(Satu jam sebelum pertemuan Merlian dan orang tua Gustave)
Nike, wanita berusia enam puluh tahun yang masih tampak cantik di usianya yang mulai senja, dia seorang designer gaun pernikahan dan gaun pesta. Namanya cukup terkenal di kalangan atas. Banyak artis yang memakai gaun rancangan dari timnya. Namun sudah sejak lima tahun lalu dia sudah tidak merancang lagi, semua rancangan dikerjakan oleh mereka yang muda-muda.
Dia hanya duduk manis mengawasi anak buahnya di perusahaan yang dibangunnya sejak dia menikahi Adi, suaminya.
Adi, berusia enam puluh lima tahun, rambutnya sudah memutih, dia memang sengaja tidak memberi warna di rambutnya itu, dia berkata bahwa uban adalah kebanggaannya. Masih tampak berwibawa dengan tubuhnya yang tinggi dan sedikit gemuk. Dia menyukai olah raga tenis, yang membuatnya masih sangat bugar sampai kini. Meski usianya sudah jauh dari masa pensiun namun dia masih mengelola perusahaannya sendiri di bidang ekspor dan impor. Perusahaannya merupakan perusahaan induk dari perusahaan yang Gustave kelola.
Entah mengapa dia masih belum bisa melepaskan perusahaannya untuk Gustave? Mungkin karena pria itu belum menikah seperti yang selalu mereka inginkan.
Kedua orang tua itu tengah duduk bersantai di ruang tengah, mereka hanya memiliki satu-satunya anak yaitu Gustave. Itu sebabnya mereka sangat menginginkan anaknya itu menikah dan membentuk keluarga yang bahagia.
“Jam berapa Gustave akan bawa calon istrinya?” tanya Adi pada Nike. Wanita yang memakai baju santai namun tetap terlihat mewah itu melihat jam tangannya.
“Mungkin satu jam lagi, mama penasaran siapa yang akan dia bawa? Wanita mana lagi yang akan dia sewa untuk menjadi pacar bohongannya,” celetuk Nike sambil mendesah kecewa. Adi hanya tertawa simpul dan membuka koran yang belum selesai dia bacanya.
“Yah, begitu lah anak kamu. Sepertinya dia masih belum bisa merelakan mantan pacarnya menikah dengan pria lain.”
“Apa kita dulu terlalu keras ya? Melarang dia menikahi gadis itu?”
“Kita kan sudah menyelidikinya dan memang gadis itu tak pantas bersanding dengan Gustave.” Adi melipat kembali koran itu, rasanya dia sangat tidak mood membacanya. Beritanya selalu saja berulang, kasus yang tak pernah selesai.
“Tapi ... Gustave tidak juga memiliki kekasih yang baik, sampai kapan dia seperti ini?”
“Jika begitu, siapa pun yang dia bawa, kita harus merestuinya.”
“Bagaimana jika kali ini juga wanita bayaran?”
“Kalau begitu, berarti dia yang harus menikmati apa yang dia rencanakan. Dalam bisnis, jebakan yang dibuat oleh orang bodoh akan memperangkapnya sendiri.”
“Berarti papa ngatain anak kita bodoh?” geram Nike.
Adi hanya mengangkat bahunya, “bukankah kita yang menginginkan dia menikah, dia masih normal kan?”
“Ya tentu dia masih normal! Tapi kan kita enggak bisa sembarangan menikahi putra kita?”
“Percaya sama papa, mata papa masih tajam untuk menilai seseorang,” ucap Adi seraya memegang tangan istrinya. Nike menarik napas panjang dan mengangguk. Siapa pun nanti yang dibawa Gustave, cantik atau tidak? Dari keluarga yang baik-baik atau bermasalah? Apa pun pekerjaan orang tuanya, akan dia restui. Semakin tua dia semakin berpikir bahwa dia tak mau meninggalkan Gustave seorang diri di dunia ini, setidaknya jika Gustave sudah berkeluarga, dia pasti akan sangat tenang.
***
Merlian memandang meja makan yang sangat besar itu, dia melihat banyaknya menu makanan yang mungkin tak akan habis dimakan mereka berempat. Sejenak otaknya berpikir apakah dia bisa membawa pulang nanti? Meminta ibu Gustave membungkus makanan itu untuk keluarganya.
Satu persatu piring berisi lauk ditatap Merlian, banyak yang asing di matanya. Dia hanya tahu ayam goreng tepung yang dilumuri saus itu. Sisanya, entah apa? Tercampur bumbu dan dia benar-benar tak pernah memakannya.
“Ada yang kamu cari?” tanya Adi. Merlian hanya tersenyum.
“Enggak ada jengkol, Om?” tanya Merlian membuat Gustave nyaris memuntahkan tawanya. Bagaimana bisa gadis ini menanyakan jengkol.
“Kamu suka jengkol?” tanya Adi.
“Suka banget, Om. Apalagi jengkol balado, yang digeprek dulu sebelum disambelin, beuh mantep!” ujar Merlian berapi, bahkan kedua ibu jari tangannya terangkat.
“Ya kapan-kapan om minta tante kamu siapkan jengkol, sekarang makan steaknya dulu,” ucap Adi seraya menahan tawanya. Nike hanya menggeleng dengan pandangan miris.
“Benar ya, Om?” tutur Merlian yang membuat Adi menganggukkan kepalanya.
Gustave mengambilkan beberapa lauk dan meletakkan di piring Merlian.
“Makan saja,” ujarnya setengah berbisik. Merlian melihat mereka yang memakan menggunakan sendok dan garpu, dia pun pernah memakainya meski hanya beberapa kali karena makan dengan tangan sejujurnya adalah kenikmatan hakiki baginya yang tak bisa digantikan. Namun saat ini tak mungkin dia makan memakai tangan. Ada hal yang lebih penting yang harus dia lakukan.
“Kesibukan kamu apa?” tanya Nike.
“Kuliah, Tante. Sekarang sedang menyusun skripsi, baru bab dua,” ujar Merlian.
“Oiya, ambil jurusan apa?” tanya Adi.
“Managemen Sumber Daya Manusia, Om,” tutur Merlian seraya menikmati makanannya, meskipun asing namun makanan yang kini ada di mulutnya terasa sangat nikmat.
“Kamu siap untuk menikah Merlian?” tanya Adi. Merlian menatap orang tua Gustave bergantian, mereka pun balas menatapnya. Gustave yang berada di sampingnya mencoba memberi kode dengan menendang pelan kaki Merlian.
“Apa yang saya dapat jika saya menikah dengan mas Gustave?” tanya Merlian tanpa peduli kakinya yang masih menjadi bahan tendangan Gustave.
“Maksud kamu apa sih, Sayang? Kita kan sepakat nikahnya nanti setelah kamu wisuda,” bohong Gustave seraya memegang tangan Merlian, Merlian menoleh ke arahnya dan menggeleng.
“Bukankah lebih cepat itu lebih baik?” tanya Merlian dengan senyumnya yang tampak sangat memukau, namun Gustave melihatnya justru seperti melihat hantu di siang bolong. Dia tak percaya akting wanita ini benar-benar luar biasa. Apakah dia sebenarnya artis yang sedang menyamar menjadi juru parkir kemarin saat ditemuinya?
“Om setuju, lebih cepat lebih baik. Minggu depan kami akan menemui keluarga kamu, katakan apa yang kamu butuhkan saat ini?” tanya Adi, Nike sudah meletakkan sendok dan garpunya di piring. Sementara Merlian menarik tangannya dari genggaman Gustave.
“Apa saya bisa minta uang seserahan lebih awal? Ada hal yang saya ingin lakukan.”
“Boleh, tentu saja,” ucap Adi. Gustave berdiri dan menarik tangan Merlian.
“Kita perlu bicara Mer!”
Merlian tak bisa menolak ketika genggaman tangan Gustave seperti cengkraman yang membuat tangannya sangat sakit. Dia pun mengikuti langkah Gustave yang menuju lantai atas, dia membuka pintu kamar dan menarik Merlian masuk, melihat kamar itu sepertinya ini adalah kamar pribadi Gustave. Gustave menutup pintu kamar dengan sangat kencang dan melepas tangan Merlian yang membiru karena genggaman tangannya yang cukup keras.
"What the F- Mer, kita bahkan baru mengenal!" sentak Gustave ketika berhasil membawa Merlian menjauh dari orang tuanya.
"Why not? Aku membutuhkan pernikahan ini." Merlian mengedipkan matanya genit meski hatinya terus berusaha menepis tingkah konyolnya.
"Kamu gila!"
"Gila memang nama panjang aku," ucap Merlian, seraya meninggalkan Gustave dengan juluran lidahnya.
“Merlian stop!” teriak Gustave seraya kembali menarik tangan Merlian, membuatnya tak berkutik, bahkan tangan sebelah Merlian sudah memegang handle pintu kamar Gustave.
“Ada apa lagi? Mau sampai kapan kamu seperti ini? Mau berapa puluh perempuan yang kamu bawa untuk menipu orang tua kamu? Sebaiknya kita menikah dan lakukan perjanjian setelahnya.”
“Kamu benar-benar gila! Kamu pikir menikah itu permainan?”
“Bukannya kamu memang sedang bermain sekarang?”
“Mer! Dengar aku! Aku punya wanita yang aku cintai! Tapi aku dan dia enggak bisa bersama saat ini. kamu harusnya ngerti, aku hanya mau kamu pura-pura jadi pacar aku dan buat orang tuaku enggak merestui kita! Kenapa jadi kamu yang setuju dengan pernikahan ini?”
“Sejak awal aku datang pun orang tua kamu sudah setuju melihatku Mas Gustave yang terhormat. Kita bisa cerai setelah kamu bisa bersamanya nanti! Simpel kan?”
“Kamu yakin sama apa yang kamu ucapkan barusan?”
“Ya, kenapa enggak!” Merlian mengangkat bahunya acuh, mengempaskan tangan Gustave dan membuka pintu kamar itu, menuju ruang makan. Orang tua Gustave masih berada di sana.
“Maaf, Om, Tante, sepertinya Mas Gustave terkejut karena Om dan Tante merestui kami,” ucap Merlian, meneguk air di gelas kacanya, lalu dia melanjutkan makan kembali.
Nike dan Adi saling tatap.
“Kamu sedang butuh uang saat ini?” tanya Nike pelan, khawatir menyinggung Merlian.
“Ya,” jawab Merlian dengan suara yang tercekat, tiba-tiba dia sangat ingin menangis.
“Berapa yang kamu butuhkan?” tanya Nike lagi, dengan nada suara yang masih sangat pelan dan lembut.
“Tiga ratus juta.” Merlian menyebutkan nominalnya, angka yang dibutuhkan untuk membiayai operasi keponakannya. Adi dan Nike saling tatap dan mengangguk.
“Om akan berikan uang itu sekarang, tapi kamu tetap harus menikah dengan Gustave,” ujar Adi. Merlian yang semula menunduk itu mengangkat wajahnya. Matanya sudah berkaca-kaca.
“Om yakin?” tanya Merlian.
“Ya, kami sangat ingin melihat Gustave menikah, dan kami yakin kamu adalah wanita yang cocok untuknya,” ujar Adi. Nike pun setuju dengannya. Meskipun dia baru mengenalnya namun entah mengapa dia merasakan dekat dengan Merlian. Seolah sangat mempercayainya untuk menjadi istri dari putranya. Merlian menyebutkan nomor teleponnya yang disimpan oleh Nike untuk saling berkomunikasi nanti.
Gustave kembali ke ruang makan, wajahnya masih tampak kalut, dia pun meneguk air minumnya.
“Ayo aku antar pulang,” ucap Gustave pada Merlian. Merlian melihat ke arah kedua orang tua Gustave. Mereka mengangguk seolah mengizinkan Merlian pergi. Bahkan Nike memberi kode bahwa dia akan menghubungi Merlian setelah ini.
Merlian pun berpamitan pada mereka dengan mencium punggung tangan kedua orang itu. Dia bahkan sampai lupa ingin meminta dibungkuskan makanan. Ah sudahlah yang paling penting sekarang itu dia akan mendapatkan uang untuk operasi keponakannya.
Sepeninggal Merlian dan Gustave, Nike memandang suaminya dengan pandangan heran.
“Apa yang membuat papa yakin untuk menikahkan Merlian dengan Gustave?” tanya Nike.
“Karena dia suka jengkol.”
“Hah!!!!”
***