memang apa yang bisa diperbuatnya? Jika ada yang memberinya jawaban bahwa ia sedang disantet, ia bisa saja percaya, karena mana ada santet yang masuk di akal manusia? "Menurut lo gimana, Ki?" Julian menatapnya dengan ekspresi cemas. "Gue nggak akan masuk ke badan dia lagi, ‘kan?" "Ya, nggak, sih ... mungkin." Kiki mengambil mangkuk bekas Julian dan memakan isinya. "Asal lo nggak negative thinking aja." "Siapa yang ‘jahil’ sama gue," gumam Julian. “Mau coba nanya orang pinter?” Persetan! Julian tak mau terjerumus pada hal-hal aneh begitu lebih dalam. Ia menarik meja lipat yang tadi disingkirkannya dan melanjutkan acara menontonnya. "Tapi si Hazel tenang-tenang aja," ujar Kiki yang kali ini menghilangkan sapaan 'Kak' pada ucapannya. "Menurut lo apa dia pelakunya? Emang lo sama dia sekarang deket?" "Nggak." "Ya, harusnya 'kan lo lebih terbuka. Harus ada pendekatan gitu." Kiki menanggapi dengan tak acuh. Tapi tiba-tiba tangannya mengalung di leher Julian. "Kapan lagi lo dapet temen? Lo nggak mungkin hanya berteman dengan gue doang selamanya, ‘kan?" "Apaan sih? Ogah amat temenan sama dia." Kiki tertawa keras sekali. *** Riko bersiul-siul ketika beberapa cewek cantik lewat di depan mereka. Apalagi kalau cewek itu memakai rok pendek dan punya wajah yang cantik. Hazel, Adam dan Hari hanya geleng-geleng kepala. Mereka kini berada di depan warung klontongan sambil merokok. Jam pulang sekolah sudah berakhir sejak satu jam yang lalu. Kebiasaan nongkrong di warung memang menjadi rutinitas mereka setelah pulang sekolah. Ketika mereka asik bercanda sambil menggoda siswi-siswi yang lewat, tiba-tiba Aneshka muncul dari kejauhan dan menghampiri mereka. "Hazel!" "Neshka?" Bukannya Hazel yang menjawab barusan, tapi Adam. Hazel melirik wajah Adam yang berubah ketika cewek itu datang mendekat. Perubahan ekspresi itu benar-benar menarik perhatiannya dan ekspresi itu harus lenyap seketika saat Aneshka menggelayut di lengannya dengan manja. "Kamu tuh, aku bilang tungguin dulu!" umpat Aneshka. "Lah 'kan aku udah bilang sama Tia, kalau aku duluan," jawab Hazel. "Iya, tapi aku 'kan minta tungguin!" "Tadi aku suruh bareng Adam dulu, kamu nggak mau." Yang namanya disebut hanya melotot kebingungan. "Wow! Suami istri berantem, ngeributin posisi atas-bawah. Udah, pulang sono, pulang!" usir Hari sambil membuat gerakan mengusir. "Hush, hush, sana!" tambah Riko. Aneshka belum sempat menjawab Hazel langsung mendengus. "Hari sama Riko sirik banget. Jones, ya?" katanya, tersenyum sangat manis. Lalu kembali menatap Hazel. "Pulang, yuk, sayang." Hazel berdecak lalu melirik Adam. "Dam, anterin Neshka nih." "Kok gue?" "Pacar aku tuh kamu apa Adam sih? Masa aku pulang sama Adam terus!" Hazel meringis tanpa sadar. Bukannya ia membenci Aneshka, tapi wajah terluka yang sering ditunjukkan Adam tanpa sadar, membuatnya tak nyaman. Rasanya tak mungkin ia terus bersama Aneshka jika Adam terus menerus memendam rasa sakit. "Ya udah, yuk. Aku anter." Suara serak Hazel terdengar. Ia menoleh ke teman-temannya, terutama Adam. "Gue anter Neshka pulang dulu." "Kita juga mau balik kok," kata Adam yang disambut anggukan oleh Riko dan Hari. "Okelah." Keheningan janggal menyusul. Tak mau berlama-lama dengan keadaan awkward itu, Hazel langsung menarik kunci motornya dan menyalakan motor. Aneshka mengekor di belakang. Secepat kilat Hazel langsung melajukan motornya pada jalanan yang mulai padat itu. Tak butuh waktu lama mereka tiba di rumah Aneshka. Keduanya duduk di teras rumah yang berhadapan langsung dengan gerbang rumahnya, berbicang sebentar. Hazel bilang, "Aku mau ngomong sesuatu sama kamu." Aneshka berhenti memainkan ponselnya. Entah kenapa perasaannya tiba-tiba tidak enak, ia memilih menatap langsung ke pacarnya itu. "Kenapa?" tanyanya. Hazel menghela napas. "Selama ini aku ngehargain privasi kamu. Tapi kamu nggak pernah ngehargain privasi aku." "Maksud kamu apa sih, sayang?" "Kamu sadar nggak, kita nggak cocok?" Ruang udara Aneshka perlahan menyempit, ia menggeleng pelan. "Apa yang mau kamu omongin sebenernya?" Dan Aneshka tanpa sadar menjawab dengan suara bergetar. "Kita ... putus aja, Nesh." Ada jeda panjang sampai tiba-tiba Aneshka sudah menangis. "Nggak mau!" "Nesh ...." "K-kenapa? Apa karena jaket itu? Apa mitos yang kamu bilang kemarin bener, kalau gara-gara itu kita bisa putus?!" seru Aneshka masih pada posisinya. Hingga tiba-tiba ia berdiri di depan Hazel. "Kalau gitu mana? Mana jaket yang aku kasih ke kamu?! Mana, biar aku bakar aja sekalian!" racaunya. Saat Hazel tengah mencerna ucapan tentang jaket dan mengingat mitos yang ia ceritakan—tentang pasangan yang putus setelah memberi kado sebuah baju—pada Aneshka, saat itu pula Hazel merasa tubuhnya dipukul bertubi-tubi oleh cewek itu. "Kamu pasti bakal dapet yang lebih baik dari aku, Nesh, aku cuma minta kita putus." Pukulan Aneshka berhenti dia menggelengkan kepalanya. Hazel ikut berdiri dan menatap Aneshka yang menangis dengan tatapan rumit. "Nggak, Zel, udah tiga tahun akhirnya aku dapetin kamu. Kamu tau gimana sakitnya aku, ‘kan? Kenapa kamu gampang banget bilang putus?" "Nesh—" "Nggak, Zel." "Tapi Adam—" "Nggak, Hazel, aku nggak mau denger apa pun!" Aneshka menangis semakin kencang, ia bahkan menggenggam tangan Hazel kuat sekali. Hingga Hazel yakin pergelangan tangannya memerah. Kepala Anehska jatuh ke bahunya. "Nesh, percuma kita lanjutin juga." Hazel masih merasa gelengan kepala Aneshka di bahunya. "Aku mau kita putus." Tak terdengar jawaban apa pun dari Aneshka. Hanya isak pilu yang semakin keras dan berontaknya tubuh cewek itu dalam pelukannya. Semakin lama ia merasa kepala Aneshka merosot dari bahunya. Hazel yang tak siap menangkap tubuh Aneshka akhirnya ikut jatuh terduduk di bawah. Napas Aneshka yang putus-putus membuatnya panik. Pegangan di tangannya mengendur. Tangan Aneshka meremas dadanya sendiri. "Nesh? Nesh, kamu kenapa?" Hazel mengguncang tubuh Aneshka. Tidak adanya jawaban membuat Hazel semakin panik. Aneshka terus berusaha bernapas sambil memegangi dadanya. Dadanya narik turun dengan cepat. Suara napasnya terdengar mencekik. Saat itu kepala Aneshka terkulai dan jatuh ke d**a Hazel. Berpikir dengan cepat, nama yang terlintas untuk dihubungi pertama kali olehnya adalah Adam. Beruntungnya Adam yang ketika itu sedang main dengan teman-teman dekat rumahnya, langsung berlari menuju ke tempat yang Hazel katakan melalui telepon. Saat mendengar sahabatnya itu panik di seberang telepon dan terus menyebut nama Aneshka, ia tak bisa berpikir lagi. Kata Hazel saat ditelpon, Aneshka tiba-tiba pingsan. Hazel yang kebingungan langsung menelpon Adam karena saat itu di rumah Aneshka tidak ada siapa pun. Yang ada di benak Adam hanya pikiran buruk. Ia mengenal Aneshka sejak kecil, bahkan sampai menyukainya. Adam sendiri meyakini ini bukan sekedar suka, tapi cinta. Hal buruk apa pun tidak pernah ia biarkan terjadi pada Aneshka. Begitu sampai di kamar Aneshka beberapa menit kemudian, Adam langsung mengobrak-abrik nakas dan mengambil sebuah benda dari sana. Sebuah inhaler. "Pasti asmanya kambuh." Hazel menoleh bingung. Asma? Kambuh?  "Lo ngomong apa sama dia?" tanya Adam sambil mengusap wajah Aneshka yang belum sadar. Kemudian ditepuk. "Nesh? Bangun, Nesh. Lo denger gue?" Hazel menyerahkan minyak kayu putih ke tangan Adam, dan Adam menerimanya. "Gue sama Aneshka udah putus dan—" Belum sempat Hazel menyelesaikan kalimatnya, Adam langsung memukulnya tepat di pipi. "b*****t! Mending lo pergi sekarang!" seru Adam sedatar mungkin. Tapi Hazel bisa mendengar giginya bergemeretak di rahangnya yang mengeras. Tatapan mata Adam sangat tajam menatapnya. "Tapi—" "Pergi!" Hening beberapa saat sampai Hazel mengangguk pasrah, ia berbalik tanpa berani menatap mata Adam. Andaikan tatapan mata itu adalah sebuah pisau, Hazel yakin ia sudah berdarah-darah dibuatnya. Sampai ambang pintu, Hazel menoleh sekilas ke belakang. Pikirannya kacau. Ia melihat Adam sudah kembali duduk dan menciumi hidung Aneshka dengan minyak kayu putih tadi. "Maaf, Dam." Tbc ....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD