Bab 2

2013 Words
Senyum merekah di bibir mungil itu ketika melihat botol yang ditemukannya kemarin masih menghiasi lemari kaca koleksi botol antiknya. Cepat-cepat Khanza bangun sebelum alarm alami alias teriakan Mama berbunyi. Sebelum ke kamar mandi Khanza menyempatkan diri untuk mengusap botol birunya dulu. "Yang baik di sini, ya," ucap Khanza sambil tangannya masih mengusap botol. "Kamu kok cantik banget, sih? Kan, aku jadi sayang." Botol biru itu memang sangat cantik. Warna dan bentuknya sangat unik, berbeda dari botol kebanyakan. Khanza merasa sangat beruntung telah menemukannya. Dia harus menyimpan botol dan menjaganya dengan baik agar Papa tidak dapat mengambilnya. Hanya sepuluh menit Khanza berada di kamar mandi. Pagi ini agak dingin sehingga dia melakukan ritual paginya lebih cepat. Setelah merasa siap, Khanza segera turun ke bawah sebelum Mama berteriak memintanya turun. Dia yakin kedua orang tuanya sudah menunggu di meja makan. "Pagi, Mama. Pagi, Papa!" sapa Khanza riang seperti biasanya. Memberikan ciuman di pipi Mama dan Papa sebelum duduk di kursi yang memang khusus untuknya. "Pagi ini Khanza nggak telat, kan?" "Pintar, dong, anak Mama nggak perlu dibangunin lagi," ucap Claudya tersenyum. Memberikan segelas s**u hangat dan setangkup roti selai cokelat kesukaan putri tunggalnya. Senyum Khanza lebar menghiasi bibir mungilnya mendengar pujian Mama. Khanza menerima sarapan yang disodorkan Mama dengan senang hati, s**u cokelat hangat dan roti selai cokelat adalah dua hal kesukaannya. Pokoknya semua yang berhubungan dengan cokelat adalah favoritnya. Selain mengoleksi benda-benda antik, Khanza juga sangat menyukai cokelat. Setiap Papa pergi untuk melakukan perjalanan bisnisnya, dia pasti meminta sekotak cokelat sebagai oleh-oleh. "Hari ini ikut Papa apa mau diantar sama pak Banu?" tanya Claudya menatap Khanza yang masih asyik mengunyah rotinya. Pak Banu adalah sopir keluarga mereka. Khanza mengangguk. Dia tidak dapat menjawab, mulutnya masih penuh. Mama bertanya bersamaan dengan dirinya yang menggigit roti sehingga dia hanya bisa menjawab dengan anggukan, tapi kemudian Khanza menggeleng. Dia lebih memilih diantar pak Banu. Papa biasanya selalu terlambat, jalannya memutar. Pak Ikram, sopir Papa, tidak mengetahui jalan tembus. "Apaan itu jawabnya?" Papa bertanya dengan alis bertaut. "Mau ikut Papa atau diantar pak Banu?" Papa mengulangi pertanyaan Mama. Khanza meminum su*u cokelatnya dulu sebelum menjawab. "Sama pak Banu aja, sama Papa jalannya lama," jawab Khanza sambil meletakkan gelas kembali ke atas meja. "Nggak tau jalan tembus. Ntar Khanza telat lagi kayak kemarin." Khanza tentu tidak melupakan kesialannya beberapa hari yang lalu. Terlambat tiba di sekolah merupakan hal yang sangat buruk bagi setiap siswa, begitu pun dengannya. Dia terlambat lima menit. Beruntung gerbang sekolah belum ditutup sehingga dia tidak perlu memanjat atau menyogok pak satpam penjaga sekolah untuk membukakan pintu gerbang. Terkadang pak satpam tidak mempan sogokan, apalagi kalau pria tua itu masih memiliki rokok di kantong seragamnya yang berwarna putih itu. Keberuntungan Khanza hari itu tidak berlanjut sampai ke kelas. Guru yang mengajar pada jam pelajaran pertama sudah memasuki kelas. Dia dihukum tidak boleh ikut pelajaran dan menulis di selembar kertas polio dengan keterangan tidak akan terlambat lagi. Sungguh sangat memalukan, bukan? Khanza tidak ingin mengulanginya lagi. "Kan, itu bukan salah Papa, Za." Arista membela diri. "Pak Ikram aja yang nggak tau jalan tercepat menuju sekolah kamu." Khanza memutar bola mata jengah. "Pokoknya nggak mau lagi numpang mobil Papa!" sahutnya. Claudya tersenyum. "Ya udah kalo nggak mau ikut Papa, yang penting sekarang kamu cepat habisin sarapannya. Pak Banu udah nunggu, beliau udah siap dari tadi." Mama memberitahu sambil jari telunjuknya menunjuk ke arah depan. Khanza kembali tidak menyahut, lagi-lagi hanya menggerakkan kepala naik turun sebagai jawaban. Segera Khanza menghabiskan su*u yang tersisa seperempat gelas. Dia harus segera berangkat ke sekolah. Bersama pak Banu perjalanan lebih cepat. Pak Banu memang sudah mengantarkannya sejak pertama dia berseragam abu-abu, oleh karena itu beliau mengetahui jalanan mana yang lebih cepat sampai. "Makasih, ya, Pak," ucap Khanza sebelum keluar dari mobil. "Pak Banu pulangnya hati-hati, ya, nanti jemput Khanza lagi di jam biasanya." Khanza memang selalu berpesan seperti itu kepada pak Banu, kebiasaan. Bukan hanya kepada pak Banu, kepada sopir atau asisten rumah tangganya yang lain dia juga selalu seperti ini. Khanza memang ramah, sehingga banyak yang menyukainya. Begitu juga dengan para siswa laki-laki di sekolahnya, banyak di antara mereka yang menyukai Khanza. Sayangnya sampai sekarang tak ada seorang pun dari siswa-siswa itu yang membuatnya berpikir untuk memiliki hubungan lebih dari sekedar berteman. Khanza tiba di kelas bersamaan dengan kedatangan Mira, sahabatnya. Kedua gadis itu langsung memasuki kelas mereka setelah saling menyapa dengan hebohnya. Khanza dan Mira selalu sekelas sejak Sekolah Menengah Pertama, karena itu mereka sangat akrab. "Liburan lo kemaren gimana, Za?" tanya Mira dengan gaya kepo yang khas. "Jadi pergi ke pantai bareng ortu lo?" Khanza memang memberitahu Mira kalau dia dan kedua orang tuanya akan berlibur ke pantai. Sebenarnya Khanza mengajak Mira kemarin, sayangnya Mira tidak bisa ikut. Ada acara keluarga di rumah tantenya yang tinggal di luar kota. Khanza mengangguk. "Jadi dong!" jawabnya sambil tersenyum lebar. "Aku ketemu botol baru lagi!" Khanza memberitahu Mira dengan semangat empat lima. Mira sudah tahu hobi Khanza. Siapa lagi yang memberitahu kalau bukan Khanza sendiri? Mira sering ikut Khanza berburu barang antik. Tidak membeli, mereka hanya mencari. Pantai adalah lokasi utama pencarian mereka. Menurut Khanza, di pantai banyak sekali barang-barang berharga. Menurut Mira itu hanya dari sudut pandang Khanza yang terlalu menyukai sesuatu yang unik dan antik bagi sahabatnya itu. "Botol?" ulang Mira dengan alis mengernyit. Khanza mengangguk cepat. "Warnanya biru kayak gimana gitu." Khanza mengibaskan tangan kacau. "Cantik banget pokoknya!" Mira mengangguk, dia percaya dengan apa yang dikatakan Khanza. Sahabatnya tidak pernah salah dalam menilai sesuatu. "Kamu harus liat nanti!" Mira mengangguk. "Beres lah!" sahutnya. "Ntar gue liat kapan-kapan, ya, Za. Kan, hari ini sama besok gue nggak bisa. Gue nggak boleh bolos les." Wajah Mira berubah mendung. Sama seperti Khanza, Mira juga tidak menyukai hari Senin. Terlalu banyak kegiatannya di hari pertama dalam sepekan itu. Mulai dari sekolah sampai les, membuatnya tidak berada di rumah seharian. Mira termasuk gadis yang tidak menyukai berada di luar rumah terlalu lama. Home sweet home berlaku juga untuknya. Dia lebih suka membeli sesuatu melalui toko belanja online daripada harus berdesak-desakan dalam sebuah toko. Khanza mengangguk. Dia mengerti, pasti Mira memikirkan kegiatannya yang segudang hari ini. Khanza merasa sangat beruntung menjadi dirinya. Kedua orang tuanya tidak pernah memaksanya untuk mengikuti suatu kegiatan yang tidak dia sukai. Semua terserah padanya asal kegiatan itu bermanfaat. Kedua orang tuanya percaya padanya kalau dia selalu memilih kegiatan yang akan berguna baik sekarang maupun untuk masa depannya kelak. Orang tuanya juga tidak menuntutnya untuk selalu sempurna. Mereka selalu mensyukuri setiap hasil yang dicapainya. Lagipula dia tidak pernah mengecewakan kedua orang tuanya. Semua nilainya, baik akademik maupun non-akademik selaku memuaskan. "Ntar kalo bisa, ya?" pinta Khanza tersenyum menepuk bahu Mira lembut. Mira membalas senyuman itu. Khanza memang sahabat yang selalu pengertian, juga selalu ada setiap dibutuhkan. *** Pak Banu sudah menunggu di depan gerbang sekolah beberapa menit sebelum bel bubar sekolah berbunyi, sehingga Khanza tidak pernah repot-repot menunggu jemputan yang lama seperti teman-temannya. Sopir Mira pun demikian. Kedua gadis itu berpisah di depan gerbang sekolah mereka memasuki mobil jemputan masing-masing. Kali ini Khanza meminta pak Banu untuk mengambil jalan memutar, dia ingin singgah di toko buku. Ada buku yang ingin dibelinya. Tadi dia sudah meminta izin pada Mama yang super cerewet. Mama membolehkan asal dia tidak terlalu lama. Khanza beruntung karena toko buku langganan tidak terlalu ramai. Setelah menemukan buku yang dicari dan membayar, Khanza langsung menghampiri pak Banu yang menunggu di depan toko. "Udah selesai, Neng?" tanya pak Banu. Khanza mengangguk. "Udah, Pak. Bukunya udah ketemu," jawab Khanza menunjukkan buku di dalam kantong plastik kecil di tangannya. Pak Banu manggut-manggut. "Kalo begitu kita pulang sekarang, ya, Neng. Kan, tadi ibu pesan jangan lama." Khanza mengangguk lagi. Memasuki mobil dan duduk dengan manis di jok belakang. Tak sabar ingin membaca atau setidaknya melihat-lihat buku yang baru dibelinya, Khanza mengeluarkan buku itu dari dalam kantong plastik. Dia membeli sebuah buku n****+ bergenre fantasi romantis. Dari awal membaca blurb di bagian belakang buku Khanza sudah penasaran. Cerita percintaan gadis manusia dan pemuda tampan dari bangsa jin. Khanza ingin tertawa membaca uraian singkat itu sekaligus penasaran. Mana ada percintaan seperti itu. Ada-ada saja memang tapi dia menyukainya. Kisah yang sangat menarik baginya yang sangat suka membaca. "Mama, Khanza udah pulang!" Teriakan seperti itu selalu terdengar saat Khanza memasuki rumah. Selalu, setiap hari. Padahal Claudya sudah sering memperingatkan Khanza agar tidak berteriak, tapi Khanza tetap melakukannya. Menurutnya itu perlu agar semua penghuni rumah mengetahui kedatangannya. "Selamat datang di rumah kembali, Sayang!" sambut Claudya. Khanza itu manja, sambutan seperti ini dia yang memintanya, dan Claudya tidak pernah keberatan menurutinya. Masih masuk akal menurut perempuan cantik itu. "Mama, tadi Khanza beli buku ini." Khanza menunjukkan buku yang dimaksudnya. Claudya mengangguk, melirik sekilas pada buku di tangan Khanza. Putrinya memang sangat suka membaca. Di dalam kamar Khanza, selain terdapat lemari untuk menyimpan semua benda antik koleksinya juga terdapat dua buah rak buku yang sudah penuh. Khanza tidak pernah mau membuang atau memberikan pada orang lain buku-buku yang sudah dibelinya. Meski sudah tidak digunakan lagi dia akan tetap menyimpannya. "Udah makan siang belum?" tanya Claudya mengusap rambut Khanza. Kepala bersurai hitam itu mengangguk. "Udah tadi di kantin," sahut Khanza. Setiap tiga hari di awal pekan sekolahnya bubar sore hari. Khanza biasanya makan siang di kantin sekolah di tiga hari itu. Terlalu sore dan sangat terlambat kalau dia harus makan siang di rumah. Lagipula dia tidak sanggup menahan lapar. Cacing-cacing di perutnya selalu berdemo kalau terlambat diberi makan meski hanya sebentar. "Kamu istirahat dulu, ya. Mandi biar segar. Pasti capek, kan?" Khanza mengangguk. "Capek banget!" jawabnya cepat. "Khanza ke atas dulu, Ma!" pamit Khanza mencium pipi Mama sebelum berlari menaiki tangga. "Mandi dulu, ya, Sayang, kalo mau tidur!" seru Mama "Siap, Mama!" Khanza balas berseru, dia sudah berada di lantai dua. Setengah berlari Khanza mendapatkan kamarnya. Tempat tidurnya yang empuk seolah memanggil Khanza untuk segera merebahkan tubuh di sana. Namun, Khanza ingat pesan Mama. Mengabaikan tempat tidurnya yang sudah minta ditiduri, Khanza berlari ke kamar mandi setelah melempar tas dan melepas sepatu. Dia harus mandi sekarang atau akan tertidur tanpa membersihkan badan, dan tentu saja akan mendapatkan omelan sepanjang jalan kenangan dari Mama. Kali ini Khanza lebih lama di dalam kamar mandi. Bukan karena ketiduran tapi karena dia memang menginginkannya. Dia tadi memang nyaris tertidur. Siapa yang tidak akan tertidur dengan kenyamanan yang ditawarkan aroma terapi dan bathtub. Setiap orang juga pasti akan sama seperti dirinya. Cepat-cepat Khanza menghampiri tempat tidur, tapi sebelum berbaring perhatiannya teralihkan pada lemari tempatnya menyimpan koleksi benda antik. Penghuni baru lemari itu membuatnya kembali bangkit dan melangkah mendekat. Khanza mengamati dan sedikit terkejut. Dia seolah melihat asap di dalam botol itu. Khanza mengerjap beberapa kali, memastikan kalau penglihatannya tidak salah. Senyum lega terpatri di bibir mungil itu, ternyata dia hanya berhalusinasi. Tidak ada asap atau apa pun di dalam botol. Khanza kembali ke tempat tidur setelah memastikan keadaan botolnya baik-baik saja. Sekali lagi Khanza menatap botol itu, sekali lagi dia tersenyum sebelum memejamkan mata untuk berlayar ke alam mimpi. Khanza tertidur tanpa melihat botol birunya bergerak. *** Seandainya Mama tidak ke kamar untuk mengajaknya makan malam, mungkin Khanza tidak akan bangun. Tidurnya sangat pulas seperti orang pingsan. Dia bermimpi sedikit aneh, bertemu dengan seorang pemuda tampan berambut hitam dan bermata biru. Benar-benar tampan, seperti seorang pangeran dari negeri dongeng. Khanza tertawa setelah menceritakannya pada Mama. "Cuci muka cepat terus turun ke bawah, ya," pinta Mama. "Kita makan malam!" "Siap!" Khanza memberi hormat sebelum berlari ke kamar mandi untuk melaksanakan permintaan Mama. Tak sampai dua menit Khanza sudah keluar dari kamar mandi, mengembuskan napas melihat Mama sudah tidak berada di kamarnya lagi. Mana pasti sudah berada di meja makan sekarang. Bergegas Khanza menyusul, apalagi perutnya sudah berbunyi minta diisi. Lagi-lagi Khanza tidak memperhatikan botol barunya yang kembali mengalami keanehan. Kali ini tidak berpindah tempat lagi, botol itu sudah berada di posisi sebelumnya. Namun, keanehan lain terjadi, botol itu berubah warna, tidak lagi berwarna biru terang seperti sebelumnya. Meski tetap berwarna biru, tapi warna itu berubah gelap. Hanya beberapa saat sebelum warnanya kembali biru terang seperti semula. Hanya saja botol itu terlihat berasap di dalamnya. Seandainya saja Khanza melihatnya maka dia pasti akan memeriksa mata ke dokter spesialis.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD