Bab 5

2063 Words
Hari Senin datang lagi. Meskipun kehadirannya tidak dikehendaki oleh sebagian besar orang, tapi hari Senin tetap setia mengunjungi di setiap awal pekan. Khanza bergerak pelan di dalam selimut. Sangat malas rasanya untuk bangun, tidurnya masih belum puas. Seperti yang dikatakan Mama, selana apa pun dia tidur, tidak akan pernah puas. Mama benar, buktinya sampai sekarang, alarmnya berbunyi yang menandakan sudah waktunya dia bagun untuk memulai aktivitas, matanya nasih saja terpejam. Tak hanya belum puas dengan tidur, dia juga masih belum puas dengan liburannya yang hanya satu hari di hari Minggu. Kemarin, dia dan Mira kembali menyusuri pasar loak yang berlokasi di dekat stasiun kereta api. Ada sebuah toko yang menarik perhatiannya, dan perlu dikunjungi. Toko itu menjual barang-barang antik yang termasuk langka. Dia ingin menambah koleksinya, tapi sayangnya tidak menemukan sesuatu yang bagus yang bisa dijadikan penghuni lemarinya. Dia tidak mendapatkan apa-apa selain matanya yang menjadi hijau karena melihat barang-barang cantik meskipun tak menarik minatnya untuk membeli. Dia mencari sesuatu yang berwarna biru seperti botol yang ditemukannya di pantai waktu itu. Apa pun, asalkan berwarna biru. Namun, dia tidak menemukannya. Ada warna biru, sebuah piring kecil yang terbuat dari keramik, tapi tak mengundang selera. Warna birunya berbeda, terlihat kusam, dan sangat tidak cocok bila disandingkan dengan botol cantiknya. "Khanza Ayudia!" Tak ada yang lebih dahsyat dari teriakan Mama di setiap paginya. Mama yang lembut dan penyabar akan berubah seperti seekor singa betina jika dia tidak bangun tepat pada waktunya, di hari kerja. Mata yang tadi masih terpejam rapat seperti direkatkan dengan lem super, seketika terbuka. Bahkan Khanza langsung duduk, dan menurunkan kaki dengan selimut yang masih membungkus. Beberapa detik kemudian, dia sudah berada di kamar mandi, membiarkan selimut tercecer di lantai kamar tidur yang dilapisi karpet tebal. Tak sampai lima menit, Khanza sudah berada di depan lemari pakaiannya untuk mencari seragam. Sebelum turun ke bawah, Khanza menyempatkan diri untuk melihat lemari koleksinya. Tangannya terangkat, mengusap botol biru. Benda itu adalah favoritnya di antara sekian banyak botol dan benda antik lain miliknya. Mungkin karena baru bergabung sehingga dia sangat menyukai botol ini, atau mungkin karena warna dan bentuknya yang unik. Yang pasti satu hal, dia sudah jatuh cinta pada botol itu. Khanza memberikan sebuah ciuman pada bagian bawah botol yang lebih besar dari bagian leher yang memanjang. Meskipun tidak terlalu panjang seperti leher jerapah, dia selalu membayangkan botol ini seekor angsa karena bentuknya memang nyaris seperti itu. Sangat cantik. Khanza mengusapnya sekali sebelum meletakkan botol di tempatnya semula. Mengabaikan asap tipis yang mulai keluar dari dinding botol bagian luar. Dia terburu-buru sehingga tidak melihatnya. Juga getaran ringan yang terjadi pada botol birunya selama beberapa saat. Kemudian kembali seperti sediakala, hanya posisinya saja yang sedikit berubah menjadi lebih ke kiri. Bergegas Khanza menuruni tangga. Dengan sepasang kakinya yang tidak terlalu panjang, dia melompati dua anak tangga sekaligus. Percayalah, lebih baik terjatuh dari tangga daripada harus kena omelan Mama yang panjangnya melebihi jalan kenangan, jika dia terlambat. Khanza tiba tepat waktu untuk melihat senyum manis di bibir Mama. Ekor matanya melirik Papa yang berbarengan tiba dengannya di dapur. Mereka tidak memiliki ruang makan khusus, ruang makan mereka digabung dengan dapur agar lebih mudah menjangkaunya. Untuk perayaan atau ada tamu yang mengharuskan mereka untuk makan di meja dan ruangan yang lebih besar, Mama biasanya akan menyulap ruang tengah mereka menjadi ruang makan dadakan. "Hampir aja telat!" Khanza mengikik geli mendengar perkataan Papa. Seperti dirinya, Papa juga akan diomeli Mama jika terlambat bangun. Untuk kedisiplinan, Mama nomor satu, sama seperti masakannya yang selalu juara. Sepiring kentang goreng dan beberapa potong sosis sudah tersedia di depan Khanza, sarapan favoritnya. Bukan dia sok kebarat-baratan sehingga hanya memakan dua komponen itu saja sebagai pengganjal perut di pagi hari, tapi karena memang dia tidak bisa memakan yang lebih berat seperti nasi dalam porsi banyak. Sepiring nasi goreng bisa membuatnya sakit perut. Itu semua disebabkan pola makannya yang dulu tidak seimbang. Sarapan favoritnya berasal dari resep dokter. Tak lupa segelas s**u coklat melengkapi sarapannya pagi ini. Memang terdengar sedikit aneh, tapi Khanza tidak bisa menghentikan kebiasaannya meminum s**u dalam jumlah besar. Seperti halnya kentang dan sosis goreng, s**u juga merupakan kesukaannya. selain air putih yang tentu menyehatkan. "Makannya pelan-pelan, Ka, nggak bakalan telat juga," celetuk Claudya melihat cara makan putrinya yang terburu-buru. Dia tidak ingin Khanza tersedak. "Ini udah pelan, Ma," sahut Khanza dengan mulutnya yang penuh. Claudya menggeleng pelan. "Pelan, sih, makannya banyak-banyak gitu. Satu lagi, bukannya Mama selalu bilang kalo nggak boleh ngomong pas mulutnya penuh. ya?" Oops! Khanza menyadari kesalahannya. Dia lupa, padahal Mama seringkali mengingatkannya. Beruntung ini pagi hari Senin, coba saja jika hari Minggu, suara merdu Mama akan mengalun sepanjang hari, kembali mengingatkannya apa saja yang boleh dan apa yang tidak. Sungguh, dia sudah hafal di luar kepala, tidak perlu diingatkan lagi. Jika lupa, itu adalah hal yang wajar, apalagi di awal pekan seperti sekarang, di mana dia masih terjebak dalam euphoria akhir pekan. Kepala yang rambutnya dikuncir ekor kuda itu mengangguk. Khanza tak lagi berani menyahut, dia lebih memilih untuk segera menghabiskan sarapan agar bisa cepat pergi ke sekolah. "Hari ini mau bareng Papa, nggak, Ka?" Khanza menggeleng. menolak tawaran Papa. Dia tetap memilih diantarkan Pak Banu daripada Papa. Dia masih beranggapan nyawanya lebih terjaga keselamatannya jika diantar sopir keluarganya itu. "Beneran nggak mau?" Sekali lagi Khanza mengangguk. Dia tetap pada pilihannya, lebih menyayangi nyawanya. "Padahal Papa mau nunjukin toko barang antik yang baru buka, lho, Ia." Telinga Khanza sontak memanjang mendengar toko barang antik baru. Dia menghentikan kunyahannya, dan menelan dengan cepat, ingin lebih fokus pada apa yang dikatakan Papa. "Kemaren Papa jalan ke sana, terus liat ada botol bagus banget." Sama seperti dirinya, papa juga mengoleksi botol-botol antik. Bahkan hobinya mengoleksi barang antik tertular dari Papa. Ada sebuah botol yang sangat menarik perhatiannya di dalam lemari koleksi barang antik Papa, dia sangat ingin memilikinya. Sayangnya, Papa tidak mau memberikan padanya. Kata Papa, botol itu berharga karena merupakan botol koleksi pertamanya. Dia mencibir waktu itu, dia tak menyangka jika Papa yang gagah dan tampan bisa selebay itu. "Papa udah pesan sama pemilik toko jangan dijual dulu karena anak Papa belum liat." "Papa mau beliin Khanza botol itu?" tanya Khanza semangat. Papa menggeleng. "Nggak lah!" sahutnya santai, mengabaikan wajah cantik putrinya yang cemberut. "Papa beli buat Papa, buat nambahin kolek si botol antik Papa." Khanza memutar bola mata jengah. Jika tak ingin memberikan padanya, lalu untuk apa Papa memberi tahunya. Sangat menyebalkan! "Koleksi kamu, 'kan, udah banyak, Ka. Botol yang kemaren ketemu di pantai gimana? Itu botolnya cantik banget." Khanza kembali cemberut mendengar perkataan Mama yang seolah membela Papa. Mama memang sellau mendukung mereka, tak pernah protes ketika suami dan putrinya pulang ke rumah membawa botol yang baginya tidak berharga. Mama hanya menggelengkan kepala melihat struk pembayaran dari sebuah toko dengan nominal yang tidak bisa dibilang kecil, hanya untuk sebuah botol. "Emang cantik banget, Ma, tapi, 'kan, Khanza mau yang lain juga buat nambah koleksi." Khanza mempertahankan raut wajahnya yang menekuk. "Nggak boleh serakah, Sayang!" tegur Mama lembut. "Kamu ntar cari aja di toko yang dimaksud Papa, kali aja ada barang lain yang kamu suka." "Khanza boleh beli, Ma?" tanya Khanza cepat. Semangatnya kembali, izin dari Mama adalah segalanya. Mama mengangguk. "Boleh, asal selalu ingat pesan Mama. Kamu itu masih pelajar, jadi belajar yang utama." "Siap, Mama Sayang!" Khanza bangkit mencium pipi Mama kanan kiri sebelum mencium punggung tangannya. "Khanza berangkat sekolah dulu, ya!" katanya manis. "Sama Papa nggak salim, Ka?" tanya Papa karena Khanza hanya melewatinya. "Nggak ah, males!" Khanza membuang muka sambil terus berjalan. "Papa jahat, nggak mau ngalah sama anak!" Tawa Arista pecah seketika. Sejak tadi ia memang hanya bermaksud menggoda putri tunggalnya saja. Reaksi Khanza yang tidak dibuat-buat sellau terlihat menggemaskan di matanya Meskipun putrinya sudah remaja, terkadang kelakuannya tetap saja seperti bocah berusia lima tahun. Khanza akan merajuk bila keinginannya tidak dipenuhi. "Lah, 'kan, tadi Mama yang bilang kalo Khanza harus ngalah sama Papa, kok, sekarang jadi Papa yang disalahin?" Khanza yang sudah berada di ruang tengah mendelik. Dia menoleh ke arah Papa, menjulurkan lidahnya mengejek, kemudian berlari keluar. Jika tidak berangkat sekarang, dia akan terlambat. Inilah yang menjadi salah satu alasannya tidak ingin diantarkan Papa. Kebiasaan Papa selalu pergi dan mengemudikan mobil dengan santai. Mungkin Papa pikir sekolahnya sama seperti perusahaan milik Papa yang bisa datang terlambat. Dia tak ingin dihukum lagi hanya karena Papa. *** "Good morning sahabat gue yang paling cantik!" Sapaan yang sedikit norak menyambut kedatangan Khanza di kelasnya. Gadis itu memutar bola mata jengah, dia juga mengangkat sebelah alisnya. Mira tampak gembira pagi ini, sepertinya dia mendapatkan sesuatu yang sangat istimewa sehingga senyum manisnya dijual murah hari ini alias selalu tersenyum. "Dih, norak!" Khanza meletakkan tasnya di atas meja di sebelah Mira yang menatapnya dengan mata berkedip-kedip menggoda. Khanza menggeliat, horor dan geli menjadi satu melihat tingkah absurd Mira pagi ini. "Kamu kerasukan apa, ya, kok, gini amat?" Sekali lagi Khanza menggeliat. "Astaga, Khanza, lo jadi bestie, kok nggak pengertian gitu sama gue!" Wajah cantik Mira Andini mengerut, bibir mungilnya yang pagi ini dipoles dengan liptin berwarna cherry. "Tanyain, kek, kenapa gue keliatan happy banget pagi-pagi gini." Dia merajuk, pipinya yang tirus menggembung. Khanza berdecak. "Bukannya tadi aku udah nanya, ya? Masa harus nanya lagi, 'kan, mubazir tuh!" Mira membuang muka, wajahnya masih menekuk, kesal dengan sikap Khanza yang seolah tak tertarik dengan perubahan sikapnya yang sedikit lebih murah senyum. Memang biasanya dia selaku tersenyum, tapi tidak pernah seperti sekarang ini. Rasanya dia tak ingin berhenti untuk memamerkan senyumnya pada semua orang. "Nggak asyik banget, sih, lo, Ka, jadi orang!" dengusnya masih dengan tatapan ke arah lain Dia tak ingin melihat senyum Khanza yang seolah mengejeknya Khanza mengikik geli melihat tingkah sahabatnya yang menurutnya sangat aneh dan lebay. Mira selalu tersenyum, meski tanpa alasan. Bukankah itu sesuatu yang menakutkan? "Sorry, ya, Mir, tapi kamu bikin aku takut." Khanza tertawa. Dia sudah tidak dapat menahannya lagi. Perutnya sakit karena harus menahan tawa Memang terlihat sangat jahat memang, tapi mau bagaimana lagi, Mira memang sangat lucu pagi ini membuat suasana hatinya yang tadinya buruk menjadi lebih baik. "Astaga, Khanza! Lo pikir gue setan sampe lo takut sama gue?" tanya Mira memekik. Beberapa siswa yang juga berada di kelas menoleh ke arah mereka, juga siswa-siswa yang lewat di depan kelas Mira memang sangat pandai menarik perhatian. Khanza mengerang dalam hati. "Gue manusia, Ka, sahabat lo!" Mira berdiri di depan Khanza, berkacak pinggang. "Gue cantik gini masa lo takut sama gue Mata lo katarak, ya?" tanyanya pedas. Namun, Khanza tidak takut. Dia justru kembali tertawa karena Mira terlihat sangat lucu di matanya, tidak menyeramkan seperti hantu Dia takut bulan karena ngeri, melainkan karena senyum tak biasa yang selalu terkembang di bibir Mira "Aku nggak bilang kamu setan, ya, Mir!" Khanza membela diri setelah tawanya reda. "Lagian, ya kalo ada setan yang cantiknya kayak kamu nggak bakalan ada yang takut kali!" Dia memutar bola mata jengah. "Yang bikin takut, tuh, senyum kamu, Mir. Tumben senyum-senyum gaje pagi-pagi!" Mira menarik kursinya, membawanya di sebelah Khanza. Dia akan menceritakan sesuatu di balik senyum tak putusnya pagi ini "Gini, ya, Kha, lo dengerin gue aja, ya, jangan dipotong apalagi disela. Awas aja lo!" ancamnya setelah duduk. Dia mencondongkan tubuhnya ke arah Khanza agar lebih dekat, malu berbicara dengan suara keras. "Tadi gue ketemu Liam di gerbang, terus dia bilang kalo senyum gue manis banget. Gimana nggak meleleh gue, Kha?" tanya Mira dengan nada lebaynya. "Cuman karena itu kamu jadi senyum-senyum kayak gini?" tanya Khanza dengan sepasang alis berkerut. "Kok, bisa?" Dia membulatkan matanya. Mira memukul lengan sahabatnya gemas melihat reaksinya. "Ya, bisalah!" sahutnya ketus. "Cowok most wanted yang bilang senyum gue manis, Kha!" Khanza kembali bergidik melihat sikap lebay Mira. Setahunya Mira bukan salah satu dari gadis-gadis penggemar Liam, lalu kenapa sekarang sahabatnya seperti seseorang yang tengah kasmaran? "Gue bukan lo yang nggak baper kalo digombalin atau dimanis-manisin. Gue meleleh, Kha!" Mata bulat Khanza mengerjap beberapa kali. Mira semakin bersikap aneh menurutnya, seperti seseorang yang kesurupan. Satu lagi, di tak menyangka jika Mira juga bisa bersikap seperti gadis-gadis yang mengerubungi Liam, selama ini. Apa jangan-jangan Mira juga merupakan salah satu dari gadis-gadis itu? Atau Mira tipe yang lainnya, mengagumi seseorang dalam diam Khanza menggeleng pelan beberapa kali, mengusir dugaan-dugaan tak jelas yang memasuki kepalanya. Didorongnya pelan kepala Mira yang bersandar di bahunya, rasanya berat dan itu sedikit mengganggu. Apalagi Mira menumpukan seluruh beban kepalnya di bahunya. Dia tidak ingin bahunya merosot turun. Khanza memberikan senyuman tak berdosa pada Mira yang memelototinya. Dia tidak keterlaluan, 'kan?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD