Entah mengapa pagi selalu datang lebih cepat daripada malam. Apakah itu semua disebabkan kita yang tertidur sehingga tidak menyadari perjalanan waktu? Bisa jadi. Yang pasti pagi ini datang membawa mendung yang menyebabkan udara terasa lebih dingin dari kemarin. Sepertinya hujan akan turun. Cuaca yang lebih dingin tentu membuat semua orang menjadi malas, termasuk Khanza. Dia yang biasanya bangun pukul lima pagi kembali memejamkan mata dan merapatkan selimut, kemudian kembali tidur setelah mematikan alarm dari jam digital yang dipasangnya tadi malam. Mata cantik Khanza tidak akan terbuka dalam waktu yang cepat seandainya Bunda tidak mendatangi ke kamarnya untuk membangunkan.
"Kamu mau sekolah apa nggak, sih, Ka? Kok, belum bangun juga?" Bunda mengomel dengan suara merdunya sambil membuka gorden yang menutupi jendela kamar Khanza. "Perasaan kamu nggak bolang kalo hari ini libur, deh "
Khanza menggeliat malas. Dia masih mengantuk, hanya saja suara Bunda yang bagaikan petasan roket meledak itu membuatnya sukses terjaga. Matanya ingin kembali terpejam, tetapi otaknya berkelana ke negeri antah berantah.
"Bangun, Ka, udah pagi!" Bunda menarik selimut tebal yang menutupi tubuh mungil Khanza, menjauhkannya agar Khanza tak bisa meraihnya lagi. "Kamu nggak takut telat apa?"
Seketika telinga Khanza lebar. Kata telat berefek sangat besar pada pendengarannya. Tangan yang tadi masih memeluk guling sekarang terangkat mengucek mata yang masih sedikit berat. Khanza menguap sekali lagi sebelum bangun dengan gerakan lambat. Cuaca semakin mendung, kemungkinan besar akan turun hujan sebentar lagi, dan Bunda membangunkannya di saat yang dianggapnya tidak tepat. Dia masih ingin bergelung dalam selimut tebalnya yang hangat. Namun, sekali lagi Bunda mengucapkan kata ajaib yang membuatnya langsung berlari menuju kamar mandi. Sekolah.
Lima belas menit kemudian, Khanza sudah siap dengan seragam sekolahnya. Dia duduk di meja makan, sedang menyantap roti bakar saus cokelat kesukaannya ditemani segelas s**u cokelat yang masih mengepulkan asap tipis.
"Tumben amat kamu bangun telat, Ka."
Khanza melirik Papa yang berbicara. Dia tidak menyahut, mulutnya masih sibuk mengunyah.
"Biasanya nggak perlu dibangunin udah langsung siap aja di meja makan."
"Papa juga tumben ceriwis ke Khanza," sahut Khanza tidak mau kalah, setelah menelan semua roti di dalam mulutnya. "Biasanya nggak nanyain."
Papa menatap putri tunggalnya dengan alis mengernyit. "Emang selama ini Papa kayak gitu, ya?" tanyanya.
Khanza mengangguk cepat. Mulutnya kembali penuh terisi roti bakar.
"Kok, Papa nggak sadar, ya, Ka?"
Khanza mencibir. Bibir mungilnya maju beberapa milimeter. Sementara Claudya hanya menggelengkan kepala pelan beberapa kali. Pertengkaran kecil antara Ayah dan anak yang selalu tersaji setiap pagi. Rasanya akan ada yang kurang jika sehari saja mereka akur di meja makan saat pagi.
"Ini nanti Khanza ikut sama Pala atau dianterin sopir kayak biasa?"
Papa kembali bertanya. Sikapnya sudah serius yang berarti 'pertunjukkan pagi' mereka sudah usai. Khanza mengangguk sambil meminum s**u cokelatnya sampai habis. Sedikit terbatuk karena menggerakkan kepala saat sedang minum. Lagi-lagi Claudya menggelengkan kepala, kelakuan putrinya kadang masih seperti gadis kecil. Ceroboh.
"Kalo lagi minum itu jangan gerak-gerak, Ka. 'Kan batuk jadinya." Claudya mengusap punggung Khanza lembut.
Khanza meringis. "Makasih, Bunda," ucapnya setelah acara batuk-batuknya selesai. Dia berdiri, mengusap sudut bibir menggunakan tisu, mencium tangan Bunda, dan bersiap untuk berangkat ke sekolah.
***
"Mau pergi ke pasar loak lagi hari ini, Ka?" tanya Mira berbisik. Dia tak ingin mengganggu pelajaran yang sedang berlangsung. Apalagi di depan sana adalah guru matematika mereka yang terkenal dengan kegalakannya yang luar biasa. Tentu dia tak ingin mengambil resiko kena hukuman. Percayalah, berdiri di depan kelas saat jam pelajaran, dan disaksikan oleh teman-teman sekelasmu adalah hal paling memalukan. Jangan sampai itu terjadi padanya.
Khanza tidak menjawab. Dia hanya menanggapi dengan mengedikkan bahu saja. Sama seperti Mira, dia juga tak ingin dihukum. Selama dua tahun sekolah di sekolahnya sekarang, tak pernah satu kali pun dia mendapat teguran apalagi hukuman. Apa kata dunia jika Khanza yang cantik jelita dan pandai sedunia tiba-tiba berdiri di depan kelas dengan sebelah kaki terangkat dan kedua tangan menjewer telinga sendiri. Astaga, benar-benar memalukan!
Mira mengangguk. Selepasnya keadaan kelas menjadi hening, tak terdengar apa-apa selain suara jarum jam yang terus bergulir. Kesunyian bertahan hingga bunyi bel pertanda pelajaran saat itu berakhir, waktu istirahat tiba. Khanza langsung memasukkan semua alat tulis yang berserakan di atas meja ke dalam tasnya. Mengembuskan napas lega karena jam pelajaran paling menakutkan sudah dapat dilalui.
"Ke kantin!" Mira merangkul bahu Khanza, menariknya menuju tempat yang tadi dia sebutkan.
Tidak terdengar protes dari mulut Khanza. Dia menurut saja ke mana Mira membawanya. Lagipula dia memang haus, sekotak s**u cokelat berukuran seperempat liter pasti dapat melegakan dahaganya.
Kantin sudah penuh ketika mereka tiba. Khanza memanjangkan leher, celingukan mencari tempat duduk kosong untuk dia dan Mira duduki. Sayangnya, dia tidak mendapatkannya, seluruh kursi di kantin sudah terisi. Khanza mengerucutkan bibir, dia tak ingin berdiri. Sejak kecil, Bunda selalu melarangnya makan dan minum sambil berdiri, dan dia terus mengingatnya sampai sekarang. Bahkan hal itu sudah menjadi kebiasaan. Khanza tidak akan meminum s**u cokelatnya dalam keadaan berdiri kecuali dia terpaksa. Seperti sangat kehausan misalnya, sementara dia tidak menemukan tempat yang bisa diduduki, atau saat sedang berjalan. Biasanya dia lupa sehingga makan dan minum sambil berjalan.
"Nggak ada tempat duduk." Khanza mengeluh dengan wajah menekuk. Lengannya menggelayut di bahu Mira.
"Iya, nih!" sahut Mira. Dia juga melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan Khanza tadi. Celingukan mencari tempat duduk kosong untuk mereka berdua. Namun, hasilnya nihil, tidak ada kursi kosong yang bisa mereka duduki. Sebenarnya ada kursi kosong, beberapa, tapi meja itu sudah diisi oleh si playboy Liam dan dua orang temannya. Dia tidak mau duduk bersama mereka, tidak aman. Liam menyukai Khanza, dan sangat bernafsu menjadikannya kekasih. Duduk di tempat itu sama saja dengan memberikan Khanza pada predator.
"Nggak mau berdiri, Ra!" rengek Khanza di bahu Mira. Saat seperti ini, penyakit manja Khanza biasanya kumat. Tidak tahu di mana dia berada, Khanza akan merengek seperti seorang gadis kecil yang ingin membeli es krim, tapi tidak dituruti oleh ibunya. Memalukan memang, tapi siapa yang peduli. Dia sudah terbiasa seperti itu sehingga tidak malu lagi. "Nggak mau capek."
Mira memutar bola mata. "Gue juga nggak mau berdiri, Ka, tapi tempat duduk cuman ada di meja Liam. Lo mau duduk dekat dia?" tanyanya.
Khanza menegakkan punggung. "Ogah!" sahutnya seraya menggelengkan kepala. Siapa juga yang mau duduk satu meja bersama Liam? Tampan memang, malah bisa dikatakan Liam yang paling di sekolah. Sayangnya, pemuda itu playboy, suka mempermainkan gadis-gadis. Liam juga sering mendekati dan menggodanya. Dia tak ingin pemuda itu menganggapnya menggoda juga kalau dia duduk di meja yang sudah ditempatinya.
"Kita tunggu aja, deh, Ka. Kali aja ada bangku kosong ntar."
Khanza mengangguk, menyetujui usul Mira. Mengikuti langkah Mira menuju petugas kasir untuk memesan makanan. Namun, Khanza membelokkan langkah, dia memilih untuk menghampiri lemari pendingin dengan pintu kaca dan mengambil sekotak s**u cokelat dari sana. Tanpa peduli dia akan dicap anak kecil, Khanza menusukkan sedotan ke kotak, dan mulai menyedotnya tanpa peduli keadaan sekitar. Beberapa mata siswa yang berada di kantin dengan menatapnya. Mungkin aneh saja bagi mereka, seorang gadis remaja berusia tujuh belas tahun meminum sekotak s**u cokelat yang biasanya diminum oleh anak kecil.
Khanza kembali ke tempat Mira di depan counter. Kedua tangan Mira memegang nampan. Ada dua mangkuk soto dan teh es manis di atas nampan, pesanan mereka. Sebenarnya hanya pesanan Mira, tapi gadis itu juga memesan untuknya. Tak tega menolak, Khanza akan memakannya saja.
"Di sana ada bangku kosong, Ka!" Mira menunjuk sebuah meja yang baru saja ditinggalkan. Bergegas mereka menuju meja itu, dan menduduki kursinya sebelum ada siswa pengunjung kantin yang lain ikut duduk.
Mira meletakkan nampan di atas meja, dibantu oleh Khanza. Dia meletakkan kotak susunya di atas meja, di sebelah nampan. Mira mengambil semangkuk soto yang masih mengepulkan uap panas, meletakkan di atas meja di depannya. Dia juga mengambil gelas es tehnya, menyeruputnya sebelum menaruhnya kembali di atas nampan. Khanza melakukan hak yang sama. Hanya satu yang membedakan, dia tidak meminum es teh seperti Mira. Khanza langsung memasukkan sesendok ke dalam mulutnya.
"Perasaan tadi lo bilang udah sarapan, Ka. Kok, pesan soto juga?" tanya Mira setelah menelan sotonya. Dia kembali menyuap sesendok lagi. Mumpung masih panas.
Khanza hanya mengedikkan bahu, terlalu malas untuk menjawab. Dia lebih memilih untuk menghabiskan sotonya. Khanza memang sangat suka makan. Itu merupakan salah satu hobinya, tidak heran dalam sehari dia bisa makan lebih dari tiga kali sehari. Jika tadi di rumah dia sudah menghabiskan dua lembar roti tawar dengan saus cokelat kesukaannya, istirahat di sekolah dia menyantap semangkuk soto. Jangan salahkan perutnya, salahkan saja makanan-makanan enak itu yang membuatnya tidak bisa menahan diri untuk tidak menyentuh mereka.
Mira menghabiskan sotonya lebih dulu. Dia menjauhkan mangkuk, mengembalikannya ke atas nampan. Khanza menyusul kemudian. Mereka.meninghalkan kantin beberapa menit kemudian. Bukan kembali ke kelas, melainkan ke perpustakaan. Mereka menghindari Liam yang terlihat mengejar. Satu-satunya tempat di sekolah yang tidak akan dimasuki Liam adalah perpustakaan. Entah kenapa, tapi kedua gadis itu pernah mendengarnya, Liam alergi buku. Biarpun tidak menyukai buku, Liam tetap memiliki otak yang encer. Pemuda itu selalu meraih peringkat lima besar, dia termasuk salah satu siswa yang pandai di kelasnya.
Khanza mengembuskan napas lega melihat Liam dan teman-temannya memutar langkah. Dia menutup mulut untuk menyembunyikan tawa. Peraturan di setiap perpustakaan itu sama, tidak boleh berisik, tidak boleh makan dan minum. Hal itu juga berlaku di perpustakaan sekolah mereka.
***
Lelah setelah beraktivitas nyaris seharian rasanya menguap begitu dia tiba di rumah. Khanza langsung membuang tubuhnya ke atas tempat tidur, setelah melepas seragam sekolah dan mencuci kaki serta tangannya tentu saja. Dia bukan seorang gadis yang jorok, yang akan langsung menyentuh tempat tidur tanpa membersihkan tubuhnya terlebih dahulu. Setidaknya mencuci kaki dan tangan. Khanza hampir memejamkan mata, tapi segera mata bulatnya kembali terbuka begitu ujung matanya menangkap bayangan botol biru penghuni baru di lemari koleksinya. Segera saja Khanza bangun dan melangkah menuju lemari. Tangannya meraih botol, memperhatikannya dengan seksama.
Botol biru itu tampak lebih bersih dan bersinar setelah dibersihkannya tadi malam. Bercahaya dan terlihat tembus pandang, seolah bisa langsung melihat isi di dalam botol, atau bisa dijadikan cermin. Khanza tertawa kecil dengan pemikirannya yang terkesan konyol, tapi dia tudak berbohong saat berpikir soal bercermin karena memang dia bisa melihat bayangan wajahnya di dinding botol. Khanza mengusap bagian leher botol yang jauh lebih kecil dari bagian lainnya. Matanya meneliti bagian-bagian botol yang belum sempat dia perhatikan sebelumnya. Botol ini bukan hanya memiliki warna yang cantik, bentuknya yang seperti patahan juga terbilang sangat unik. Tak seperti botol biasanya yang berbentuk bulat atau bentuk lainnya, tapi masih simetris, botol ini berbentuk seperti berlian dengan patahan-patahannya. Sangat cantik.
Lelah berdiri, Khanza membawa botol ke atas tempat tidur. Dia duduk di sisi tempat tidur dengan kaki menjuntai menyentuh lantai kamar. Tangannya terulur membuka laci nakas, mengambil tisu pembersih dari sana. Dia akan membersihkan botolnya lagi sore ini sebelum mandi.
Sekali lagi Khanza memandangi botol sebelum menyapukan tisu pada bagian tutup botol. Dia membersihkannya dengan sangat hati-hati, seolah takut botol akan meledak jika dia menggosoknya dengan keras sedikit saja. Senandung lirih mengalun dari mulutnya. Entah lagu apa yang sedang dinyanyikan Khanza, dia juga tidak tahu. Dia hanya ingin mengusir keheningan sore hari ini dengan mendendangkan sebuah lagu. Meskipun dengan nada asal-asalan dan hanya terdengar gumaman, yang penting dia bernyanyi.
Khanza mengangkat botol tinggi-tinggi, memejamkan mata kirinya, mengamati botol. Dia perlu mengetahui bagian mana saja yang belum dia bersihkan. Senyum lebar menggantikan senandung lirih Khanza, dia merasa sangat puas dengan hasil kerjanya. Khanza kembali membawa botol menuju lemari, meletakkannya di tempat dia mengambilnya tadi. Senyumnya masih bertengger manis di bibirnya yang berwarna merah muda alami, meski tak selebar tadi. Sekali lagi Khanza mengusap leher botol sebelum meninggalkannya ke kamar mandi. Dia perlu membersihkan tubuh sebelum melakukan aktivitas ringan di malam hari. Tubuhnya terasa lengket, dan rasanya sangat tidak nyaman.
Khanza melenggang santai menuju kamar mandi, meninggalkan botol biru yang baru saja dibersihkan di lemari, tanpa sadar jika botol kembali berasap untuk yang kedua kali. Bahkan botol tidak hanya mengeluarkan asap dari dinding-dindingnya, tetapi juga bergetar. Semakin lama getarannya semakin hebat, sampai-sampai beberapa botol dan benda lainnya yang berada di lemari juga ikut bergetar. Perlahan botol tampak melayang. Awalnya hanya berjarak satu jari, kemudian dia jari, tiga jari, sampai akhirnya menjadi sejengkal. Beberapa menit botol masih di posisi yang sama. Kembali turun ke tempat semula setelah Khanza keluar dari kamar mandi.
Tak ada curiga dalam pandangan Khanza karena keadaan lemari tempat barang koleksinya sama sekali tak berubah. Dia tetap tidak menyadari asap tipis yang kembali keluar dari dalam botol.