GAWAT! BERDUA DOANG

2053 Words
40 menit kemudian baru lah Arumi melakukan peregangan otot memijat pangkal lehernya. Jayden di sebelahnya menggeleng kecil melihat Arumi begitu teliti membantu rekannya meski dia kini dia seharusnya tidak mesti ikut campur karena masih dalam masa cuti. Arumi membackup data ke email miliknya agar bisa diperiksa nanti. Setelahnya, ia menaruh laptop di atas meja lalu melempar senyum. "Udah?" Ia mengangguk sebagai jawaban dari pertanyaan Jayden. "Makasih om, Umi mau ke kamar lagi." Ucapnya berdiri tak lupa meraih handphonenya. "Oke, selamat istirahat. Om juga mau ke kamar habis ini." "Malam om." "Malam princess." "Hehe." Melihat kepergian Arumi, Jayden menendang kecil kaki Kookie. Laki-laki itu mengeram memukul pelan kepalanya lalu bangun duduk. "Bangunlah, saya tau kamu udah bangun dari tadi. Katakan masalahnya apa?" Kookie hanya diam memijat pangkal hidung menanggapi pertanyaan Jayden. Dia belum sepenuhnya sadar, dan tidak ingin melampiaskan kemarahannya pada suami Lintang ini. "Baiklah, istirahat saja dulu besok kamu bisa cerita kalau emang gak keberatan. Pindah ke kamar ujung sana." "Thanks." Jayden menepuk pundak Kookie, setelah itu berlalu pergi meninggalkan dia yang kembali berbaring sambil termenung menatap langit-langit ruang tamu. Sebenarnya dia sudah bangun sejak Arumi membantu rekan nya. Ia tersenyum kecil mengusap wajahnya kasar. "Dia terlalu perfek untuk orang sepertiku. Cih, apa yang kupikirkan. Bagaimana pikiran bodoh itu datang padaku. Mimpi saja tidak pantas apalagi memikirkannya untuk bersanding dengannya sementara namaku dan lacuur sialan itu masih ada di catatan sipil." Menghela nafas kasar. Rahangnya kembali mengeras mengingat teleponnya dengan Meera. Jelas-jelas dia mendengar suara erangan kenikmatan wanita itu bersama seorang pria. Apa katanya, daya ponselnya habis? Omong kosong. Crash! Terlalu marah telah dikhianati sampai handphone tak bersalah pun tidak sengaja terhempas di dinding kamar hotel. "Aku akan membalasmu Meera bahkan lebih sakit dari yang kurasakan sialan." "Kalau aku tau akan terluka separah ini… aku tidak akan membiarkan diriku terjebak dalam hubungan yang hanya menguntungkan pihaknya. Ha Neul, appa… menyerah berbaik hati pada omma mu. Maafkan appa nak," Di atas sana Arumi tak sengaja mendengar ucapannya terdiam memandang pria itu lurus dengan tatapan dalam. Ia kemudian menghela nafas angkat kaki dari sana kembali ke kamar. Hidup memang berat untuk dijalani, terlebih lagi ketika cinta mendapat penghinaan dari orang yang kita percaya. Terkadang sesuatu yang sangat penting bisa hilang namun terlepas dari itu… hal berharga akan menjadi pasangan yang sempurna dan tentu saja menggantikan posisi yang kita sebut penting. Arumi tidak pernah merasa kehidupannya akan berjalan sempurna, terlebih dia belum pernah merasakan cinta dari lawan jenis. Dia tidak terlalu memikirkan hal itu, baginya untuk saat ini bergantung pada pasangan apalagi terikat status oleh laki-laki bukan waktu yang tepat. Hahh… sering sih sang daddy bertanya, "Arumi udah punya pacar atau belum? Kapan nih daddy bisa melihat calon menantu ke rumah sekedar jalan-jalan aja gapapa. " Sayangnya bukan dia yang kesel melainkan adik-adiknya. Arumi kadang senyum-senyum sendiri kalau mengingat bagaimana Adelio dan Oscar berteriak kesal karena pertanyaan sang daddy. "Ahh, jadi kangen mereka deh." Tangannya meraih handphonenya yang bergetar. Jihan : Thanks baby, love you Kevin P : Thanks berkatmu pasien selamat Pesan wassap bersamaan masuk dari Jihan dan Kevin mengucapkan terima kasih atas bantuannya. Me : It's oke. Me : Lain kali pasien lebih utama Kevin P : Siap dokter hehe Hanya itu setelahnya, dia perlahan memejamkan mata berharap besok lebih baik dari sebelumnya. *** Pukul sembilan pagi Arumi masih bergelut dengan selimut, tak ada tanda-tanda ingin beranjak dari sana. Sementara dibawah sana, Ruby dan Lintang serta Jayden lagi sarapan. Ahh Kookie? Laki-laki itu sama seperti Arumi, tak ada tanda-tanda mau bangun. "Yaang, Kookie… dia ada ngomong nggak dalam perjalanan pulang semalam? Lin nggak maksud apa-apa kok, cuman mau ngebantu dia aja. Lin gak pernah ngeliat Kookie sampai kayak gini." Mendengar hal itu, Jayden menolehkan kepala melihat ke arah Kookie yang terlelap. Pria itu masih di sofa tidak pindah ke kamar seperti perintahnya. Ia jadi mengingat racauan Kookie dalam perjalanan semalam. "Jay hyung, saya… saya menyesal nggak berjuang untuk Lintang." "Jadi," Jayden tidak marah. "Bukan apa-apa, hanya menyesali saja." "Apa yang terjadi?" "Hahaha, kamu tau hyung," Jayden menggeleng, Kookie kembali tertawa bertepuk tangan berkata, "ibu Ha Neul jadi lacuur BAHAHAHAHA." "Apa!? Kook, kamu keterlaluan. Jangan menuduh__" "Saya menuduh? Hahaha saya bukan orang yang seperti itu Hyung. Bukti? saya punya buktinya. Sebentar, ponsel… ah, dia pecah terlempar di dinding hehe." "Kookie," "Hyung… dia melakukannya." "Maksudnya?" "Desahan, erangan sampai puncak kepuasaan sangat jelas… sampai rasanya sesuatu tengah menghimpit dadaku." " … " "Kenapa hyung? Apa salahku sampai dia tega berkhianat. Aku… aku sudah menerimanya. Ibarat sebuah lilin, aku tidak mau lilin itu mati karena terlalu takut kegelapan. Aku… aku sudah pernah kehilangan seseorang yang penting dengan mengubur perasaan akan takut terluka lagi. Tetapi, setelah Ha Neul ada di antara kami, apa yang terkubur perlahan di tumbuhi bunga yang indah dari Ha Neul. Saat itu, aku mulai membuka tempat yang baru dan perlahan mencintainya. Lalu sekarang… lihat apa yang kudapat? Pengkhianatan. Kalau dipikir-pikir lagi, hanya tinggal 10 persen hati ini benar-benar yakin bahwa aku dan dia ditakdirkan." "Aku… " Kookie menepuk dadanya kuat lalu berteriak. "... AKU SUDAH MUAK! HEI, KANG MEERA TUNGGU PEMBALASANKU SIALAAN!!" Puk. "Oh?" Jayden tersentak dalam lamunan menatap wajah cantik istrinya. "Kenapa?" "Hoh, papa kenapa? Apa berantem lagi sama mama gara-gara uncle bobo di sini? Tapi 'kan uncle nggak gangguin kalian bobo, kayak Uby yang sering bobo di tengah papa sama mama hehe." Timpal Ruby polos sebelum melanjutkan omongannya yang semakin ngasal. Seperti… "Apa jangan-jangan uncle beneran bobo di tengah?IH JAHAT!! KENAPA NGGAK SAMA UBY AJA SIH." "Uhuk… uhuk… " Lintang terbatuk menepuk-nepuk pelan dadanya. Sedangkan Jayden melotot kemudian mendelik tajam mengerang-erang layaknya maung berperawakan kucing menggenggam erat garpu dan pisaunya. Merasa suasana gawat darurat untuknya, Lintang buru-buru memakaikan tas ransel pada Ruby lalu beranjak menarik tengkuk Jayden mengecup bibir suaminya itu. Untuk pertama kalinya Lintang berani berbuat nekat pada suaminya di depan mata Ruby. "Huaaa… mama keren." Terlihat Ruby mengacungkan kedua jempolnya memandang orang tuanya kagum. Apa yang dikagumi sih? "Love you mas maung. Entar malam Lin bakal servis kesayangan kamu sampai puas. Kalau perlu aku ke kantor nanti." Bisiknya tersenyum dan kali ini kecupan mendarat di kening dan bibir Jayden, setelah itu ia mengajak Ruby pergi. "Tapi ma, sarapan Uby gimana? Katanya nggak boleh sisain makanan?" "Untuk hari ini boleh, ayo entar Uby telat masuk kelas takut macet. Yaang, aku sama Uby berangkat. Sarapan buat mereka tinggal di panaskan, bye daddy maung." Berada di mobil, Lintang mengusap dadanya bersabar. Entah putrinya terlalu polos atau apa, menurutnya omongan Ruby sedikit melewati batas. "Uby, dengerin mama." Dan selama perjalanan ke sekolah, Ruby hanya diam menunduk mendengar semua ucapan sang mama. Kali ini Ruby merasa sang mama sedikit keras padanya. Dia jadi berpikir, mama nggak sayang Uby karena akak princess datang? Salah. Yang Ruby pikirkan, dia salah kali ini. Tapi, salahnya dimana? Nah, itu yang Ruby bingungkan makanya dia diam saja mendengar omelan mamanya yang sama sekali tidak masuk dalam penampungan para otak buat disaring. *** Kookie meringis menurunkan kedua kakinya menjauhkan kepalanya dari bantal dan duduk tegak meringis-ringis pelan. Dia mabuk. Arggh sial. Bagaimana bisa dia di rumah Lintang dan Jayden?Apa yang telah ia lakukan sebenarnya sampai kepalanya terasa ingin pecah. Ternyata pikun manteman. Ia melongokkan kepalanya celingak-celinguk mencari keberadaan pemilik rumah. Berniat untuk pamit, dia mesti kembali ke hotel mencari handphonenya. Harusnya dia bermain dengan Ha Neul semalam lewat vc, sayangnya dia malah mabuk-mabukan. Kenapa juga menelpon lacuur itu, sudah tau ujungnya seperti ini masih juga belum sadar. Kookie berjalan ke dapur sembari memijat pelipisnya. Membuka kulkas mengambil air dingin lalu berjalan kembali ke sofa. Saat ingin duduk, matanya melihat note di atas obat pengar di meja. Menariknya pelan lalu duduk dan membacanya dengan teliti. "Tidak usah ke hotel, nanti asisten saya bakal kesana buat ngambil barang-barangmu. Oyah, mungkin aja Arumi belum bangun, kalau bisa tolong panaskan sarapan biar kalian bisa makan sama-sama. Saya ada pertemuan di kantor, Lintang mengantar Ruby. Ingat, cctv memenuhi ruangan jadi jangan macam-macam padanya." Kookie mendengus memutar bola mata, sebelum mendongak menatap lantai dua rumah ini. Tiba-tiba saja dia senang bisa menghabiskan waktu berdua Arumi. Khem, lebih baik basuh muka sebelum memanaskan sarapan mereka. Kalau perlu mandi biar cakep hehehe Hufff, dia deg deg an. Sial. Gadis itu tidak baik untuk kesehatan jantung. Tak dipungkiri bahwa dia b******k nggak sih? Semalam hatinya patah hingga tumbang porak-poranda, lalu sekarang… dia malah berbunga-bunga bisa berduaan dengan anak gadis Elvano dan Abi. Sembari mengucek-ucek mata, Arumi berjalan pelan menuruni tangga. Kesadarannya belum sepenuhnya terkumpul, jari telunjuk dan tengah menjepit kertas yang sama seperti Jayden tinggalkan untuk Kookie Dia belum membacanya, belum sempat keburu haus. Biasanya air selalu tersedia di kamar, ia juga lupa membawa air semalam. Bukan lupa, lebih tepatnya mau mengambil semalam keburu tidak enak sama seseorang. "Aahh, mataku sakit lagi jadi buram begini." Semalam dia lupa memakai Orthoptic glasses sejenis kacamata terapi yang digunakan oleh dokter spesialis mata untuk mengontrol koordinasi dan pergerakan bola mata, dengan tujuan memperbaiki penglihatan. Arumi rabun dekat, tapi tidak terlalu parah karena rabun nya terkadang-kadang saja selama tiap malam dia rutin memakai Orthoptic glasses agar terapi nya berjalan teratur. Mata Arumi rabun baru-baru ini sih, terlalu memforsir diri sendiri dengan terus mencari tau tentang dunia kedokteran lewat buku bahkan dia sering kali nonton drama Korea yang berhubungan dengan kedokteran. Katanya sih, banyak informasi yang menarik disana sayang kalau dilewatkan begitu saja. Kookie bersiul keluar dari kamar mandi, mengusap kepala dengan handuk kecil tanpa sadar sepasang mata kini tertuju padanya. Glek. "... hiyaaaa!!" "Astaga!!" Yang membuat seorang Arumi terdiam kaku sebelum memekik kaget, tubuh atas Kookie polos bagaikan pahatan kayu yang disiram air dengan buliran masih terlihat jelas di sana. Mata Arumi memang buram tapi itu jika jarak dekat sedangkan Kookie… pas sekali. Kookie reflek ikut memekik kaget hampir saja terjatuh kalau saja tangannya tidak kuat memegang gagang pintu. Matanya membulat melihat Arumi tengah menutup mata. "Ar-arumi!" Keduanya langsung sadar serentak segera balik badan. Duk. "Ahh. Sial." Kebetulan pintu kamar mandi belum tertutup jadi Kookie berniat masuk kedalam lagi, sayangnya bukannya pintu di dorong ia malah menariknya keluar jadinya keningnya terbentur. Duk. "Akh. s**t. Brengseek." Kali ini umpatan itu dari Arumi yang tidak sengaja menendang sudut kaki meja. Sakit banget itu. Arumi melompat-lompat kecil mengusap sakitnya. Nggak sengaja nengok Kookie, tau-tau Kookie juga nengok ke dia. Arumi buru-buru menjauh dari dapur bodo amat sama sakitnya. Sedangkan Kookie juga buru-buru masuk kamar mandi lagi, menjatuhkan punggungnya di daun pintu. Suara langkah Arumi sudah hilang dari pendengaran, Kookie menghembuskan nafas lega melihat badannya lalu meringis. Sial. Kenapa juga dia tidak di kamar saja mandinya, malah kamar mandi dapur. Kookie berkata dalam hati, "Biarpun Arumi dokter yang sudah biasa melihat badan pasien, tetap aja Umi pasti malu untuk keluar kamar lagi." Sial. Mana lupa pake baju habis mandi. Kookie bukan malu, dia malah bangga sekali melihat pahatan dan gestur badannya belum berubah meski di umur kepala 3 ini. Dia cuma takut Arumi salah paham, kembali menganggapnya pedofill. "Hadehh, masalah lagi." Bukannya ngabisin waktu berdua dengan baik, ini malah bikin mereka jadi canggung lagi. Ngomong-ngomong, dia ingat semalam. Meski terdengar sayup-sayup, suara tegas dan berwibawa Arumi saat berhubungan dengan kedokteran. Benar-benar gadis impian. Pikirnya terkekeh kecil. Psshh… tiba-tiba saja pipi dan telinganya memerah. Plak. "Sadarlah bodoh." Arumi menutup pintu sedikit keras bersandar di daun pintu memegang dadanya. Membuang nafas kasar melirik daun pintu lalu berjalan ke ranjang dan menjatuhkan diri di kasur. Kalau begini, dia bakal kelaparan. Mana bisa dia keluar dalam keadaan hati tidak tenang. Glek. Nggak tau kenapa, tiba-tiba saja menelan ludah kasar mengingat bentuk badan Kookie. "Hahhh, ideal. Oh!? Ngomong apa kamu Umi!? Dasar bodoh." Memukul kepalanya pelan guna menghilangkan Kookie dalam otaknya yang seolah mencetak Kookie dalam beberapa potongan di sana. "Aarrgghh sial. Aku harus gimana?" Bangun duduk menatap pintu. "Apa perlu keluar pura-pura tidak terjadi sesuatu atau diam kelaparan disini?" Pilihannya hanya itu, karena tidak mungkin dia meminta bibi membawa makanan ke kamar sedangkan di rumah ini tidak punya pelayan di jam segini. Sibuk menimang-nimang pilihan yang tepat, ia baru sadar note di tangannya kini berbentuk bola. Dia pun merapikan kertas kecil tersebut dan membacanya. "Om ke kantor, anty Lin nganter adikmu dan bakal ngajar dulu. Umi sarapannya sama Kookie ya, tenang aja dia gak… apaan berani banget malahan nggak pake baju di rumah ini. Udah tau cuma berdua doang, cih." Arumi meletakkan note tersebut di meja rada kasar, kembali berbaring memeluk boneka pemberian Ruby biar ada temen katanya. Jadi… sekarang dia harus apa?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD