ALASAN

2175 Words
Kookie menjatuhkan dirinya di kasur hotel setelah mandi. Meraih handphone guna menghubungi Han Lee sang kakak. Dia memang menitipkan Ha Neul ke Han Lee, kebetulan kakaknya itu punya anak juga jadi Ha Neul bisa bermain sama kakak sepupunya. Mengusap kepala menggunakan handuk kecil, "Hahh," ia menghela nafas berat tak jadi setelah melihat waktu seoul. Masih jam 8 delapan malam sih, tapi, Ha Neul biasanya sudah tidur di jam segitu dan bakal bangun jam 1 malam nanti buat minum s**u. Baiklah, lebih baik pasang alarm supaya bisa bangun menelpon Ha Neul. Me : Kakak ipar, apa Ha Neul baik-baik saja? Setelah itu, dia berjalan meraih gin lalu berjalan ke balkon. Membungkuk sedikit menyanggah sikut di pembatas balkon lalu meneguk minumannya. Berdiri tegak bersandar menyamping kala handphone di saku bergetar. Senyumnya mengembang sempurna melihat wajah bulat Ha Neul. Foto putranya kembali masuk. Dengan memeluk boneka pemberiannya, mata cantik Ha Neul terpejam rapat di tengah kedua sepupunya. Kakak ipar : Apa istrimu masih lama? Mertuamu baik-baik saja, 'kan? Me : Ada apa kak? Tak peduli dengan dingin yang menusuk tulang, Kookie mendudukkan dirinya di kursi sambil membalas pesan sang kakak ipar tak lupa meneguk minumannya. Kakak ipar : Ini sudah 3 hari sejak dia pergi, bahkan lebih dulu daripada kamu. Ibu khawatir. Ini yang Kookie tidak suka, berbohong demi menjaga nama baik orang yang mengkhianatinya. Sebenarnya sejak kapan Meera berhubungan dengan pria lain? Selama ini walaupun belum sepenuhnya menetapkan hati setidaknya dia tidak sekalipun mengabaikan keberadaan Meera dan tetap bersikap layaknya suami yang baik. Jadi apa, apa masalah wanita itu? Kakak ipar : Ada apa? Kamu tidak menghubunginya? Me : Mertuaku sudah lebih baik kak, lusa dia akan pulang. Kakak ipar : Bagaimana denganmu? "Aku… entahlah. Rasanya belum siap untuk bertemu dengannya lagi setelah melihat bagaimana dia begitu menikmati setiap detik ciuman mereka." Dadanya berdebar keras menghasilkan sebuah kesakitan yang mendalam. Me : Aku juga. Kakak ipar : Baiklah, lakukan pekerjaanmu dengan baik tidak perlu khawatirkan Ha Neul, dia baik-baik saja. Me : Terimakasih kak Me : Katakan pada ibu, tidak perlu ke busan. Kakak ipar : Baiklah. Me : ngomong-ngomong kak, apa mama Ha Neul… Pesan itu tidak terkirim buru-buru dihapus. Bodoh untuk apa bertanya. Sudah pasti Meera lebih memilih bersenang-senang daripada khawatir dengan putra mereka. Tanpa bertanya pun, dari pesan yang ia terima dari kakak iparnya sudah membuktikan hal tersebut. Ibu jarinya menari di layar handphone setelah itu terhenti melihat 'My Wife' disana. Rahang nya mengeras kuat meraih gelasnya lalu meneguk gin sekali tenggak lalu melempar gelas tersebut hingga pecah. "b*****t. Biadab. Fuck." Kata umpatan benar-benar tak urung membuat sesaknya reda, malah semakin menyesakkan. Ia menekan tanda panggil, tidak peduli dia mungkin akan mengganggu kebahagiaan wanita itu. Tiga kali diabaikan, panggilan ke empat barulah suara Meera terdengar. "Halo sayang, bagaimana disana, semuanya lancar?" Suara mendayu-dayu itu, Kookie malah muak mendengarnya. Nikmatilah pengkhianatanmu wanita lacuur. Umpatnya dalam hati dan berdehem. "Ya, semua berjalan dengan lancar. Bagaimana denganmu?" "Oh? Ah… semuanya baik-baik aja. Ibu juga lebih baik dari sebelumnya." Bulshit sialan. "Oh benarkah, syukurlah. Aku berharap kamu bersenang-senang di sana." "Tentu saja sayangku." Menjijikkan. Tangan Kookie mengepal kuat berjalan masuk ke kamar kembali meraih gin. Kali ini dia menenggaknya langsung dari botol tidak peduli rasa pahit seakan membakar tenggorokannya. "Ada apa? Kamu makan pedas lagi sampai mendesah begitu." Hahahaha, Kookie tersenyum pahit. Jadi, sudah sampai memberikan milikmu di jamah b******n itu ternyata. Disisi lain, mendengar pertanyaan tiba-tiba itu, Meera gelagapan menahan kepala seseorang yang sedang bermain dibawah sana. Sialnya lagi, permainan lidah kekasihnya semakin nikmat sayang jika harus dihentikan hanya untuk seorang Kookie. Dia mengumpat dalam hati. Suaminya ini menelepon di waktu yang tidak tepat. "Oh? Ah… ya.. sa-sayang ma-maaf akghhh! Sa-sayang halo, sebentar Ha Neul appa ponselku bakal mati kehabisan daya. Astaga!!" Meera buru-buru memutuskan sambungan telepon sebelum mendengar ucapan Kookie. Itu semua karena sebentar lagi cairan tubuhnya akan keluar, dia tak kuat menahan nikmat dan mengerang keras. Nafasnya memburu hampir tersendat-sendat, bulu kuduknya sampai meremang, badannya pun bergetar hebat atas pelepasan kali ini. "Oh good, Park Chin Hwa kamu mau membunuhku dengan kenikmatan sialan." Dadanya sampai naik turun membuat pria bernama Park Chin Hwa tertawa kembali mengecup bibir bawahnya seketika dia kembali mendesah panjang. "Kamu suka darling." "Orang bodoh yang nggak suka diberikan kenikmatan seperti ini darling." "Hahaha, dasar lacuur." "Aku suka panggilan itu jika darimu." Keduanya tertawa. Chin Hwa menjatuhkan dirinya di sebelah Meera, tangannya begitu nakal meremas-remas p******a besar istri dari Jeon Kookie seorang Aktor Cello terkenal. "Jadi, katakan suamimu bilang apa?" Meera tersenyum, tangannya pun tak tinggal diam meremas kejantanan mantan kekasihnya sebelum menerima perjodohannya dengan Kookie. Jika bertanya alasan mengapa dia berkhianat? Simpel. Sejak awal pernikahan dia tidak merasakan cinta dari suaminya Kookie. Dia wanita yang ingin disentuh setiap saat. Dia wanita yang menginginkan pasangannya menyatakan cinta setiap waktu. Sedangkan Kookie, lelaki itu melontarkan cintanya hanya pada saat dirinya hamil Ha Neul, selebihnya entah itu tulus atau tidak, Meera tak dapat membedakannya. Dia juga wanita yang selalu ingin diperhatikan secara terang-terangan tidak peduli keadaan sekitar. Karena yang dia tahu, jika seorang pasangan melakukan hal tersebut tanpa merasa malu atau gengsi, itu membuktikan bahwa dia mencintai pasangannya. Meera mendapatkan semua itu dari Chin Hwa. Lagipula mereka saling mencintai. Ah, lebih tepatnya dia mencintai permainan pria ini. Kalau boleh jujur, perasaannya pada Chin Hwa sudah digantikan oleh suaminya Kookie. Hanya saja, kembali lagi dari awal dia menginginkan lebih dari Kookie yang datar-datar saja. Mungkin kata kasarnya, dia butuh penyaluran atas kebutuhan yang tertahan selama menikah dengan Kookie. Dia sangat menyayangkan hal ini, tapi mau bagaimana lagi, saat berhubungan seksual dengan Kookie, suaminya tidak terlalu memuaskan hasratnya. Jika Kookie hanya ingin sekali, dia mau dua kali. Begitu seterusnya. Intinya sih dia anak tunggal jadi selalu dimanjakan orang tua. Mungkin itu salah satu faktor yang membuatnya begitu egois menginginkan lebih tidak mau kurang. Hubungannya dengan Chin Hwa kembali terjalin enam bulan kehamilan. Dan di waktu itu, hormon wanita hamil berada di puncak sedangkan Kookie tak henti-hentinya melakukan konser. Saat dirinya menggoda Kookie memakai lingerie seksi, yang dia dapat hanya kecupan di kening setelahnya di tinggal tidur. Siapa yang tidak kesal kalau di gituin. Sekalinya main, malah ogah-ogahan. Bermain dengan mainan berbentuk kelamin laki-laki juga percuma, dia tidak akan puas. Tidak usah heran begitu, perlu diketahui bahwa sebelum menikah, dia dan Chin Hwa sering melakukannya. Apalagi mereka berpacaran sejak kelas 11 hingga lulus kuliah itu pun sering terjadi putus nyambung. Ah satu lagi, perlu diperjelas, hanya saling memuaskan lewat tangan dan mulut tidak sampai kehilangan keperawanan karena mereka masih berpikir dua kali untuk melakukannya. Lebih tepatnya takut hamil sedangkan mereka masih terlalu muda untuk menjadi seseorang yang bertanggung jawab. Bisa saja sih pakai pengaman, hanya saja keduanya kompak berkata tidak akan merasa puas jika ada penghalang. Chin Hwa pria ini bisa memuaskan hasratnya yang terpendam, dan juga melampiaskan sakit hatinya setelah mengetahui bahwa ternyata Kookie masih mencintai cinta pertamanya. Meera menghela nafas meraih handphonenya yang bergetar di samping kepala. Pesan dari Kookie. Suamiku : Kalau ibu sudah sehat kembalilah lusa, kasian Ha Neul. Suamiku : Aku juga kembali lusa. Jadi, habiskan waktumu di sana sebelum kembali. Me : Baiklah, aku kembali lusa. Aku mencintaimu. Suamiku : Aku juga Chin Hwa tertawa melihat pesan Meera. "Kalau cinta, tidak mungkin kita sampai kemari untuk memuaskan hasrat seksual liarmu ini." sahutnya terdengar menyebalkan di telinga Meera, tapi dia membenarkan hal tersebut. "Kalau begitu, masukkan rudalmu puaskan aku sampai pingsan, besok kita harus pulang." "Benarkah? Ah kamu nggak seru." Tuk. "Ah, darling sakit." Chin Hwa mengeluh mengusap keningnya setelah Meera mengetuknya sedikit keras. "Aku nggak peduli, cepatlah puaskan majikanmu darling. Buat dia menjerit-jerit sampai tidak sadarkan diri." Pria itu tersenyum menyeringai memposisikan kejantanannya di tempat yang sangat ia sukai, milik istri orang memang menantang daripada milik istri sendiri. Batinnya dan sekali hentakan keras sontak Meera memekik keras. Park Chin Hwa… Chin Hwa hanya seorang karyawan biasa perusahaan elektronik merek G di Seoul, sudah pasti orang tua Meera tidak menyetujui hubungan mereka. Bukan bermaksud merendahkan harga diri pria itu, mereka hanya tidak ingin Chin Hwa kewalahan dengan pola hidup Meera. Meera tidak akan pernah bisa lepas dari kemewahan, sementara bersama Chin Hwa sudah pasti anak itu harus memulai dari nol. Orang tua Chin Hwa pun seorang petani di busan dan Meera tidak akan pernah mau ngebiarin dirinya sakit-sakitan melakukan pekerjaan berat karena setelah menikah Meera harus melepas marga dari orang tuanya guna mengikuti keluarga suaminya. Bertanya soal pekerjaan orang tua Meera, sang ibu ketua hakim di busan sedangkan ayahnya sendiri pemilik Hotel terbesar di Busan. Artinya dari dalam rahim Meera sudah berkecukupan apalagi dia anak tunggal. Lagipula Chin Hwa juga sudah punya 2 anak dari pernikahannya dengan gadis dari pemilik restoran kecil di Seoul. Lalu bagaimana dia dan Meera bisa berlibur sampai ke benua Eropa? Simpel. Kebetulan dia dan Tim nya mendapat kepercayaan untuk melakukan penelitian terhadap konsumen di sana yang memang untuk saat ini puncak hallyu semakin meningkat pesat hingga memasuki wilayah pasar Eropa. *** Dengan mata terpejam, Arumi mengeluarkan air minum dari kulkas setelah itu berbalik kembali ke kamar. Namun langkahnya terhenti mendengar bell rumah berbunyi. "Umi bobo jalan?" Kepalanya sontak menoleh terkekeh menggeleng kecil mengucek-ucek kelopak matanya. "Nggak anty, tadinya biar bisa bobo lagi." "Astaga, kirain." "Itu siapa malem-malem bertamu?" Takut aja ada perampokan atau cuma kerjaan orang iseng, siapa yang tau. Banyak yang seperti itu soalnya. Pencet bell rumah orang buat hiburan doang tanpa peduli pemilik rumah terganggu apa nggak. Lintang mengeratkan piyamanya berjalan ke pintu, Arumi mengikutinya pelan jaga-jaga kalau apa yang dia pikirkan benar. Terlihat Lintang tertawa melihat muka cemas ponakannya dan berkata, "Tenang aja, ini om Jay. Dia sempat keluar tadi pas dapat telpon dari club." Kening Arumi mengernyit. "Om Jay punya club?" "Gak dong. Itu...sebentar sayang anty buka pintu dulu." Arumi mengangguk kecil berdiri di samping sofa, matanya tak lepas dari Lintang. Tak lama, pintu terbuka lebar terlihat Jayden memapah seseorang. Kaki nya secara perlahan melangkah mundur menjauh dari sana. Lintang terlihat membantu suaminya membawa orang itu ke sofa lalu dibaringkan. "Sayang, ambilin air dingin." Lintang mengangguk berjalan ke dapur, ia sempat melempar senyum tipis ke Arumi setelah itu mengambil air kemudian kembali ke ruang keluarga. "Yaang, air minumnya." Mendengar itu, Jayden membangunkan pelan kepala orang tersebut dan tampaklah muka tak b*******h seorang Jeon Kookie. Arumi meringis pelan-pelan mendekati mereka. "Dia kenapa om?" Bukan kepo atau ingin ikut campur, dia hanya sekedar pengen tau aja apa yang telah terjadi sampai Kookie mabuk lagi seperti kemarin malam. Mana mukanya lebih miris banget, lebih memprihatinkan sekarang dibanding waktu itu. "Om nggak tau, tiba-tiba aja anty kamu dapat telpon. Katanya cuma ingat nomor hp dia. Jadi, karyawan sana minta Kookie di jemput soalnya ngamuk sampe maki-maki orang. Untung belum sempat di bawa polisi." Mendengar penjelasan Jayden, Lintang membuang nafas kasar merasa yakin ini ada hubungannya dengan Meera. Wanita ular itu benar-benar membuatnya kesal sudah melakukan hal yang tidak pernah ia sangka-sangka. "Ya udah, aku mau ambil selimut dulu, biarin disini nanti aja pindah ke kamar tamu. Umi bobo gih, ini udah tengah malam sayang." Suruhnya pada Arumi dan gadis itu hanya tersenyum mengangguk. "Malam anty, om Jay." "Malam princess." Sebelum berlalu pergi, Arumi sempat melirik Kookie. Ada kehancuran di wajah lelaki bermarga Jeon itu. Dan itu membuat hatinya berdesir merasa kasihan. Memang benar, bertahan demi kepentingan orang lain apalagi untuk anak itu tidaklah mudah. Arumi banyak belajar dari pengalaman sang daddy. Arumi berharap pengorbanan Kookie mendapat sesuatu yang tidak pernah ia bayangkan. Kebahagiaan yang hakiki dan abadi seperti sang daddy setelah menemukan orang yang tulus padanya. Arumi meraih handphone miliknya sekedar mengecek pesan masuk dari rekan kerja. Dan benar, tak lama ada panggilan masuk dari Jihan Margaretha sahabat sekaligus asistennya di meja operasi sebagai perawat. Cuma Jihan yang tahan dengan sikap dingin dan ketus Arumi. Baginya, sikap Arumi itu malah jadi daya tarik tersendiri dan dia malah senang Arumi bersikap seperti itu. Dan mungkin itu juga yang bikin seseorang memendam perasaannya. Siapa? Adalah seseorang nanti juga tau. "Hem, kenapa?" "Hahhh… syukurlah kamu angkat." Mendudukkan dirinya dan bersandar pada sandaran kasur dan mempertajam pendengaran. Kalau dari cara Jihan menghela nafas, sudah pasti ada sesuatu yang gawat. "My bestieee tolongin dong please. Cuma kamu yang bisa aku andalkan. Kevin? Boro-boro katanya harus ada persetujuan pak kepala sedangkan nyawa seseorang harus diselamatkan." "Sebentar, sambungkan di layar saya pinjam laptop dulu." "Thanks baby." Arumi hanya berdehem berjalan ke lantai bawah dimana Jayden kembali berkutat pada laptop dalam pangkuannya. Jayden menoleh mendengar langkah seseorang. Senyumnya mengembang. "Kenapa? Butuh sesuatu?" Arumi menggigit bibir bawahnya melirik Kookie yang terlelap dalam balutan selimut. Setelah itu fokus pada Jayden. "Boleh pinjam laptop nggak om," Tanpa bertanya untuk apa, Jayden mengangguk. "Bentar ya, om rapihin kerjaan dulu. Darurat dari rumah sakit ya?" Sudah pasti, Jayden tau soal itu dari air muka Arumi. "Makasih om. Bentar aja kok," "Santai, pake aja. Mau coklat hangat nggak? Om mau buat kopi." "Nggak deh." "Oke." Begitu terhubung dengan Jihan, Aura seorang Arumi berubah menjadi lebih tegas. "Jihan, jelaskan. Dokter Kevin bersiaplah," "Baik dokter." sahut Kevin terlihat mengambil posisi begitu juga Jihan menjelaskan masalah yang terjadi pada pasien. "Liana Larasati 16 tahun pendarahan pada d**a, dan tekanan pada saraf pusat tertentu…"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD