Empat

1165 Words
Merlian diminta duduk di sofa sementara Daifa duduk di sampingnya mengeluarkan ipad dan menunjukkan bagan perawatan yang akan dia mulai sesuai permintaan dari seorang yang tak mau disebutkan namanya itu namun telah memesan perawatan mahal untuk Merlian. “Pertama kita akan lulur, lanjut mandi s**u, creambath, dan mungkin merapikan sedikit rambut kamu, menicure, pedicure,” tutur Daifa. “Bulu ketek dicukur,” sambung Merlian membuat Daifa tersenyum lebar, “mau waxing?” tanyanya. “Waxing?” “Iya, sekalian ya,” tutur Daifa. Merlian hanya mengangguk tak tahu Waxing yang dimaksud. “Brazilian Wax ya,” ujar Daifa yang lagi-lagi disetujui Merlian. Daifa memanggil asistennya untuk menyiapkan yang diperlukan, Merlian sudah melepas pakaiannya dan mengenakan kain khusus yang dililit di tubuhnya. Dia berbaring tertelungkup dan menerima sentuhan lembut yang mampu menenangkannya. Setelah bagian belakang, kini dia mendapat perawatan di bagian depan tubuhnya. Merlian sangat malu ketika bagian tubuh depannya terbuka seperti itu. Ini pertama kalinya dia merasa tubuhnya ditelanjangi seperti ini, beruntung dia masih memakai celana dalam. Bahkan bagian bukit kembarnya ikut dipijat dan entah ditotok atau apa yang membuatnya merasa meremang. Setelah semua bagian telah dilulur dan dibersihkan. Merlian diminta menutup matanya. Dan asisten Daifa membuka celananya. “Mau apa?” tanya Merlian. “Brazilian Wax,” tutur asisten ramah itu. “Tapi kok dibuka?” tanya Merlian sambil menutupi bagian organ vital tubuhnya. Daifa yang berada di sana memegang tangan Merlian. “Ayo biar cepat selesai,” tutur Daifa, “jangan malu, nanti lama-lama terbiasa,” imbuhnya. Merlian tidak bisa menolak ketika asisten Daifa itu mengoleskan gel atau cream di bagian inti tubuhnya. Lalu Daifa yang masih memegangi tangan Merlian itu seolah memberi kode pada asisten. “Tarik napas ya,” ucap Daifa. Merlian menarik napas belum sempat mengembuskannya ketika tangan asisten yang semula lembut itu mengeluarkan tenaga ala kuli. “SAKIT!!! MAMPUSSSS!!!” teriakan Merlian memenuhi ruangan ini. Dia melemparkan tatapan tajam pada Daifa yang hanya cengengesan. Lalu asisten itu menunjukkan hasil karya di tangannya. “Ya ampun habis deh bulunya!” ujar Merlian mengusap miliknya. Asisten Daifa mencoba membuat Merlian nyaman lalu Daifa mengangkat kedua tangan Merlian. “Di ketiak enggak terlalu sakit,” ucap Daifa. Merlian hanya meringis, tanpa berani melawan, dia takut dengan kekuatan sang asisten yang padahal tadi memijatnya sangat lembut tapi saat menarik bulunya terasa sangat kuat. Benar ucapan Daifa di bagian tangan itu tak terlalu sakit. Lalu Daifa berendam di air s**u, tubuhnya terasa lebih rileks kini. Semua hal dilakukan di kamar khusus ini termasuk cream bath dan memotong rambutnya. Kamar ini memang sangat privat mungkin membutuhkan biaya cukup mahal untuk perawatan di tempat ini. Setelah semua rapih, Daifa membawakan baju untuk Merlian pilih. Ada dua gaun berwarna hitam dan merah, Merlian memilih gaun berwarna merah dengan bagian lengan terbuka, dia tak perlu malu semuanya sudah bersih sekarang. Setelah memakai gaun itu, Daifa pun merias wajah Merlian dengan riasan yang natural. Merlian menolak ketika Daifa ingin memakaikan soft lens, dia tidak terbiasa dan dia takut matanya kecolok. Merlian baru diperbolehkan menatap cermin setelah semuanya selesai. Matanya membelalak, dia tidak menyangka wanita di hadapannya adalah dirinya, dia bahkan menampar pipinya sendiri membuat Daifa dan beberapa asistennya terbelalak kaget. “Sakit?” tanya Daifa seraya meringis. “Lumayan,” ujar Merlian. Daifa tertawa dan menggeleng geli. Bagaimana bisa orang menampar dirinya sendiri dengan sangat kuat seperti ini? “Ayo kita ke luar, pangeran kamu sudah menunggu,” tutur Daifa. “Pangeran kodok?” sungut Merlian. “Lebih tampan dari pangeran kodok sih,” balas Daifa yang mulai satu frekuensi dengan Merlian. Merlian diantar Daifa sampai depan resepsionis namun tak ada sosok pangeran yang dia pikirkan, justru mang Jajang yang membuka lebar mulutnya melihat Merlian yang sangat cantik. “Wow, siapa ini? Melon apa semangka?” oceh Jajang. “Nanas!” balas Merlian. “Sudah dibayar semua Bu,” tutur resepsionis itu pada Daifa. “Baik, selamat bersenang-senang ya nona Merlian,” tutur Daifa. “Pasti,” ujar Merlian. Merlian memasuki mobil mewah Gustave yang sudah menunggu dibawah, dia tak mengerti mengapa Gustave yang menyetir dan Jajang justru ditinggal di salon itu. Hingga Gustave mengatakan bahwa dia perlu berbicara berdua dengan Merlian sebelum bertemu orang tuanya. Tak ada kata-kata memuji dari Gustave ketika melihat penampilan Merlian yang seperti ratu sejagad semalam itu. Gustave fokus memegang kemudi di sore menjelang malam ini. Jalanan macet seperti biasanya karena bertepatan dengan jam pulang kerja. “Papi dan mamiku itu sudah tua, dia sangat ingin aku menikah, dia membebaskan aku membawa siapa pun untuk aku nikahi, namun sampai sekarang dia tak pernah merestui wanita yang aku bawa. Jadi kamu enggak perlu terlalu cari perhatian karena mereka pasti enggak merestui kita dan itu yang aku inginkan. Aku masih menunggu wanita yang aku cintai. Jadi ... kamu berbuatlah seenakmu dan seperti diri kamu biasanya, enggak perlu jaga image, mereka sudah pasti enggak akan suka kamu.” “Bagaimana kalau mereka suka aku?” “Jangan mimpi! Itu enggak akan mungkin,” cebik Gustave membuat rasa percaya diri Merlian yang tinggi itu langsung meluncur ke dasar jurang. “Lagian kamu cari kesempatan banget pakai brazilian waxing segala, memangnya kita mau malam pertama?” tanya Gustave. Merlian membuang pandangan ke arah lain wajahnya memerah. “Aku juga enggak tahu kalau ternyata dicabut! Mana sakit!” Gustave menahan tawanya dengan menutup mulut memakai kepalan punggung tangannya. “Masih sakit?” “Sedikit, untung keperawananku enggak pecah tadi! Rugi bandar!” “Memangnya masih perawan?” “Masih lah enak aja!” “Bagus pertahankan kemarahan kamu sampai depan orang tuaku!” ujar Gustave. Merlian hanya mendengus. Mobil yang dibawa Gustave memasuki pelataran rumah yang sangat mewah. Merlian benar-benar tidak menyangka ada rumah sebagus dan semewah ini di dunia nyata. Dia terus mengaguminya hingga Gustave menyadarkannya dengan menarik rambutnya membuat Merlian bersungut. Merlian mendengar nada notifikasi di ponselnya, dia hanya memakai nada notif itu untuk keluarganya, Sang bibi, paman dan Daffa. Dia membuka tas mahal yang dipinjamkan untuknya itu. Gustave berjalan lebih awal. Pesan dari Daffa yang membuat Merlian terhenyak. “Kak, Dede kritis enggak bisa menunggu operasi dua minggu lagi, sepertinya kita harus jual rumah,” tulis Daffa. “Aku akan berusaha mencari uang, jangan khawatir,” balas Merlian. Dia mensejajarkan langkahnya pada Gustave. Kedua orang tua Gustave telah berada di ruang tamu, berdiri menyambutnya dengan senyuman di wajah. Ibu gustave menatap Merlian dari atas sampai bawah. Merlian tersenyum lebar dan menyalami mereka. “Selamat malam, tante, Om perkenalkan saya Merlian pacar Mas Gustave,” ucap Merlian ramah, Gustave menoleh ke arahnya. Apakah wanita ini sedang beracting menjadi wanita manis? Dia hanya memiringkan kepalanya, mengapa aura Merlian sangat berbeda saat ini? Dia memancarkan aura bangsawan yang tak pernah dilihat sebelumnya. Gestur tubuh dan ekspresi wajahnya menunjukkan bahwa dia merupakan sosok wanita kuat namun tetap memiliki Feminine energy. Sesaat Gustave bergidik. Namun dia segera menepis rasa aneh itu. “Ayo langsung makan malam, om sudah lapar,” ujar Adi, ayah Gustave bersikap ramah pada Merlian, tak seperti pada wanita-wanita yang dibawa oleh Gustave sebelumnya. Apakah yang terjadi sebenarnya? ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD