6. Ujian

1815 Words
Flashback On. Bunyi suara orang menutup termos terdengar, lalu sekarang ganti terdengar suara orang mengaduk minuman. “Jadi kamu tetap mau melanjutkan sekolah di kota, Nduk?” Darmi berjalan sambil membawa satu gelas berisi teh panas untuk suaminya. Usai meletakkan teh tersebut di depan Guntur, Darmi ikut duduk bersama Guntur dan putri mereka satu-satunya bernama Bebby. Di luar terdengar suara gemericik air hujan datang secara satu persatu membawa temannya. “Memangnya kenapa kalau meneruskan sekolah di sini saja, Beb? Cedhak karo Bapak karo Ibu, ora adoh nek ape pethuk. La wong SMA neng kene yo apik-apik. (Dekat sama Bapak sama Ibu, enggak jauh kalau mau ketemu. Orang SMA di sini juga bagus-bagus).” Darmi memandang wajah putri tunggalnya yang tidak bisa dideskripsikan secara jelasnya. Hati Bebby bergemuruh, dia sangat ingin melanjutkan sekolah di kota. Apalagi Bebby ingin bisa masuk ke sekolah favorit, bukan untuk bersombong ria. Tapi Bebby ingin belajar di sekolah yang benar-benar bisa menjadi sarana untuknya mengembangkan apa yang ingin dia cita-citakan. “Aku tidak akan memaksa kalau Bapak sama Ibu melarang aku melanjutkan sekolah di kota. Tapi meminta izin boleh atau tidaknya kan tidak salahnya.” celana yang Bebby kenakan kini menjadi sasaran gadis itu. Kedua tangannya tidak bisa berhenti meremas celana pendeknya. “Ya kalau kamu ingin tetap lanjut bersekolah di sana, selama kamu tidak bandel dan tidak mengecewakan Bapak sama Ibu. Bapak merestui, tapi jangan sampai kamu merusak kepercayaan Bapak.” Kedua mata Bebby melihat keseriusan di sorot mata Guntur. Tidak bisa dipungkiri jika Bebby merasa senang mendengar jika Guntur mengizinkannya kembali bersekolah di kota. Ini bukan untuk hal-hal lain, tapi untuk dirinya sendiri. “Terima kasih ya, Pak. Aku janji tidak akan macam-macam dan tidak akan mengecewakan kepercayaan Bapak.” gadis remaja ini menghambur ke pelukan sang Bapak. Helaan napas terdengar dari Darmi, wanita paruh baya itu terlalu sedih jika harus melepaskan Bebby lagi di kota. Jika dipikir-pikir, jarang ada remaja yang baru lulus sekolah dasar lalu dia berani jauh dari orang tuanya dan hidup sendiri di kostan. “Jadi ujianmu kapan pastinya? ” Guntur mencari topik lain. “Dua minggu lagi Pak, makanya ini menyempatkan pulang untuk meminta doa dari Bapak sama Ibu supaya nanti ujiannya lancar dan aku bisa mendapat nilai terbaik.” “Nek Ibu karo Bapak kui yo wes mesti ndongakke koe, Beb. Ora usah dijaluk yo wes tentu didongakke. Mugo anakku iki lancar sak kabehane. (Kalau Ibu sama Bapak itu ya sudah jelas mendoakan kamu, Beb. Tidak usah diminta ya sudah tentu didoakan. Semoga anakku ini lancar segala urusannya).” tangan renta milik Darmi mengusap puncak kepala Bebby. “Dengarkan itu apa kata Ibumu, sudah menjadi rutinitas bagi kami untuk mendoakanmu.” Sambung Guntur. “Nggeh, matur suwun Pak, Bu. (Iya, terima kasih Pak, Bu).” “Ya sudah sana istirahat, sudah malam ini.” “Iya Pak.” Bebby tahu, pasti kedua orang tuanya akan membicarakan tentang obrolan orang dewasa yang tidak ingin didengar oleh Bebby. Gadis remaja itu berhenti sejenak di belakang lemari yang dijadikan pembatas antara ruang tengah dan dapur, dia menunggu apa yang akan dikatakan Darmi dan Guntur sesudah dirinya tidak ada di sana. “Bapak itu bagaimana sih, anak perempuan satu-satunya malah dibiarkan sekolah di kota. Bagaimana kalau nanti terjerumus ke pergaulan bebas, Ibu khawatir kalau Bebby jadi anak nakal.” Mendengar apa yang dikatakan Darmi, kedua tangan Bebby saling meremas baju tidurnya. Benar sekali dugaannya, kedua orang tuanya membicarakan yang tidak ingin didengar olehnya. “Sudah Bu, kita itu sebagai orang tua harus percaya sama anak kita sendiri. Bapak juga ingin Bebby itu mendapat pendidikan yang lebih baik, dari pada anaknya tidak mau sekolah malah repot nantinya. Mau kalau anaknya itu nasibnya sama seperti kita, kalau Bapak sih tidak mau.” “Loh Bapak iki, tidak pernah dengar apa kata tetangga. Ibu itu setiap belanja sering sekali mendengar ibu-ibu kampung bilang katanya untuk apa sekolah jauh-jauh kalau nanti akhirnya juga balik lagi ke dapur. (Loh Bapak ini).” “Kalau kembali ke dapur itu memang kodratnya perempuan, Bu. Yang namanya perempuan ya harus bisa masak supaya nanti setelah berkeluarga tidak bingung mau memberi makan apa ke suaminya. Tapi yang namanya pendidikan itu juga penting dan perlu. Banyak juga perempuan di luar sana yang sukses di luar rumah tapi tetap mengerjakan pekerjaan dapur.” “Bapak iki dikandani kok angel. (Bapak ini dikasih tahu susah).” “Sing angel kui Ibu, pikirane terlalu kolot. (Yang susah itu Ibu, pikirannya terlalu kolot).” “Weslah, gunuman karo Bapak ki marai tambah mumet. Koplak utekke Ibu malah. (Sudahlah, bicara sama Bapak itu bikin tambah bingung. Pusing kepala Ibu).” Cepat-cepat Bebby masuk kamar tanpa sepengetahuan kedua orang tuanya. Dia mengunci pintu kamarnya dan berdiam di atas ranjang yang sangat jarang dia tiduri. Flashback Off. “Beb... Lo dengar apa enggak sih apa yang gue jelaskan barusan?” Virgo sengaja menyenggol lengan Bebby.  “Apa Go? Lo bilang apa?” pandangan Bebby kini mengarah ke wajah tampan Virgo. “Lo melamun sedari tadi? Jadi lo tidak mendengarkan gue yang lagi menjelaskan semuanya?” Virgo menutup buku dan meletakkan bolpoin ke atasnya secara kasar. “Sorry, gue cuma teringat apa kata Bapak sama Ibu pas kemarin gue pulang.” bantal yang berada di belakang Bebby menjadi sasaran gadis itu, Bebby memeluk bantalnya dan merebahkan kepalanya ke meja belajar. “Memangnya Bapak sama Ibu lo bilang apa sampai membuat lo jadi kepikiran begini? Besok lo ujian loh, jangan berpikir yang aneh-aneh.” Virgo tidak jadi kesal, dia malah ganti bersimpati saat mendengar jawaban Bebby barusan. Kepala Bebby menggeleng pelan. Virgo mengangguk, dia mengerti kalau Bebby tidak mau berbagi cerita padanya. Toh jika urusan yang terlalu pribadi juga Virgo tidak berani terlalu ikut campur lebih jauh. “Gue mau tanya sama lo, bagaimana pandangan lo sama perempuan yang sukses?” “Ya hebat dong.” “Kalau perempuan itu sukses tapi tidak bisa mengatasi masalah dapur?” Usai mendengar pertanyaan Bebby barusan, Virgo jadi mengerti ke mana arah pembicaraan Bebby sekarang. Ini pasti tentang hal-hal yang sering dibahas atau diributkan oleh masyarakat. “Setiap perempuan itu memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing, Beb. Banyak perempuan yang sukses di luar rumah dan tidak paham tentang dapur sama sekali tapi mereka tetap banyak yang menyukai. Jadi gue harap lo jangan minder, sebuah cita-cita harus diwujudkan selama itu bisa diraih.” tidak ada banyak yang bisa Virgo katakan, dia hanya mampu sebegini adanya. Tidak ada sahutan dari bibir Bebby, dia hanya diam sambil menatap wajah tampan teman dekatnya itu. Pantas saja banyak perempuan yang mau dijadikan pacar, Virgo memang tampan. Kecuali Bebby mungkin, dia tidak memiliki perasaan lebih pada lelaki itu selain rasa sayang sebagai teman. “Kenapa lo melihat gue seperti itu? Suka? Mau jadi pacar gue?” Virgo menaik turunkan sebelah alisnya bertulang kali. “Berharap saja jadi orang.” “Cis, tangan lo bau martabak.” Virgo menyingkirkan tangan Bebby yang sedang mengusap wajahnya secara kasar. “Sembarangan saja kalau bicara, sudah ah sana pulang. Gue mau tidur.” Bebby bangun, dia membuang bantalnya ke kasur dan berdiri sambil menarik tangan Virgo. “Begini ya lo, giliran tidak butuh saja mengusir.” “Sudah sana cepat keluar.” Setelah berhasil mengeluarkan Virgo dari kamar kostnya, Bebby langsung menutup pintunya cepat-cepat. “Jangan tidur malam-malam, besok ujian.” seru Virgo saat Bebby sudah menutup pintu kamarnya. *** "Yang semangat ujiannya, biar bisa menyusul gue sekolah di Sky." "Pasti, gue bakal buktikan kalo gue mampu." Bebby hormat kepada Virgo sambil berjalan. Rencananya gadis itu sesudah lulus sekolah SMP Agunsa akan melanjutkan sekolah di Sky. Masih sekolah favorite di kota tempat mereka. Dan lagi-lagi Bebby masih akan kost di kost-kostan milik orang tua Virgo. Karena sekolah itu ada di pusat kota seperti sekolahan SMP-nya sekarang. Lagi pula Bebby malas jika harus mencari tempat kost baru dan pindah sambil membawa barang-barang yang lumayan banyak. "Ya sudah, gue berangkat sekolah dulu." Virgo pergi naik angkutan umum meninggalkan Bebby di sisi jalan menuju SMP-nya dulu. Untuk sampai ke SMA Sky masih harus naik angkot selama sepuluh menit karena jalannya satu arah. Bebby melambaikan tangannya ketika Virgo memasuki angkot yang sering dinaiki oleh lelaki jangkung berkulit putih itu. Setelah angkot yang Virgo naiki benar-benar pergi, baru Bebby melanjutkan jalannya dan memasuki gerbang sekolah. Sudah satu tahun dirinya sendirian tanpa Virgo di SMP karena memang lelaki itu satu tahun lebih tua darinya. "Hai Beb, galau saja lo. Kenapa sih?" Helen, gadis berkacamata yang satu kelas dan satu bangku dengan Bebby datang dari belakang. "Hai Len, gue kira lo sudah di dalam." Bebby menampakkan senyum cerianya, dia tidak mau terlihat murung di depan Helen. “Kenapa? Memangnya gue kenapa?” tanya Bebby balik. "Tidak usah bohong, lo kenapa? Kok tadi murung banget begitu?" Helen tahu kalau Bebby sedang berbohong sekarang. Mereka berjalan beriringan melewati beberapa teman dari kelas lain. Biasanya Bebby akan mengajak Helen ke kantin lalu menemaninya sarapan. Tapi karena pagi ini Sofya mengantar sarapan ke kamar kostnya, jadilah Bebby tidak mengajak Helen ke sana. Biasanya memang Sofya juga mengajak Bebby sarapan bersama, tapi Bebby selalu tidak enak hati. "Gue takut nilai gue nanti tidak cukup buat masuk ke Sky." Bebby menundukkan kepalanya sepanjang perjalanan. Kelas tempat ujian mereka berada di atas. Bukan! Sekolah mereka tidak lantai dua, cuma kondisi tanahnya menanjak. Jadi menyesuaikan tanah yang ada. Paling bawah ada parkiran, gerbang utama, gerbang kedua, lapangan upacara, lapangan basket, ruang guru, ruang kepala sekolah, koperasi, sanggar seni, ruang lab, ruang BP, lap komputer 1 dan 2, masjid, kantin sebanyak tiga tempat, kelas IX A - IX E, toilet 1 dan 2. Kemudian naik ke atas ada perpustakaan 2, ruang serbaguna, kelas VIII A - VII E, dan yang paling atas ada ruang kelas VII A - VII E, gudang serta ada dua kantin. Dan di paling ujung dekat gudang ada jalan tikus yang sering digunakan kalau ada siswa-siswi terlambat. Bebby sangat hafal seluk beluk sekolah tempatnya menimba ilmu. Bebby dan Helen berdiri di depan kelas VII B bersama teman-teman yang lain. Banyak yang memegang buku kisi-kisi ujian, ada yang mengobrol, menggombal, makan, menghafal dan masih banyak lagi macamnya. "Jangan berpikir yang negatif, berdoa dan berusaha. Bukannya Virgo selalu kasih motivasi ya?" "Iya sih, Virgo selalu kasih motivasi. Bahkan dia yang selalu menemani gue belajar selama ini. Dia juga sudah mulai mengajari gue soal-soal tes masuk Sky." sahutnya tanpa semangat. "Ya sudah, apa yang lo khawatirkan? Santai saja, gue yakin kalau lo pasti mampu kok. Semangat, Beb." "Lo tidak mau ikut gue sekolah di sana juga, Len?" Bebby juga sedih kalau nantinya berbeda sekolah dengan Helen. "Lihat nanti ya, kalau nilai gue memadai buat masuk sana gue ikut tes sana." cengir Helen. Padahal Bebby yakin kalau Helen pasti nilainya akan bagus. Secara dia juga siswi yang cerdas. Alasan Helen menjawab seperti itu pasti karena Rama. Mungkin Helen ingin menghindari Rama, supaya perasaannya hilang. “Lo juga harus semangat dong, gue yakin kalau lo bisa.” “Terima kasih ya.” kekeh Helen pelan. *** Next...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD