Getaran di ponselnya membuat Kiki berhenti, ia mengambil benda itu di sakunya dan kembali berjalan. Satu pesan masuk dari Julian.
Ki, buruan ke sini!!! Pukul 14.53.
Kiki mengenyit dan mengetikkan balasan. Baru beberapa menit setelah temannya itu menghilang ketika 'diculik' Hazel, eh, sudah langsung bisa mengiriminya pesan.
Lo di mana? Pukul 14.54.
Beberapa detik kemudian terdengar balasan lagi.
Di bawah pohon!!! Pukul 14.55.
Kiki langsung merinding. Ia mengedarkan matanya ke semua pohon. Pesan lanjutan dari Julian masuk lagi.
Pohon beringin belakang sekolah. Deket komplek. Pukul 14.55.
Tanpa membalas Kiki langsung membelokkan motornya ke gang memotong jalan kembali ke sekolah, atau tepatnya ke belakang gedung sekolah. Begitu ia mengedarkan pandangannya di semua pohon beringin yang berbaris di pinggir jalan dekat jalur dua komplek, akhirnya ia menemukan Julian yang terduduk seperti anak hilang sambil berjongkok di bawah pohon sambil meremas ponselnya.
Kiki menghampiri Julian. Sedangkan si empunya langsung mendongak dengan mata memelas. "Ngapain lo di sini? Ngemis?"
Julian menggelengkan kepala.
Yang dilakukan Kiki hanya mendesah. Ia menyelinap ke sebelah Julian dan menempelkan bokongnya pada tanah, duduk berselonjor. Tak ragu-ragu ia merangkul bahu Julian. Baru ingat tadi sudah mati-matian menenangkan Julian karena katanya saat jam istirahat Hazel tiba-tiba menciumnya dan mereka balik ke tubuh masing-masing.
Kalau Kiki tak waras mungkin ia tidak akan percaya dengan semua ini, dan menganggap Julian sejak awal sampai akhir hanya bersandiwara menjadi Hazel dan mengerjainya. Tapi kalau dipikir-pikir untuk apa Julian melakukan itu? Julian tak serendah dan tak sereceh itu. Kenyataannya saat Kiki mendengar cerita itu yang dilakukannya adalah tertawa dengan terbahak-bahak.
Mereka teman sejak kecil, Kiki sangat mempercayai Julian, begitu juga sebaliknya.
"Pokoknya lo jangan kasih nomor HP gue sama siapa pun!" pinta Julian tiba-tiba.
"Kenapa?" tanya Kiki yang tahu Julian tidak akan langsung membalas. Julian bukan orang yang suka berbelit-belit menjelaskan masalahnya. "Lo diapain lagi sama Kak Hazel?"
Julian menggeleng. Kiki langsung mengajaknya ke warung es yang berada tak jauh di sana. Suguhan dingin benar-benar dibutuhkan untuk mencairkan rasa panas di kepala mereka sekarang. Kiki langsung memesan dua porsi besar es buah.
"Jadi?" Ia bertanya.
"Dia ngajak gue pergi Sabtu besok."
Kiki tersedak. "Hah? Ke mana?"
Julian mengedikkan bahunya sambil terus menatap es di depannya tanpa minat. "Pokoknya, Ki, jangan sampe lo kasih nomor gue kalau dia minta."
"Oh, oke!" jawab Kiki enteng. "Tapi gue rasa mungkin dia emang cuma mau berteman sama lo."
"Lo di pihak siapa sih?"
"Elah, sampe kapan lo mau jadi dramaqueen kayak gini?" Sebelum Julian membalas perkataannya, Kiki melanjutkan, "Lo tinggal terima tawarannya dan dengerin apa yang mau dia omongin. Beres."
"Kita nggak pernah tau orang dari luarnya aja, Ki. Kalau ternyata dia punya niat jahat sama gue gimana? Apalagi gue belum kenal sepenuhnya sama dia."
"Lo itu terlalu berlebihan. Tenang aja. Ada gue." Kiki meyakinkan, ia ingin temannya memperluas pergaulan. "Nih ya, kalau emang dia ada niat jahat, pasti udah ada dia lakuin pas kejebak di badan lo."
Bener juga sih.
"Misalnya?"
Kiki mengusap dagu, mode berpikir. "Misalnya dateng ke sekolah dengan telanjang?"
Julian langsung menginjak kaki sahabatnya itu di bawah meja. Kiki mengaduh. "Dia itu abis nyium gue, Ki. Kalau gue cewek mungkin wajar, nah kalau gue cowok, apa coba tanggepan lo?"
"Gue rasa itu anak gila."
"Emang."
"Tapi ambil hikmahnya aja, dengan cara itu lo udah balik ke badan lo sendiri, ‘kan?" Kiki menyedot esnya. "Gue bakal cari tau sampai tuntas kenapa ini semua bisa terjadi sama lo. Percaya nggak sih kalau mungkin aja ada orang yang ‘jahil’ sama lo?"
Julian tidak bisa berkata apa-apa. Ini di luar nalar manusia. Tapi memangnya ada yang masuk akal kalau membahas soal beginian? "Yang jahil pasti Hazel!" pungkasnya.
Jauh berkilo-kilo dari tempat mereka berada, Hazel yang tengah tiduran di kamar, tiba-tiba bersin. Hazel menggosok hidungnya kasar, lalu ia bersin lagi. "Sial," rutuknya.
"Trus mau lo gimana sekarang?" tanya Kiki, menyendok es ke mulutnya.
"Ya, itu tadi."
Kiki mendesah. Ia ragu untuk menasehati Julian karena ia tahu betul meski Julian itu sering meminta bantuannya tapi sebanyak apa pun ia memberitahu, Julian tidak akan mengikuti apa yang dikatakannya. Sebaliknya, ia hanya harus mengiyakan permintaan Julian atau rengekan cowok introvert yang overthinking itu akan memecahkan telinganya.
"Oh, oke."
Sekitar jam lima sore, Julian pamit pulang dari rumah Kiki. Mood-nya sudah jauh lebih baik dari beberapa jam sebelumnya. Julian bersenandung kecil sambil mendengarkan sederetan lagu yang terdengar dari headset yang menyumpal telinganya. Jarak rumahnya dari rumah Kiki lumayan dekat. Ia hanya harus jalan kaki sekitar sepuluh menit.
Baru kali ini Julian betah berada lama-lama di rumah Kiki. Biasanya ketika sahabatnya itu mencekokinya dengan serial anime Jepang miliknya, Julian akan dengan tegas menolak. Tapi berjam-jam ia menonton, ternyata ia menikmati dan malahan membawa pulang CD Kamen Rider, sebuah serial pahlawan kebajikan milik Jepang itu ke rumahnya untuk lanjut nonton di rumah. Ia sudah meminta izin pada ibunya untuk main di rumah Kiki sebentar. Jadi ia tak perlu khawatir ibunya akan menanyakannya macam-macam.
Tapi, begitu ia sampai di pagar rumahnya yang berwarna hitam itu, ia mengernyit, gerbang rumahnya terbuka sedikit. Pertama-tama ia masuk tanpa berusaha menaruh curiga. Namun, begitu melihat motor hijau ada di depan rumahnya ia nyaris kabur.
Itu motor Hazel yang tadi pagi ia bawa ke sekolah.
Begitu ia berniat lari, ibunya memanggil. Julian mendesah dan menjawab panggilan itu. Langkahnya berat dan ia mengusahakan untuk tidak melihat Hazel yang tengah duduk di depan teras. Dari sudut matanya, ia melihat Hazel tersenyum ke arahnya.
"Kok Mama nggak bilang sih, kalau ada yang dateng?" kata Julian dengan nada tak ramah sama sekali. Kalau ibunya mengabarinya, ia bertaruh takkan pulang sampai si Hazel pergi.
"Iya, tadinya mau chat kamu, tapi kata Hazel nggak usah, mau nunggu kamu aja," jawab ibunya dengan nada sesal. "Dia udah nunggu kamu dari jam tiga."
Gila kali. Julian menggerutu dalam hati. Ia mencium tangan ibunya dan langsung masuk ke dalam mengabaikan Hazel. Tapi sayup ia mendengar Hazel bicara, "Biar aku susul ke kamarnya, Tant."
Begitu keduanya sampai di kamar, Julian langsung membanting tasnya ke kasur. Ia berbalik dan menatap Hazel dengan marah. "Lo mau ngapain ke sini?"
Hazel hanya menanggapinya dengan santai. Ia menggaruk kepalanya dan terkejut melihat kamar Julian yang tadi pagi masih dihuninya itu berantakan. Ia berinisiatif membereskannya sedikit saja, tapi Julian buru-buru mencegahnya.
"Udah, nggak usah!"
"Gue mau minta maaf."
"Gue udah maafin lo!" Julian menatap Hazel yang kini sudah memasang wajah menyesal. "Kan tadi udah clear."
Hazel lantas menghela napasnya. "Tapi lo belom terima maaf dari gue."
"Gue barusan bilang udah maafin lo. Nggak ngerti bahasa manusia?"
"Nggak, gue nggak anggep lo maafin gue sebelum lo terima ajakan gue." Hazel mengeluarkan semua jurus-jurus jitu supaya sekali saja Julian mau mendengarnya. "Sabtu besok, nanti gue telepon."
Julian ingin mencibir, memangnya siapa yang akan memberikan nomornya pada Hazel secara cuma-cuma? Kiki saja sudah dibungkam.
"Tadi gue udah minta nomornya dari nyokap lo."
"SIALAN!"
***
Pagi harinya Hazel memarkirkan motornya di parkiran utama sekolah dekat tribun.
Setelah melepas helmnya dan menggantungkannya di spion, ia berbalik menuju ke kelasnya. Kali ini Hazel sengaja memutar keluar pagar tribun dan menuju gerbang depan, jujur saja ia malas melewati gedung SMK yang memang dekat dengan tribun. Dengan kata lain tribun itu jembatan antara SMA dan SMK sekolahnya.
Sampai depan gerbang, beberapa murid mulai menyapanya. Hazel merindukan sapaan itu. Biasanya ia hanya akan membalas mereka dengan senyum palsu, tapi kali ini tidak.
"Eh, kak Hazel udah dateng. Duluan ya, Kak," sapa salah satu murid yang Hazel yakin itu adalah anak kelas satu. Hazel tersenyum ramah membalasnya, dan ia mendengar murid itu berbisik pada temannya, "Aaa, sumpah senyumnya manis banget!"
Hazel tersenyum geli. Ada saja orang sesenang itu melihat senyumnya.
"Woi, Hazzz!!!" Hazel menoleh pada Adam yang memanggilnya barusan.
"Bau mulut lo, sumpah."
Adam tak terima dan langsung memukul bahu Hazel dengan keras. Keduanya beriringan masuk kelas. Tapi, belum sempat ia menaiki tangga, ia melihat geng Irfan yang menyeret-nyeret Julian ke gudang. Matanya langsung melihat Kiki yang berusaha melepas tangan Irfan yang mencengkeram kerah baju Julian.
"Eh!" Adam menyenggol bahu Hazel dan melihat ke arah yang sama. Ia langsung pergi meninggalkan Adam mengikuti Irfan. Ia heran kenapa anak-anak tak membantunya dan malah menjadikan kejadian itu sebagai tontonan.
Ketika tangan Irfan siap melayangnya tinju setelah memaki-maki, Hazel dengan sigap menyekal tangan Irfan dan meninjunya dengan keras. Irfan tersungkur jatuh dan itu memberi kesempatan Hazel memukul cowok itu terus-terusan. Teman-teman Irfan berusaha menarik Hazel tapi Kiki menghalangi.
"Ki! Udah, Ki!" Julian ingin melerai Kiki, tapi keadaan bahkan lebih parah ketika ia mendengar ada cewek menangis sambil memanggil-manggil Hazel.
"Cukup, Kak Hazel! Please." Tangisan itu membuat Julian iba. Mungkin itu adalah adik Irfan yang katanya pernah dibuat nangis oleh Hazel. Tanpa berpikir panjang Julian segera bergerak cepat dan menarik Hazel yang duduk di atas perut Irfan. Tangannya terus memukul-mukul wajah Irfan sambil bersumpah serapah.
Pukulan itu rupanya terus melesat bahkan ketika Julian berhasil menariknya. Wajah Julian tiba-tiba terasa panas ketika satu pukulan mendarat di sana. Ia jatuh terduduk. Beberapa siswa mulai mengerubungi mereka dan guru yang datang segera membawa mereka ke ruang BK.
"Kalian itu mau jadi apa?" Pak Ali selaku guru BK sekolah bicara dengan nada tegas. Ia memukul meja dengan gulungan kertas ketika keempat anak itu; Hazel, Julian, Kiki, dan Irfan, masih saja adu mulut ketika tiba di ruangannya. Tidak, bukan semuanya, hanya Hazel dan Irfan.
Guru laki-laki berkumis tebal itu langsung menyuruh mereka pindah posisi. Jika sebelumnya Hazel bersebelahan dengan Irfan, kini ia menyuruh Kiki di tengah-tengah mereka.
"Mau jadi apa kalian, hah?" tanya Pak Ali lagi. Keempat-empatnya diam. Lalu guru itu melirik ke arah Julian. "Julian, bukannya kemarin bapak sudah kasih kamu peringatan? Sama Irfan juga?"
Julian yang belum mengerti maksudnya langsung kebingungan. Baru ia berniat membuka mulut, Pak Ali melanjutkan, "Apa perlu saya panggil orang tua kalian?"
"Nggak bisa gitu dong, Pak!" jawab Hazel cepat. "Bapak harus tau duduk perkaranya. Orang ini anak duluan yang mulai!"
"Apaan! Lo yang main pukul gue seenaknya."
"Lo itu—"
"Sudah! Sudah!" potong Pak Ali ketika melihat Kiki kewalahan saat Irfan dan Hazel saling dorong. Keduanya bungkam. "Pokoknya ini peringatan dari saya yang kedua, Julian, Irfan. Dan yang pertama buat Hazel sama Kiki."
Pak Ali menatap satu persatu murid didiknya.
"Kalau kalian buat ulah lagi, kalian saya skors dan akan panggil orangtua kalian ke sini. Paham?"
"Tapi, Pak, Julian nggak salah. Dia yang salah, Pak!" Hazel mendorong lagi bahu Irfan dengan tangannya. Mereka ribut lagi.
"Hei, sudah, sudah!" kata guru BK itu dengan nada membentak. Setelah itu mereka mendapat nasihat panjang lebar hingga bel masuk berbunyi. Setelah guru itu puas mengomeli, mereka diizinkan ke kelas masing masing.
Begitu keluar dari ruang BK. Irfan masih saja cari masalah. "Urusan gue sama lo belom kelar."
Kata-kata itu ditujukan untuk Hazel.
Hazel memberikan jari tengahnya pada cowok itu. Saat Irfan sudah tak terlihat lagi. Hazel langsung menatap Julian yang masih memegangi wajahnya sambil sesekali meringis. Ia berkali-kali mengumbar kata maaf tapi Julian tidak menghiraukannya. Saat ia memukul Julian itu benar-benar tidak disengaja sama sekali. Sehabis insiden itu, Julian langsung mimisan. Walaupun sekarang sudah tidak lagi, namun hal itu tak juga membuat Hazel lega. Pukulannya sangat kuat, kalau Julian tak tahan, bisa saja ia pingsan setelah mimisan.
"Jul, gue minta maaf." Itu kalimat maaf kesekian kalinya sampai akhirnya Julian menatapnya dengan kesal.
"Lo itu pembawa sial tau nggak!" jawabnya ketus.
Kata-kata itu langsung menusuk di hati Hazel. Tapi ia tak bisa mengatakan apa-apa sampai terdengar suara Julian gantian mengomeli temannya.
"Lo juga, Ki, lo pasti tau kemarin Pak Ali udah ngasih peringatan."
Kiki hanya bisa meringis. Kemarin geng Irfan memang memukuli Julian, tapi tubuh Julian saat itu dihuni oleh Hazel. Kemarin Hazel dan Irfan juga berkelahi dan langsung dipanggil guru BK galak itu. Kiki memang tidak memberitahu Julian, atau belum memberitahunya. Ia menyesal karena Julian harus tahu dari mulut orang lain.
"Dia nggak salah, gue yang nyuruh dia buat nggak bilang sama lo," potong Hazel cepat-cepat. Julian langsung berbalik menatapnya.
"Lo mau ngehancurin hidup gue? Gimana? Udah puas?"
Begitu Kiki ingin mengelak atas pembelaan dirinya dari Hazel. Julian langsung pergi meninggalkan mereka menuju ke kelas. Kiki langsung menatap Hazel agak ragu. "Errr ... Kenapa lo mesti bohong soal peringatan itu?"
Hazel tidak membalas. Menggeleng. Tersenyum miring.
Karena ia juga tidak tahu kenapa.
Hari Sabtu berikutnya, sekolah libur sampai besok. Waktu yang benar-benar ditunggu oleh para siswa sekolah seminggu sekali. Apalagi ini malam Minggu. Waktu sudah menunjukkan jam tujuh malam lewat lima belat menit. Hazel mematut dirinya di cermin. Tak ada hari tanpa mengagumi wajahnya sendiri. Ia memang tampan. Pesonanya membuat ia bisa dekat dengan siapa pun dengan mudah. Entah itu wanita atau laki-laki. Ia ramah dan enak diajak ngobrol. Tapi, yang tak habis pikir kenapa seorang seperti Julian bisa membencinya habis-habisan seperti itu?
Tiba-tiba ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk. Hazel langsung membukanya dan berdecak setelah melihat isinya hanya dari Aneshka. Cewek itu pastinya ingin mengajaknya keluar. Tentu saja karena mereka berdua pacaran. Tapi, entah kenapa Hazel lebih mementingkan janjinya dengan Julian. Meskipun Julian tak mau ikut, Hazel pasti akan tetap memaksanya.
Jujur saja Hazel mulai penasaran dengan Julian. Makin lama entah kenapa ia semakin merasa ingin dekat dengan cowok introvert itu; sikap jutek dan cueknya membuat Hazel gemas. Julian pasti tak seburuk itu, kalau benar, mana mungkin Kiki yang katanya adalah sahabat Julian, bisa tahan dengan sikapnya. Kiki yang tak pernah terlihat kesal dengan Julian bagaimanapun Julian memperlakukannya. Ia kembali pada ponselnya dan mengirim pesan tolakan untuk ajakan Aneshka malam ini. Kemudian mendesah. "Sorry, Nesh."
Hazel langsung menyambar kunci motornya lalu menuju ke parkiran.
Sekitar lima belas menit Hazel tiba di depan gerbang rumah Julian. Ia langsung membuka kunci gerbang yang terkait di tembok dan mendorongnya. Motornya dibiarkan di luar, dan ia berjalan masuk ke dalam. Belum sempat mengetuk pintu, ibunya Julian keluar.
"Malem, Tant," katanya langsung mencium tangan wanita itu.
"Oh, Hazel. Kirain siapa. Ayo, masuk." Ibunya Julian membuka pintunya lebar-lebar. "Biar Tante panggil Julian dulu, ya."
Hazel mengangguk, wanita empat puluhan tahun itu langsung menuju kamar anaknya. Hazel sayup mendengar suaranya, "Sayang, ada Hazel nih."
Kemudian suara pintu terbuka.
"Apaan sih, Ma. Bilang aja aku lagi tidur."
Hazel tertawa mendengar itu. Setelah tak mendengar apa lanjutan kedua percakapan ibu dan anak itu, tiba-tiba saja Julian sudah ada di depan ruang tamu dengan wajah kesal.
"Mau ngapain ke sini?!" tanyanya jutek.
"Lah 'kan kita udah janjian."
"Janjian apa? Nggak tuh. Ngimpi, ya?"
Lalu terdengar suara ibunya dari dalam, "Julian jangan gitu dong, nggak sopan."
Julian mendesiskan kata 'bawel' yang kentara. Hazel tertawa.
"Bentar aja kali," bujuk Hazel. "Gue udah jauh-jauh, sampe ngebatalin janji sama Aneshka juga. Lo tega?"
"Bukan salah gue."
Tak lama ibunya Julian kembali ke ruang tamu dengan membawa teh manis hangat. Lalu bagi Hazel ini adalah kesempatannya. "Tante, aku boleh ‘kan ngajak Julian main bentar?" katanya.
"Ya boleh, masa nggak boleh," jawab ibunya Julian sambil menoleh ke arah anaknya yang sudah seperti kompor yang mau meledak.
"Ih, Mama apaan sih! Tanya dulu, memangnya aku mau?"
"Emang kamu nggak mau keluar?" tanya sang ibu dengan pelan dan hati-hati. "Selama ini kamu selalu di kamar nggak pernah keluar, sekali-kali main nggak apa-apa. Kasian Hazel udah dateng jauh-jauh."
Julian berdecak, ia membawa tubuhnya berbalik ke kamarnya dengan langkah malas. Ibunya langsung menatap Hazel.
"Julian emang susah kalau diajak main. Sukanya bertelor di kamar."
"Iya, Tante, aku maklum."
Namun saat Hazel berpikir bahwa Julian benar-benar menolak ajakannya, sepuluh menit kemudian, ia melihat Julian keluar dengan pakaian yang sudah berganti. Kaki rampingnya terbalut jeans biru dongker dan memakai t-shirt putih, di kepalanya bertengger topi warna hitam, tangan kanannya memegang jaket baseball warna hitam dan tangan kirinya memegang ponsel. Hazel terkagum untuk sesaat. Ini pertama kalinya ia melihat Julian berpakaian seperti ini. Ternyata kakinya sangat kurus.
"Nah, gitu dari tadi ‘kan enak. Nggak usah pake ribut," kata sang ibu.
"Tante, aku pamit dulu, ya." Hazel langsung berdiri dan mencium tangan ibu Julian.
"Ya udah, hati-hati."
Mereka mengangguk dan langsung keluar dari pintu depan. Hazel merogoh kantung celananya untuk mengambil kunci motor. Julian yang misuh-misuh di sebelahnya, ia abaikan.
"Mau ke mana?" tanya Julian.
"Ke tempat yang sepi."
"Ha?"
Tbc ....