Bab 6

2048 Words
Kepulan asap tipis terlihat dari botol berwarna biru safir. Botol dengan bentuk seperti angsa itu bergerak pelan, ke kanan ke kiri, kemudian seperti berguncang kecil. Beberapa detik setelahnya botol itu melayang di udara beberapa sentimeter tingginya. Kejadian itu terjadi selama lima detik, botol kembali ke tempat semula. Tak ada asap ataupun gerakan yang mencurigakan lagi. Khanza menggeliat, merenggangkan otot-ototnya yang terasa kaku setelah duduk selama lebih dari setengah jam. Dia baru saja menyelesaikan pekerjaan rumahnya. Khanza menutup bukunya, menyimpannya ke dalam.tas. Besok tugas itu harus diserahkan kepada guru mata pelajaran yang bersangkutan. Sebentar lagi makan malam, jika tak segera keluar kamar, Mama pasti akan berteriak memintanya turun. Sekali lagi Khanza merenggangkan otot-ototnya, lantas berdiri dari kursi meja belajarnya. Sebelum menyeret kakinya keluar kamar, Khanza menyempatkan diri terlebih dahulu untuk melihat koleksi-koleksi baru barang antiknya. Senyumnya mengembang sempurna melihat botol birunya berkilau. Khanza mengusapnya, kemudian keluar kamar untuk makan malam bersama Mama. Tadi sore Papa sudah memberi kabar jika tidak makan malam di rumah. Papa ada pertemuan penting bersama rekan kerjanya yang datang dari luar kota, mereka makan malam bersama. Sebab mereka hanya berdua saja, Mama tak banyak memasak. Hanya dua porsi nasi goreng istimewa yang menjadi menu makan malam mereka kali ini. Khanza makan dengan lahap, apa pun yang dimasak Mama selalu cocok dengan lidahnya. Mama memang seorang koki yang handal bagi keluarga kecil mereka. Selesai makan malam dan membantu Mama merapikan dapur, Khanza langsung naik ke kamarnya. Bukannya dia sidah mengantuk, masih terllau sore untuk tidur, dia hanya ingin kembali melihat koleksi benda antiknya. Sudah menjadi kebiasaan Khanza untuk mengamati koleksinya sebelum tidur. Dia akan merasa sangat bangga bisa mengumpulkan seluruh barang-barang itu. Khanza tengah berdiri di depan lemari yang berisi botol-botol antik koleksinya, menatap penuh kekaguman pada botol berwarna biru safir yang ditemukannya di pantai Ancol. Botol itu tampak sangat indah, warna birunya berkilau menyilaukan, dia sangat menyukainya. Bukan hanya karena warna biru adalah kesukaannya, tapi memang botol itu sangat cantik. Tangan Khanza terangkat meraih botol yang diletakkan di rak ketiga. Rak itu setinggi bahunya sehingga mudah baginya untuk menatap. Sengaja Khanza meletakkan botol cantik itu di situ, agar dia tidak kesulitan mengambil dan membersihkannya. Ibu jarinya mengusap leher botol yang berbentuk lebih kecil dari bagian bawah. Bentuknya benar-benar seperti angsa dengan leher yang panjang dan ramping. Sudah menjadi kebiasaan Khanza, sebelum beranjak ke tempat tidur terlebih dahulu dia akan melihat-lihat koleksi botol antik di dalam rak yang menempel di bagian kanan kamarnya. Ibu jarinya masih mengusap leher botol, memeluk dan menciumnya beberapa kali. Saat ini, botol berwarna biru safir ini adalah favoritnya. Sekali lagi Khanza mendaratkan bibirnya pada bagian luar leher botol, sebelum meletakkan botol kembali ke tempatnya semula. Namun sebelum bagian bawah botol menyentuh rak, Khanza menghentikan gerakan. Asap tipis terlihat liar dari dinding bagian luar botol, beberapa detik kemudian berubah menjadi agak tebal. Khanza terkejut. Apalagi tangannya yang memegang botol terasa disengat listrik tak kasat mata. Asap keluar semakin tebal membuat Khanza yakin jika dia tidak sedang bermimpi. Dia menjerit tertahan saat melihat tangannya sudah diselimuti asap. Tak sadar Khanza melemparkan botol ke sembarang arah kepalanya menggeleng. Apalagi saat dilihatnya botol itu mengambang. Khanza ketakutan, dia segera berlari ke atas tempat tidur dan menutup wajahnya dengan kedua tangan. Napas Khanza memburu, jantungnya berdetak dua kali lipat lebih cepat, tubuhnya gemetar dan berkeringat. Dengan masih menutupi wajahnya, Khanza menarik kedua lutut sehingga menekuk, dia menyembunyikan wajah di atas kedua lututnya yang dipeluk. Dia berharap ini tidak nyata, dia hanya bermimpi karena tidak mungkin sebuah botol bisa mengeluarkan asap dan melayang. Meskipun botol itu adalah botol antik, tetap saja tidak mungkin seperti itu. Tidak ada botol yang bisa terbang kecuali milik dan diisi bangsa jin yang berdiam di dalam botol itu, dan itu hanya ada dalam cerita. Takhayul. Khanza menggigit bibir menahan isak. Rasa takutnya yang menjadi-jadi membuatnya tak dapat lagi menahan tangis. Namun, segera saja tangisnya reda, dia bahkan mengangkat kepala karena merasakan sebuah usapan hangat di puncak kepalanya. Mata bulat Khanza melebar, tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Seorang pria berpakaian aneh berdiri menjulang di sisinya. Pria itu tersenyum manis padanya yang membuat wajah bersih itu terlihat semakin tampan. Eh, tampan? Iya, Khanza mengakuinya di dalam hati, jika pria yang sudah tak lagi mengusap puncak kepalanya ini adalah pria yang tampan. Alis tebal yang tampak serasi dengan bola mata berwarna ocean blue. Bibirnya merah pucat alami, hidung mancung seperti perosotan di taman bermain, rahang tegas. Ditambah dengan kulitnya yang putih dan rambut kecokelatan, benar-benar merupakan seorang pria sempurna jika saja ia tidak mengenakan pakaian yang aneh. Pria itu mengenakan pakaian seperti pria timur tengah, lengkap dengan sorban dan sepatu Aladin. Khanza mengerjap beberapa kali. Dia juga mencubit pipi dan lengannya untuk memastikan jika ini bukan mimpi. Ternyata sakit, berarti dia tidak sedang berada di alam mimpi, ini nyata. Lalu, jika ini semua nyata siapa pria yang kini tengah menatapnya sambil memamerkan senyumnya yang menawan. "Si ... siapa kamu?" tanya Khanza tergagap. Senyum manis pria itu semakin membuatnya ketakutan, alih-alih terpesona. Apalagi pria itu muncul secara tiba-tiba, di dalam kamar tidurnya. Satu hal lagi yang membuatnya ketakutan, botol biru safir miliknya berada di tangan pria itu. Dia memeganginya dengan tangan kiri, tangan kanan tadi digunakan untuk mengusap kepalanya. Khanza merinding, mengingat tangan itu sudah menyentuhnya. Pria asing itu membuka mulutnya, dia berbicara, tapi Khanza tudak dapat mendengar apa yang dikatakannya karena kedua tangannya masih menutupi telinga. Khanza segera menjauhkan tangan dari telinganya begitu dia menyadari. Suara maskulin khas seorang laki-laki dewasa menyapa gendang telinganya. Namun, yang menjadi masalah adalah pria itu yang berbicara dalam bahasa yang tidak dimengerti olehnya. Khanza menggelengkan kepala tanpa mengerti kenapa dia melakukannya. Dia hanya menuruti tubuhnya yang bergerak sendiri. Saking takutnya dia bahkan tidak bisa mengendalikan dirinya sendiri. Sepertinya pria itu mengerti. Ia berdehem beberapa kali dengan tangan menyentuh jakunnya. Sepasang alisnya yang tebal berkerut selama beberapa saat dia berdehem. Satu detik kemudian, pria itu tersenyum lagi, dan kembali membuka mulutnya. "Halo, namaku Sameer Al Farizi. Senang berkenalan denganmu." Pria itu memperkenalkan namanya. "Terima kasih karena kau sudah melepaskan kutukanku." Khanza tersedak air liurnya sendiri. Apa katanya, kutukan? Rasanya Khanza ingin tertawa, tapi dia tidak ingin dicap sebagai seorang gadis yang memiliki gangguan kejiwaan. Khanza kembali menggelengkan kepala, menolak semua yang dikatakan pria yang mengaku bernama Sameer itu. Sebuah nama yang aneh, sangat tidak familiar di telinganya. "Kenapa?" tanya Sameer. Dari nada suaranya kentara sekali ia khawatir. "Kau baik-baik saja? Apa kau terluka?" Khanza masih menggeleng. "Maafkan aku jika kau merasakan seperti tersengat listrik seperti tadi, itu adalah reaksi alami dari tempat tinggalku sebagai pertahanan diri." Ia meringis Sungguh, ia merasa sangat tidak enak karena sudah menyakiti penolongnya. Sejak awal bertemu, saat Khanza menemukan botolnya, ia yakin jika gadis manusia yang cantik ini yang akan mengeluarkannya dari penjara botol ini dan membebaskannya dari kutukan. Ternyata ia benar, instingnya tidak pernah salah. "Apa kamu bilang?" Khanza balas bertanya karena sungguh, perkataan Sameer sangat tidak masuk di akal baginya, sulit diterima nalar. Sekali lagi, dia tak ingin dianggap gila, yang paling penting, dia tak ingin memercayai takhayul yang merupakan sebuah dongeng. "Kamu mau bilang kalo kamu tinggal di botol itu?" tanyanya meyakinkan diri "Ngomong-ngomong, bisa balikin botol aku, nggak? Aku nemunya susah, lho, nggak ada yang jual di mana pun." Khanza meminta dengan ketus. Dia menekan rasa takutnya dengan bersikap angkuh. Dagunya terangkat. "Botol ini memang rumahku." Sameer mengangguk meyakinkan. Khanza sangat keras kepala, tak mudah percaya pada perkataan orang lain Ia sudah mengetahuinya. Tinggal di dekat Khanza selama beberapa hari terakhir ini membuatnya sedikit mengenal gadis itu. "Maksudku, penjara. Aku tidak bisa keluar kecuali ada seseorang yang mengeluarkanku." Khanza memicing menatap Sameer yang masih terus berdiri dengan gagah. Dia menarik napas panjang, menyimpannya beberapa detik di paru-parunya sebelum mengembuskannya dengan cukup keras melewati rongga hidung. Baiklah, Khanza mencoba mencerna semua yang dikatakan Sameer. Jika pria itu mengatakan botol antik miliknya adalah tempat tinggalnya, bisa disimpulkan bahwa Sameer bukanlah manusia. Meskipun tidak memercayainya, tapi Khanza mengangguk. Dia tak ingin masalah ini jadi semakin panjang. "Seorang penyihir mengutukku karena aku menolak cintanya. Dia mengurungku di dalam botol biru safir itu, dan memantrainya dengan kutukan agar aku tidak bisa bebas dan terkurung selamanya di dalam botol." "Tapi, sekarang kamu keluar!" potong Khanza tak sabar. Cerita Sameer sangat klise baginya, sudah terlalu sering dia mendengarnya sampai-sampai merasa bosan. Seperti cerita dalam sinetron saja. "Itu karena kau yang sudah mengeluarkan aku," sahut Sameer sambil memamerkan senyum mautnya. "Kasih sayang yang kau tunjukkan padaku melemahkan mantra penyihir itu sehingga aku bisa keluar." "Tunggu dulu!" Khanza kembali memotong perkataan Sameer.Dia mengangkat tangan, memintanya berhenti berbicara. "Apa kamu bilang tadi, kasih sayang? Astaga!" Dia menggelengkan kepalanya. Sepertinya pria ini salah paham. Sudah berpura-pura menjadi jin, lalu mengartikan apa yang dilakukannya pada botol sebagai bentuk kasih sayang terhadapnya. Padahal dia selalu memperlakukan semua barang antik koleksinya seperti itu, bagi yang masih baru. Sameer mengangguk cepat. Ia melepaskan botol yang sejak tadi dipegangnya, ke arah rak penyimpanannya Ajaib, botol itu melayang dan mendarat dengan lembut di tempatnya semula. Khanza melongo melihatnya Namun, sedetik kemudian dia mendecih, merasa bodoh karena sudah terpesona pada trik murahan yang dipertontonkan Sameer padanya. Khanza meyakini jika Sameer adalah seorang pesulap yang tersesat ke kamarnya. "Kasih sayang yang kau berikan padaku menghapuskan mantra penyihir jahat itu. Sekarang aku sudah bebas!" Sameer berseru kesenangan, seperti seorang anak kecil yang diberikan permen atau es krim oleh orang tuanya. Khanza memijit pelipisnya yang tiba-tiba berdenyut. Tak hanya kesalahpahaman Sameer yang membuatnya pusing, terapi juga cara bicaranya yang terlalu formal. Tak bisakah Sameer berbicara seperti orang-orang lainnya? Cara bicara Sameer mengingatkannya pada guru-gurunya di sekolah. "Kamu mau bilang sama aku kalo kamu itu jin?" tanya Khanza langsung pada pokok permasalahan. "Kamu jangan bercanda, ya, sebab jin dari timur tengah itu nggak ada." Kegembiraan Sameer terhenti. Ia menatap Khanza dengan mata mengerjapkan mata beberapa kali. "Kau tidak percaya padaku?" Khanza menggeleng. "Please, dengerin aku!" pintanya dengan suara sedikit lebih keras dari sebelumnya. "Kalo kamu mau aku percaya, ngomong yang realistis aja. Zaman sekarang udah maju, nggak ada yang namanya jin atau apalah itu!" Dia mengibaskan tangan kuat, mulutnya meruncing. Mata biru Sameer mengerjap beberapa kali. Ternyata semua perempuan sama saja, baik di dunia ini maupun di dunianya semua perempuan itu sangat mengerikan jika sedang marah. Khanza yang selalu terlihat manis setiap harinya juga bisa menyeramkan seperti ini. Wajah cantiknya memerah, d**a naik turun menahan amarah, keringat membasahi pelipis, dan tersengal. Memang membuatnya terlihat semakin menggemaskan, tapi juga menakutkan secara bersamaan. "Apa kau marah padaku?" tanya Sameer hati-hati. Ia menatap Khanza dengan tatapan bertanya yang polos, sepolos tatapan seorang bocah berusia empat tahun. Khanza mendengkus, kepalanya mengangguk gusar. "Kalo kamu mau bilang kamu itu jin, jelas aku bakalan marah karena nggak ada jin di zaman kayak sekarang!" Bibir yang tadi maju beberapa senti sekarang mengerucut. "Kenapa?" "Kenapa apa?" Khanza balas bertanya. Sepasang alisnya bertaut, pertanyaan Sameer terdengar ambigu di telinganya. "Kenapa kau marah?" Suara Sameer terdengar bergetar. Khanza memutar bola mata jengah. Dia yakin Sameer dari keluarga berada, dilihat dari pakaiannya yang meskipun tidak biasa, tapi tergolong mewah. Hanya orang-orang kaya yang bisa menyewa kostum semewah ini. Juga terlihat dari penampilannya yang rapi dan bersih..Hanya ada sedikit jambang menutupi rahang dan dagunya. Oleh sebab itu, Khanza yakin jika Sameer juga pasti berpendidikan, jadi seharusnya dia tak perlu menanyakan pertanyaan bodohnya itu. "Kok, masih nanya, sih?" Khanza memukul guling karena gemas. "Orang kalo dibohongi, ya, jelas marah lah!" sungutnya. "Aku tidak berbohong!" Sameer menggeleng. "Stop!" Khanza kembali mengangkat tangan kanan lebih tinggi sedikit dari kepalanya. Sejak tadi dia tak dak mengubah posisinya, tetap duduk di atas tempat tidur dengan kaki bersila, sebuah guling berada di pangkuannya, guling yang tadi dipukul saking gemasnya dengan sikap Sameer yang seperti bocah. "Berhenti, jangan ngomong lagi!" pintanya serius. "Aku nggak percaya kalo ada jin, apalagi di zaman sekarang ini. Mana jinnya ganteng lagi." Kalimat terakhir diucapkannya dengan lirih, nyaris tanpa suara. "Benarkah aku ganteng?" tanya Sameer. Mata birunya berbinar gembira. "Hah? Apa?" Khanza mendelik. Dia tidak menyangka jika Sameer akan mendengar apa yang dikatakannya. Padahal dia yakin tadi tak ada yang akan mendengar perkataannya. Lalu, kenapa Sameer mendengarnya? Bagaimana bisa? "Kau mengatakan aku ganteng...." "Kapan?" tanya Khanza memotong perkataan Sameer. "Kamu salah denger kali!" katanya judes. "Lagi ngomong sama siapa, Kha?" Pertanyaan dari suara yang sangat dikenalnya membuat Khanza menoleh ke arah pintu. Alisnya berkerut mendengar pertanyaan itu. Apa maksud Mama? Apakah Mama tidak melihat Sameer?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD