Enam

1735 Words
Ketika Gustave akan mengantar Merlian ke pasar tempat mereka bertemu pertama kali, Merlian menolaknya, dia hanya berkata ingin berhenti di halte bus. Gustave menolaknya, dia merasa tak enak hati menurunkan seorang wanita di jalan. Menurutnya itu sangat tidak beretika, meskipun saat ini dia sangat bingung. Bagaimana bisa orang tuanya menyetujui Merlian menikah dengannya, tanpa pertanyaan tentang bibit bebet bobot seperti yang mereka selalu tanyakan? Tanpa tahu latar belakang kehidupan Merlian seperti apa? “Jangan di sini, kamu mau ke mana biar aku antar?” ucap Gustave dengan wajah datar menatap jalanan yang terus saja mengarah ke pasar. Merlian menunjuk sebuah bangunan rumah sakit tidak jauh dari tempat mereka berada. “Siapa yang sakit?” tanya Gustave. “Sepupu. Baju aku yang tadi di mana?” tanya Merlian pada Gustave, yang dia tahu bajunya diletakkan di kursi belakang mobil, tapi kini tas kertas pemberian Daifa itu raib. Gustave melirik kursi belakang mobilnya, dia melihat dari kaca di atasnya. Lalu dia teringat mobil ini tadi sempat dibersihkan. “Mungkin dibuang,” ucap Gustave enteng. “Astaga, aku enggak mungkin pakai baju ini ke rumah sakit,” celetuk Merlian seraya menyandarkan tubuhnya dengan lunglai. Pikirannya pun sama kacaunya dengan Gustave, dia baru menyadari mungkin keputusannya akan jadi hal yang paling dia sesali seumur hidupnya. Namun nyawa sepupunya di ujung tanduk dan dia tak mau menyiakan kesempatan ini. Gustave terus melajukan mobil menuju pelataran rumah sakit. Saat ini dia memakai jaket berwarna cokelat tua. Dia pun menghentikan mobilnya lalu membuka jaketnya. “Pakai ini,” ujarnya memberikan jaket itu, tanpa basa basi Merlian menerima dan langsung memakainya. Benar-benar wanita unik. “Makasih.” Merlian mencoba membuka pintu mobil namun masih terkunci. “Kamu yakin mau menikah denganku? Aku bisa membantu kamu kalau kamu butuh uang, tapi enggak untuk pernikahan.” “Aku enggak ada waktu. Lagi pula memangnya kamu bisa melawan kehendak orang tua kamu, Mas? Enggak kan?” Ucapan Merlian seolah menyadarkan Gustave, apa yang harus dia lakukan, orang tuanya pasti akan sangat marah jika dia berkata bahwa dia menyewa seorang wanita untuk berpura menjadi kekasihnya, padahal mereka benar-benar menginginkan seorang menantu. “Kita bicarakan lain kali,” putus Gustave pada akhirnya, dia pun membuka kunci pintu dan Merlian segera meloncat turun. Dia mengetuk jendela pintu seolah teringat sesuatu, sesaat setelah menutup pintunya. Gustave menurunkan jendela tersebut. “Kalau nanti baju aku ketemu, tolong simpanin ya Mas, ada duitnya dua puluh ribu di kantung celana, makasih.” Merlian segera ngeloyor pergi meninggalkan Gustave yang masih ternganga, sebegitu pentingnya uang dua puluh ribu bagi Merlian kah? Apa dia tidak tahu bahwa baju dan tas yang dikenakannya bahkan beratus kali lipat dari uang dua puluh ribu itu. Dan jangan lupakan jaket yang kini menempel di tubuhnya, itu dibeli di luar negeri yang tentu saja cukup mahal. Gustave hanya menggeleng, melihat Merlian yang berjalan dengan sesekali terpeleset heelsnya. Kini Gustave kembali melajukan mobil miliknya, dia harus menenangkan diri, mungkin dia akan menemui temannya yang bekerja di club, tepatnya pemilik club yang menyamar menjadi bartender itu. *** Merlian menerima panggilan dari Nike, ibu Gustave. Wanita itu cepat meneleponnya setelah Merlian berkata bahwa dia sudah tidak bersama Gustave. Merlian sempat berdoa agar Nike memberi uang untuk menjauhi Gustave, itu adalah win win solution yang baru saja dia pikirkan. “Kamu sudah di rumah?” tanya Nike. “Belum, saya singgah ke rumah sakit. Ada apa Tante?” tanya Merlian seraya mengambil duduk di salah satu kursi tunggu. Rumah sakit cukup sepi, wajar mengingat jam besuk sudah habis. Dia memainkan resleting jaket itu untuk menepis gugup berbicara dengan orang yang disegani. “Kirim nomor rekening kamu ya, tante mau transfer uang,” ucap Nike. Merlian melihat sepupunya berlarian. Dia langsung merasa khawatir, Daffa pun menghampirinya. Tanpa pikir panjang Merlian langsung mengiyakan permintaan nomor rekeningnya. Dia memutuskan panggilan itu dan berdiri, melihat Daffa yang panik. “Ada apa?” tanya Merlian. “Dede sempat berhenti bernapas, Kak,” ujar Daffa dengan mata berkaca-kaca. “Sekarang bagaimana kondisinya?” “Dokter bilang kita harus segera mengoperasinya, kita bisa minta ke pemerintahan atau badan lembaga amal, kita bilang tindakannya sangat urgent,” ucap Daffa. Baru pertama kali Merlian melihat adik sepupunya ini tampak sangat gugup. Padahal pria yang dikenalnya cukup nakal ini merupakan orang yang cuek, tapi dia kini sangat berbeda. “Enggak perlu, Kakak ada uang,” ucap Merlian. Dia mengetik pesan pada Nike dan mengirimkan nomor rekeningnya. Tanpa butuh waktu lama Nike mengirim tangkapan layar berisi nominal yang melebihi angka dari yang dia butuhkan. Merlian memegang tangan Daffa dan berlari mengajaknya menuju loket administrasi. “Kak!” ujar Daffa seraya melepas tangannya yang ditarik Merlian, dia berusaha menghentikan Merlian menuju loket administrasi. “Apa sih? Kita enggak punya banyak waktu! Enggak usah drama ya kowe!” ujar Merlian. Biasanya kalau dia kesal memang dia sering menggunakan bahasa daerah secara random, daerah mana saja yang ada di otak kecilnya. “Ck! Kakak enggak melonteh kan? Mau bayar operasi dari mana?” “Bacot!” ujar Merlian geram, dijewer kuping adik sepupunya dengan kesal, kuping itu sampai memerah dan Daffa mengaduh. Merlian mendengus dan terus berjalan menuju loket. “Tenang! Ini halal! Puas kau!” sungutnya setelah sampai di depan loket administrasi. Dia menekan bel karena petugas administrasinya tidak di tempat. Daffa baru memperhatikan barang yang dipakai kakak sepupunya. Dia memakai jaket dan Daffa yakin di dalamnya dia memakai baju perempuan, hal yang seumur hidup tidak pernah dilihatnya. Karena rok yang dikenakan Merlian. Bahwa wajahnya tampak cantik, tidak kumal seperti biasanya. Daffa bersandar di dinding. Apa sepupunya menjual diri demi adiknya? Saat ini Daffa merasa sangat tidak berdaya. Dia tak mengerti bagaimana caranya mendapat uang banyak dalam jumlah cepat? Petugas administrasi datang dan menanyakan keperluan Merlian dengan sopan. “Saya mau membayar biaya operasi bayi nyonya Alda,” ucap Merlian. “Baik Kak, sebentar ya saya cek dulu,” ucap petugas itu ramah. Merlian mengeluarkan dompet yang lusuh itu dari tas mahal yang dikenakannya, bahkan dia saja tak tahu harga tas ini. Sangat kontras dengan dompetnya. Sungguh ironis! “Biaya operasi sebesar tiga ratus juta rupiah, mau dibayar cash atau debit?” tanya petugas itu. Merlian mengeluarkan kartu ATM berwarna biru tersebut. Petugas administrasi hanya tersenyum menatapnya. “Bayar uang mukanya dahulu ya Kak, besok kakak bisa ke bank untuk melakukan pendebitan sisanya,” ucap petugas tersebut. “Lho enggak bisa langsung? Bagaimana kalau adik saya kenapa-kenapa? Saya ada dana sebesar itu kok,” ucap Merlian. “Bukan seperti itu Kak, limit p********n kakak hanya lima puluh juta, tidak bisa lebih, kami akan tetap memasukkan nama bayi nyonya Alda untuk operasi besok, sambil kakak ke bank,” ucap petugas itu ramah. Merlian mengembuskan napas kasar, dia pun hanya mengangguk. Yang penting adik sepupunya bisa dioperasi segera. “Saya lakukan p********n ya, Kak,” ucapnya. Merlian mengangguk lagi. Cukup lama petugas administrasi itu membuat kwitansi p********n, mungkin sekaligus untuk melihat jadwal operasi besok. Setelah selesai dia pun meminta Merlian tanda tangan dan juga menggesek kartu biru itu di mesin EDC. “Nanti perawat yang akan mengabarkan waktu operasinya ya Kak, tapi kami sudah mendaftarkannya untuk operasi urgent, kakak jangan khawatir. Kami percaya kakak akan membayar sisanya,” tutur petugas itu seraya menyerahkan bukti p********n uang muka dan juga kartu ATM milik Merlian. Dia pun berterima kasih dan menyeret Daffa yang masih termenung seperti ayam salah makan. “Kak, yakin?” tanya Daffa. “Nyawa dede yang utama Daf, kamu jangan khawatir, sekarang kita temui tante Alda,” tutur Merlian. Mereka berjalan ke ruang perawatan, Alda sedang membereskan baju-bajunya karena besok dia sudah boleh pulang, meskipun anaknya harus tetap ditinggal di rumah sakit. Mata Alda membengkak, mungkin terlalu banyak menangis, tak pernah terbayang dalam hidupnya bahwa dia melahirkan bayi yang menderita kelainan sehingga harus operasi untuk mempertahankan hidupnya. Selama di perut tak ada hal yang berbeda yang dia ingat. Hanya saja mungkin karena dia terlalu sering angkat berat atau terlalu lelah berjualan. Fahri, sang suami hanya duduk lesu di salah satu sudut. Merlian menghampiri Alda dan meminta tantenya duduk namun Alda menolak. Keluarga yang dia miliki, seorang wanita yang dianggap seperti ibunya sendiri. “Besok dede dioperasi, Tan. Aku sudah bayar uang mukanya, sisanya besok aku ke bank langsung untuk pendebitan karena ATMnya enggak bisa gesek lebih banyak,” ucap Merlian. Alda menatapnya dengan pandangan sayu dan menggeleng. “Enggak baik berbohong Mel, enggak apa-apa kita pasrahkan saja sama yang di atas,” ucap Alda. Merlian mendongak dan menatap lampu yang berpijar. “Lampu?” “Plak!!!” bahunya kena pukul Alda membuatnya meringis. Fahri hanya menggeleng, kapan sih keponakan dan tante itu akur? “Tan, serius, tanya Daffa kalau enggak percaya,” tunjuk Merlian pada putra sang bibi yang mengangguk-angguk seperti boneka hewan di mobil. “Kamu punya uang dari mana? Kamu enggak jual keperawanan kamu kan?” “Memangnya dia masih perawan?” seloroh Daffa. “Plakkk!!” Kini pukulan mendarat di lengannya oleh Alda. Daffa mengusap lengannya, menyesal berdiri terlalu dekat dari ibunya yang ringan tangan. “Tante enggak perlu khawatir, aku enggak melakukan pekerjaan sekotor itu.” “Tante enggak mau, kalau kamu enggak jujur dari mana uang itu?” “Percuma enggak mau pun, orang sudah kubayar sih,” cibir Merlian. “Merlian!” “Iya iya. Jadi ceritanya aku punya pacar, aku memang nutupin ini sih, dan orang tuanya yang kasih uang itu, tadi aku habis ketemu mereka, lihat nih aku pakai baju bagus,” ujar Merlian membuka resleting jaketnya. Alda baru memperhatikan penampilan Merlian yang berbeda. “Mereka orang kaya, mereka mau aku menikah dengan anaknya segera, jadi itu uang seserahan yang aku pakai. Tante tenang aja, keponakan tante yang beban hidup ini akan jadi istri konglomerat,” ujar Merlian seraya tersenyum lebar, menutupi getir hatinya. “Kamu yakin?” “Yakin, Tan. Tadi juga dia yang antar aku ke sini. Nanti kalau waktunya tepat aku kenalin ya,” ucap Merlian. “Jadi kamu mau nikah?” tanya Fahri, suami dari Alda yang akhirnya bersuara setelah sejak tadi pikirannya semrawut seperti benang kusut. “Iya Om,” jawab Merlian. “Itu yang terbaik Mel, terima kasih sudah bantu anak Om,” ungkap Fahri dengan suara bergetar menahan tangis. Alda segera menarik Merlian dalam pelukannya, dia menangis di bahu keponakannya itu. Merlian hanya membalas pelukan tantenya. Pantang baginya menangis meskipun matanya sudah berembun. Dan Daffa yang berada di sana menyusut ingusnya dengan suara nyaring membuat Merlian geli! Merlian mengayunkan kakinya dan menendang tungkai kaki sang sepupu sambil memberinya hadiah pelototan tajam! Jorok! ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD