Bab 3

2020 Words
Pagi datang dengan cepat. Rasanya baru beberapa jam yang lalu dia terlelap sekarang sudah pagi saja. Khanza membuka mata dengan malas, duduk di atas tempat tidur sambil mengumpulkan nyawa. Tangannya terangkat untuk menutup mulut yang menguap. Khanza menggeliat, meregangkan otot-ototnya yang terasa kaku setelah bangun tidur. Mata bulat Khanza terbuka sempurna setelah mendengar suara langkah kaki yang dia yakin pasti milik Bunda. Bunda pasti ingin membangunkannya karena dia hampir terlambat. Eh, apa? Terlambat? Khanza menatap horor jam beker di atas nakas. Bergegas turun dari tempat tidur menuju kamar mandi. Dua benar-benar akan terlambat. Astaga, bagaimana bisa? Bukankah dia sudah menyetel alarm tadi malam sebelum tidur? Lalu, kenapa alarm justru tidak berbunyi? Atau justru dia lupa menyetel karena keasyikan mengobrol dengan Mira? Khanza menggeleng pelan, mempercepat mandinya. Biasanya Khanza akan menghabiskan waktu sekitar lima belas menit di dalam kamar mandi setiap paginya. Itu kalau dia tidak sedang terburu-buru seperti sekarang. Ternyata benar, dia lupa menyetel alarm. Pantas dia bangun terlambat pagi ini, tidak ada suara nyaring dan berisik yang membangunkannya. Sepuluh menit kemudian Khanza sudah rapi dan siap untuk berangkat ke sekolah. Namun, sebelumnya dia harus sarapan dulu, atau Bunda akan memotong uang jajan. Itu artinya petak karena dia tidak bisa ke mana-mana dan terpaksa harus membatalkan janji jalan-jalan ke pasar loak bersama Mira sepulang sekolah. Agar janji yang dibuatnya tadi malam tidak gagal segera saja Khanza keluar dari kamar. Menuruni tangga dengan cepat menuju dapur, meja makan terletak di sana. Dengan senyum lebar Khanza memasuki dapur, menyapa kedua orang tuanya. "Pagi, Bunda. Pagi, Papa!" sapa Khanza riang seperti biasanya. Khanza menghampiri bunda, mencium pipinya. Menghampiri Papa dan melakukan hal yang sama. Setelah itu baru duduk di kursi khusus untuknya. Kenapa dinamakan kursi khusus? Karena kursi itu berukir nama Khanza. Dibuat dan dipesan khusus atas permintaannya . Khanza mempunyai satu lagi sifat buruk selain pelupa. Dia akan mengamuk dan menangis sebelum mendapatkan apa yang diinginkannya. Tak ingin putrinya membuat kegaduhan lalu membuat mereka menjadi pusat perhatian, Papa mau membelikan kursi dengan ukiran namanya. "Hari ini mau bawa bekal, nggak?" tawar Bunda. "Biar habis sarapan Bunda bikinin." Khanza menggeleng pelan. Menelan nasi goreng yang memenuhi mulutnya sebum menjawab pertanyaan Bunda. Kadang Bunda menjebaknya, menguji apakah dia masih ingat dengan apa yang diajarkan Bunda. Dilarang berbicara saat mulut masih penuh. Menurut Bunda, juga Papa itu adalah hal yang sangat tidak sopan. Selain juga memalukan. Kau akan disamakan seperti anak kecil yang selalu berbicara kapan pun mereka mau. Meski mulut mereka penuh, kalau mereka ingin berteriak maka mereka akan melakukannya. Tentu saja Khanza tidak ingin disamakan dengan Ano kecil. Dia seorang gadis remaja, usianya tujuh belas tahun bukan tujuh tahun. "Nggak usah, Bun." Khanza menggeleng. "Ntar nggak kemakan kayak kemaren lagi." Iya. Kemarin Khanza membawa bekal yang disiapkan Bunda, dan bekal itu tidak dimakan Khanza sampai pulang kembali ke rumah. Dia lupa, Mira mengajaknya ke kantin. Mereka membeli minuman dan makanan ringan di sana, membawanya ke taman sekolah untuk menemani mereka mengobrol. Untung Bunda tidak menyiapkan nasi goreng dan sejenisnya sehingga bekalnya tidak basi. Bunda menyiapkan roti selai cokelat dan sekotak s*su cokelat kesukaannya. Untuk s*su cokelat semua orang sudah tahu kalau itu adalah minuman favorit Khanza. Dia selalu membeli atau membawa s**u cokelat dari rumah. Kedengarannya sangat anak-anak sekali, tetapi Khanza tidak peduli. Dia sudah tidak malu lagi meminum minuman khas bayi itu, di tempat umum sekalipun. Dia sudah terbiasa. Juga dengan sesuatu yang bernama cokelat. Jangan tanyakan kenapa dia menyukainya karena jawabannya pasti sama. Khanza akan mengatakan kalau Bunda yang selalu memberinya cokelat sejak dia masih berada di dalam perut. Benar-benar sebuah alasan yang membuat si penanya mati kutu. Claudia berdecak. Menyesali sifat putri tunggalnya yang pelupa. Khanza selalu saja melupakan sesuatu kalau dia tidak melihatnya. Sangat menyebalkan bagi seorang Ibu karena harus mengingatkan berkali-kali. Untung saja Khanza tidak pernah lupa dengan pekerjaan rumahnya. Untuk masalah yang satu itu, putrinya malah sangat ingat. Yang sering dilupakannya adalah di mana dia menaruh barang-barang miliknya. "Berarti hari ini nggak, ya?" Khanza mengangguk. Mengambil gelas berisi air putih dan meminum isinya hingga setengah gelas, Ia haus. "Biar Khanza beli camilan di kantin aja, deh, Bun." Bunda mendelik mendengar kata camilan yang diucapkan Khanza.. Dia selalu melarang putri tunggalnya untuk membeli makanan yang mengandung pengawet dan zat yang tidak sehat lainnya. Sebab itu dia selalu berusaha menyiapkan bekal untuk Khanza. "Bukan camilan nggak sehat, Bun." Khanza menggeleng cepat. "Khanza cuma sering beli cokelat sama s**u kotak sama keripik kentang. Udah itu aja!" "Beneran kamu nggak jajan yang lain?" tanya bunda sekali lagi. Menatap Khanza denhan tatapan menyelidik. Khanza mengangguk manis. Dia tidak berbohong, kenyataannya memang seperti itu. Dia tidak membeli yang lain untuk dikonsumsi, ketiga jenis makanan itu adalah yang paling disukainya. Claudia menggeleng pelan, senyum tipis terukir di bibirnya. Dia percaya pada putrinya, Khanza tidak akan membeli sesuatu yang tidak disukainya. "Cokelatnya dikurangi, Ka!" tegur Papa. "Emang kamu mau gigi kamu keropos?" Khanza menggeleng cepat. "Nggak mau!" jawabnya. "Tapi, 'kan, cokelat enak, Pa. Gigi Khanza nggak apa-apa, kok. Liat, nih!" Khanza tersenyum lebar, menunjukkan giginya ada Papa. Gigi-gigi itu memang tidak apa-apa, belum. Gigi Khanza terlihat rapi dan putih, dia sangat rajin menggosok gigi. Sehari bisa tiga sampai empat kali Khanza membersihkan giginya. Arista tertawa pelan. "Iya, iya, Papa percaya," ucapnya di sela tawa. "Gigi kamu emang bagus." "Sehat juga!" sambung Khanza cepat. "'Kan, Khanza rajin gosok gigi, Pa." Senyum lebar kembali menghiasi bibir mungil Khanza. Arista mengangguk, ia yakin hal itu. Masalah gosok gigi dan kesehatan adalah salah satu yang utama harus dijaga. Sejak Khanza kecil, ia dan istrinya sudah mengajarkan betapa pentingnya hidup sehat. Apalagi setelah Khanza dirawat di rumah sakit waktu itu. Selain itu Claudia juga selalu mengingatkan Khanza. Mereka tidak ingin kejadian seperti dulu terulang kembali. Tidak masalah Khanza memakan makanan manis seperti cokelat dan es krim, asal dalam porsi normal dan sesuai untuk kebutuhannya. Khanza juga harus menggosok gigi setelah memakan makanan yang mengandung banyak gula. Satu hal, Arista melarang putrinya untuk mengonsumsi makanan ringan yang banyak mengandung pengawet. Untungnya Khanza hanya menyukai keripik kentang selain cokelat, Arista tidak khawatir. "Udah ngomongin masalah gigi. Kamu cepat habisin sarapannya, Ka, Ntar telat ke sekolah!" tegur Claudia. Khanza tadi terlambat turun untuk sarapan, untung hanya beberapa menit. Namun, tetap saja itu berpengaruh pada waktu sarapannya yang tidak bisa sesantai biasa. Claudia tidak tahu apa yang dilakukan putrinya tadi malam sehingga terlambat. Untuk urusan bangun pagi Khanza tidak pernah terlambat. Sangat jarang putrinya bangun siang, bisa dihitung dengan jari. Salah satunya pagi ini. "Ntar macet di jalan." Khanza mengangguk. Mempercepat kunyahannya dan langsung menelan. Beberapa menit kemudian nasi goreng di piring Khanza sudah berpindah ke dalam perutnya. "Kenyang." Khanza menepuk-nepuk perut ratanya. Masakan Bunda memang yang terbaik. Bila dewasa nanti dia ingin seperti Bunda, menjadi istri dan Ibu yang baik bagi anak-anaknya. Khanza tidak mau hanya memiliki satu anak, dia ingin mempunyai sedikitnya dua orang anak. Menjadi anak tunggal itu tidak terlalu menyenangkan. Dia sudah merasakannya. Sepi. Claudia kembali menggeleng pelan melihat kelakuan putri semata wayangnya. Khanza kadang bersikap seperti anak kecil, dia polos. Tidak ada seorang remaja putri yang menepuk-nepuk perut setelah selesai makan kecuali Khanza. "Nanti Khanza pulang telat, ya, Bun. Mau pergi ke pasar loak sama Mira sepulang sekolah." Khanza memberitahu sambil berdiri. Merapikan rok sekolahnya sebelum menghampiri Bunda dan mencium tangan serta pipinya. Kebiasaan sebelum pergi ke mana pun Khanza juga melakukan hal yang sama pada Papa. Setelah mencium tangan dan pipi Papa, Khanza segera berlari keluar. Pak Banu sudah menunggu untuk mengantarkannya ke sekolah. *** Jalan-jalan ke pasar loak adalah salah satu hal yang disukai Khanza. Matanya berbinar melihat deretan penjual barang-barang bekas yang berjajar di sepanjang jalan yang mereka lewati. Mira mengajaknya ke tempat penjual buku-buku bekas, ada buku yang ingin dicarinya. Mira memang menyukai buku, di kamarnya terdapat perpustakaan kecil. Khanza menyukai kamar Mira, dia juga menyukai buku meski tidak bisa menandingi rasa sukanya pada botol antik. Selesai di tempat penjual buku, gantian Khanza yang menarik Mira ke toko barang antik. Toko ini terletak tidak jauh dari pasar loak, bersebelahan. Sebab itulah Khanza selaku tidak pernah menolak kalau Mira mengajaknya ke sini. Dia bisa sekalian mampir ke toko barang antik. Bukan untuk membeli, hanya sekedar melihat-lihat. Namun, kalau ada benda yang menarik minatnya dan harga terjangkau, Khanza membeli juga. Pemilik toko barang antik sudah mengenal Khanza dan Mira. Keseringan mereka berdua berkunjung ke toko dengan masih mengenakan seragam sekolah membuat sosok mereka sangat dikenali. Penjaga tokoh pernah menegur mereka, mengira mereka bolos karena mengunjungi toko saat masih jam sekolah. Padahal waktu itu mereka memang pulang lebih cepat karena guru-guru di sekolah mereka mengadakan rapat. Tidak ingin pulang ke rumah terlalu siang Khanza dan Mira memutuskan untuk jalan-jalan terlebih dahulu. Berbeda dengan gadis seusia mereka yang suka menghabiskan waktu di pusat perbelanjaan mewah, pasar loak dan toko barang antik menjadi tujuan mereka. Khanza memandang takjub benda-benda yang berada di etalase. Beberapa benda yang dilihatnya beberapa hari yang lalu sudah tidak terpajang lagi di sana. Berarti benda itu sudah laku, sudah ada yang membelinya. Tempat benda yang sudah terjual digantikan benda baru yang tak kalah menarik. "Ka, sini, deh!" Seruan pelan Mira membuat Khanza menolehkan kepala menatap sahabatnya itu. Mira sedang mengamati benda-benda yang terpajang di etalase sebelah Khanza. Benda-benda di sana berukiran lebih besar dari benda yang sedang diamati Khanza. Piring, mangkuk, gelas, dan semua benda pecah belah lainnya terpajang di etalase itu. Khanza tidak terlalu tertarik pada benda-benda semacam itu, dia lebih menyukai botol dalam berbagai bentuk. "Piringnya cantik banget," bisik Mira di telinga Khanza. "Coba kalo gue punya piring modelan kayak gitu, nggak bakalan gue pakai buat makan. Gue pajang aja di kamar gue." Mira cekikikan. Piring yang dimaksud Mira adalah sebuah piring berukuran lumayan besar, dua kali piring saji biasa. Gambarnya juga sangat indah. Ken Dedes dan Ken Arok terlukis di sana. Sangat cantik. Sayangnya Khanza tidak menyukainya, yang menyukai piring antik seperti ini adalah teman Papa. "Emang bukan piring buat makan, Ra!" sahut Khanza gemas. "Ngapain juga makan pake piring segede gitu!" Khanza menunjuk piring menggunakan mulutnya yang dimonyongkan. Tawa Mira pecah. Cepat dia menutup mulut sebelum tawa kerasnya mengganggu pengunjung lain. Toko ini termasuk toko yang ramai dikunjungi. Mungkin karena letaknya yang bersebelahan dengan pasar loak. Selain itu semua barang di toko ini dijual dengan harga standar, tidak mencekik seperti toko-toko penjual barang antik lainnya. Untuk kualitas, toko ini tak kalah bagus. Papa pernah memuji botol yang dibeli Khanza di toko ini. Menurut Papa, botol yang dibeli Khanza sangat cantik. Harganya juga bersahabat. Sayang Papa tidak bisa mengunjungi toko ini bersamanya, Papa terlaku sibuk bekerja. Kalaupun memiliki waktu libur, Papa mengajak dirinya dan Bunda jalan-jalan. Namun, tidak mengunjungi toko barang antik. Bunda tidak menyukainya. "Kita pulang sekarang, yuk, Ra!" ajak Khanza. Dia sudah selesai melihat-lihat. Berada di toko ini berlama-lama sangat tidak sehat untuknya. Bisa-bisa dia tergoda untuk membeli. Apalagi tadi dia melihat sebuah botol baru berwarna hijau tosca, sangat cantik. Seandainya saja bisa dia ingin membeli botol itu. Sayangnya tidak mungkin. Bunda pasti akan marah kalau dia melakukannya. Sudah banyak botol yang terpajang di lemari koleksinya. Termasuk botol yang baru didapatkannya di pantai dua hari yang lalu. Khanza baru ingat kalau tadi pagi dia belum memeriksa botolnya. Biasanya dia akan memeriksa keadaan botol saat akan tidur dan mau berangkat ke sekolah. Namun, tadi pagi dia melupakannya karena tak ingin dimarahi Bunda. Dia hampir terlambat, 'kan? Khanza dan Mira pulang dengan menaiki angkutan umum. Mereka memilih menaiki bis kota daripada angkot. Saat sore seperti sekarang bis tidak terlalu sesak. Para karyawan perusahaan yang belum memiliki kendaraan pribadi lebih memilih menaiki taksi atau ojek online yang saat ini sedang marak. Khanza tiba di rumah bertepatan dengan Papa yang juga tiba, Papa baru pulang dari kantor. Khanza segera berlari menaiki tangga menuju kamarnya di lantai dua. Namun, sebelumnya dia menyapa dan mencium pipi Bunda. Tak sabaran Khanza membuka pintu kamar, melempar tas sekolah ke atas tempat tidur. Tanpa melepas sepatu ataupun mengganti seragam sekolah, Khanza langsung saja menghampiri lemari tempat dia menyimpan semua koleksi botol-botol antiknya. Khanza tersenyum lebar. Melihat benda-benda koleksinya selalu membuatnya merasa nyaman. Tangan Khanza terangkat, mengusap beberapa botol dan berhenti pada botol berwarna biru yang baru dua hari ini menempati lemari. Senyum Khanza kembali terbit, botol ini memang yang terbaik.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD