SPESIAL NAMUN TERKUBUR

2048 Words
Adelio sedang berbaring di atas matras. Melihat sang abang dari dalam rumah, Oscar berjalan keluar menghampiri Adelio yang berada di taman belakang. Hanya ada mereka berdua dan para pelayan. Adelia lagi keluar sama Joshua anak Nino dan Soraya. Sementara orang tua mereka sudah pasti… berpacaran di kantor apalagi selain itu, nothing. "Abang, jadi ngambil jurusan penerbangan?" Adelio sekilas melirik menghela nafas mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan si bontot Oscar. "Terus kenapa tuh muka asem banget? Bukannya mom sama daddy udah ngasih ijin? Akak juga udah 'kan?" Bingung aja. Oscar tidak pernah melihat abangnya ini begitu serius jika tidak berhubungan dengan keluarga dan sekolah. Sekali lagi Adelio menghela nafas berkata, "Besok nikah__" "Astaga Abang, nyebut bang nyebut!" Dalam keadaan berbaring muka Adelio jadi datar, Oscar memekik keras mengguncang badannya dengan dorongan di bahu. "Oscar apa sih, astaga!" "Ups, hehe." Oscar bergeser menjauh dari Adelio, bisa dilihat pemuda itu malah cengengesan mengangkat kedua tangan menekuk lutut. Adelio mendengus kesal mau marah juga tidak bisa, ujung-ujungnya Oscar bakal ngadu sama Arumi. Kenapa bukan ke Elvano atau Abi, alasannya dikarenakan seberapa besar pertengkaran anak-anak mereka, keduanya sudah memutuskan untuk tidak ikut campur kecuali benar-benar melewati batas-batas dari peraturan dalam keluarga. "Kamu tuh ya, ish." Oscar masih cengengesan lalu memelas mendapat lirikan sinis dari Adelio. "Maaf." Adelio menghela nafas. Bangun dari tempatnya lalu duduk. Oscar jadi merangkak kembali mendekati sang abang. "Jadi, bang Lio, kenapa? Si abang malah cemberut memainkan bunga anggrek sang mommy. Hemm, apakah dia patah hati? Sepertinya sih begitu. Oscar mengangguk-angguk mengetuk-ngetuk dagu berpikir. "Mau solusi nggak?" Dengan cepat Adelio melihat ke arah Oscar. "Coba ngomong sama mommy, siapa tau ada solusi." "Hadehhh," bahu Adelio melemas mendengus memutar bola matanya kesal. "Kenapa? Cuma itu solusi nya bang. Ingat ya, masalah dalam keluarga Logan dan Wijaya, dari kakek sampai kita-kita pada bocah ini hanya dapat mempercayakan semuanya kepada nyonya Lo-tu-dhe-Wi yang artinya adalah Logan dan Wijaya yang terhormat." Oscar mengatupkan bibir tersenyum menutup mata sambil menepuk-nepuk d**a. Betapa kagumnya pada sang mommy yang selalu menjadi pemecah masalah dalam keluarga mereka. "Bagaimana tuan muda, apakah saya salah? Jika salah, silahkan minggat jangan bawa apa-apa selain tulang dan dosa anda." Oscar membuka mata kini tersenyum lebar. Semakin lebar melihat cengiran kuda sang abang memberikan dua jempol mengangguk-angguk. "Waw impresif sekali ha-ha-ha." Keduanya bertepuk tangan tertawa, entah apa yang mereka tertawa'kan karena itu terlalu kringe untuk ditertawakan. "Anyway, kalau Oscar rasa itu exactly kita __" "Halah, sok jaksel kamu!" Adelio mengejek Oscar. Si adik mengeram kesal begitu telapak tangan lebar meraup muka tampan kebanggaannya sebelum sang kakak berlalu pergi. Perlu diketahui, Oscar paling membanggakan wajahnya yang katanya sebelas dua belas dengan sang daddy. Iya sih, soalnya kedua kakak kembarnya campuran bapak sama emak jadi rada nano-nano tidak sepertinya yang seperti cetakan seorang Elvano versi remaja. "Ikut nggak, aku mau ke kantor daddy." Mendengar hal itu, secepat kilat Oscar berlari mengikuti sang abang tak jadi marah malah gelandotan di lengan Adelio. "Lho, kemana?" Amira mencari kedua cucu laki-lakinya. "Bibi, anak-anak mana?" Tanyanya pada bibi yang lewat. "Eh? Wah… kayaknya aden pada lupa pamit sama nyonya. Tadi, kalau nggak salah dengar mereka mau ke kantor presdir." Mendengar itu, Amira mengangguk. Tidak lama handphone di tangannya berdering. Senyumnya mengembang sempurna melihat cucu bontotnya menelpon. "Halo sayang, katanya keluar ya?" Ia bertanya begitu panggilan terhubung dengan sang cucu. "Iya nek, maaf kita lupa pamit kirain nenek udah jalan sama nanny." "Iya gapapa sayang, kalian hati-hati. Kalau bisa, adek telpon Lia biar nanti sama-sama pulang soalnya nenek mau nginap di tempat nanny." "Wokeh nenek. Salam sama uncle muda ya hehehe." "Iya sayang. Abang, jangan ngebut." "Siap laksanakan bos sepuh." "Wkwkwk dasar. Hati-hati." "Love you nenek." "Nenek juga sayang." Berselang beberapa menit, keduanya tiba di basemen kantor. Di tempat lain, Elvano mengecup kening Abi, menarik selimut menyelimuti tubuh polos istrinya. Senyumnya tak pernah luntur, biasa.. habis main kuda-kudaan. Jadi, ya maklumi saja. "Mas, mau kemana?" Abi menahan Elvano yang hendak beranjak setelah memunguti pakaian mereka. "Nggak sayang. Mas mu ini mau bersih-bersih dulu, sama ada wa anak-anak mungkin udah dibawah." "Ya udah sekalian, masa aku di tinggal sih." "Nggak capek?" "Enak aja, capek lah." Elvano tertawa menjatuhkan dirinya di samping Abi dan memeluk istrinya erat. "Kenapa sih, ketus gitu. Mau lagi, entaran aja sayang gak enak sama anak-anak." Abi membalikkan badan mengecup bibir Elvano sekilas dan tersenyum manis. Manis banget sampai Elvano dibuat gugup merasa sesuatu yang salah. "Ke-kenapa?" "Gapapa. Hanya… entar malam mas bobo nya di ruang kerja aja ya," Tuh kan. "Ih nggak mau. Pokoknya mau sama mommy aja, nggak mau bobo sendiri." Elvano ndusel di ceruk leher Abi ngerek nggak mau tidur berpisah. Masalahnya, akhir-akhir ini Abi sering tidur sendiri sebelum dia pulang dari kantor tanpa menunggu seperti sebelumnya. "Kamu juga kadang bobo nggak nunggu mas lagi. Kan kesel akunya." Suami manja Abi itu semakin merengek menenggelamkan wajahnya di sela kedua d**a polos dan lembut istrinya. Geli tapi nggak bisa ngelarang. Jadi, lebih baik diam mengusap surai hitam Elvano. "Makanya jangan na…" "...kal. iya janji nggak nakal lagi. Bobo nya nanti sama mas ya, please." Elvano tetap Elvano. Begitu pula Abi tetaplah Abi. Keduanya saling terhubung secara langsung dengan baik. Dalam benak Abi hanya satu, siapa dia berani menolak keinginan Elvano? Kisah mereka memang betul sudah selesai, tetapi tugas sebagai orang tua belum selesai bahkan baru dimulai. Jadi, sudah pasti… dia butuh tenaga dan itu ada pada suaminya ini. Hari ini Abi begitu senang, Elvano ingin dipanggil mas olehnya setelah 17 tahun pernikahan. Katanya sih, panggilan daddy darinya cukup anak-anak saja dan saat dikamar. Sudah pasti Abi tau maksudnya, tapi gapapa selama Elvano sudah mau dipanggil mas olehnya. "Oke, dimaafkan." "Ahhh, makasih sayang." Rentetan kecupan manis ia terima dari Elvano tak urung membuatnya tertawa kecil. "Ayo angkat aku, sebelum anak-anak masuk sekarang." "Gaskeen baibeeh." Abi kembali tertawa mencubit gemas kedua pipi suaminya. Tok.tok.tok. "Dimohon berpacaran dengan bermandikan keringat hot untuk saat ini hentikan sementara. Karena kedua bujang kalian sedang butuh nasehat. Gimana, good 'kan?" Adelio mengacungkan jempol tersenyum lebar mendengar gurauan atau mungkin gangguan untuk sang daddy dari si bontot Oscar. "Kamu dengar itu, anakmu nyebelin." "Orang mas juga gitu kok." "Ish." "Hahahaha." *** "Mama, Ruby sama akak udah disini." Ruby melambaikan tangan ke arah Lintang, lalu duduk disamping Jayden disusul Arumi. Sementara Kookie, lelaki langsung bersiap begitu mereka sampai di gedung orkestra tempat acara dilaksanakan. Lintang membalas lambaian putrinya, mengarahkan pandangan ke arah Arumi tersenyum melihat senyum gadis itu. "Tadi gak terjadi sesuatu 'kan?" Entah apa maksud sang paman, Arumi tersenyum kecil mengangguk. "Aman hehe." "Syukurlah kalo gitu. Bang Vano tadi ada wa sama om, kalau kamu emang nggak nyaman disini, bisa pulang aja. Sisa cutinya bisa kamu pakai disana. Tapi, itu terserah kamu." "Emm, pake lusa paling pulang om biar ada waktu juga buat adik-adik di rumah. Untuk besok, Umi mau jalan-jalan sama Ruby dulu. Gimana, Uby mau nggak?" Ruby mengalihkan pandangan dari sang mama melihat Arumi lalu mengangguk cepat seperti boneka. "Mau. Asal… " "...asal?" "Jangan diem-dieman kayak tadi, Ruby nggak like ah." "Oh? Ahhh." Arumi menghela nafas menggaruk tengkuk leher nyengir lebar melihat muka cemberut Ruby. Kalau boleh jujur Arumi juga tidak mau hal itu, sayangnya terlalu canggung buat sekedar bergerak bebas karena Kookie disana. Apalagi mengingat kelakuan pria menyebalkan itu, ckh Arumi ingin mencekiknya. "Emang kenapa? Nggak biasa kalian pada diem?" Tanya Jayden. "Bukan Uby pa. Akak sama__" "Oh itu om, aku sebenarnya rada males gerak hari ini soalnya biasa ada tamu." Arumi langsung memotong ucapan Ruby. Adik sepupunya ini terlalu polos dan itu tidak baik untuk semua pertanyaan Jayden juga baginya. Apa yang terjadi dalam perjalanan tadi, Arumi yakin Ruby dengan senang hati menceritakan semuanya tanpa berpikir panjang. "Kenapa nggak ngomong nak, biar om sama tante minta Jeon aja yang kesini bareng adikmu." "Yang ada adik aku ini sedih. Ih gemesin banget sih kamu dek." Ruby emang gemesin, Arumi tidak bohong soal itu selain tamu bulanan tadi. Lihat, senyum lebar malu-malu Ruby menghasilkan dua lubang kecil di sudut bibirnya. "Uwuh, Uby jadi makin sayang sama akak hehe." Ia tertawa membalas pelukan Ruby, begitu juga Jayden melihat keduanya dan tercetus menggoda putrinya. "Itu tuh, makin bebas dia meluk kamu gak ada yang lain." "Ihh, papa mah gitu." "Lho, papa nggak salah dong." "Aku bilangin mama ya, liat aja." Ruby berengut kesal sang papa membeberkan rahasianya. "Makanya om, kasih adek buat si cantik biar ada temen. Kasian tau main sendiri di rumah." Alasan utamanya sih, Arumi tidak mau Ruby merasa sendiri sepertinya waktu kecil dulu. Untungnya sejak kecil Ruby termasuk anak aktif, jadi banyak yang suka. "Dia ada aja udah sujud syukur nak. Om sama Lin juga bingung, kenapa adiknya nggak nongol sampai sekarang." "Udah periksa ke dokter?" "Semua normal." "Gimana sama cairan om?" Arumi sama sekali tidak malu bertanya soal itu, baginya hal biasa sebagai seorang dokter walau bukan dari bidangnya. Hahh…dia jadi rindu menggunakan pisau di ruang operasi. Yang lain juga nggak ada kabar. Apa mereka senang tak ada dia di sana? Menyebalkan. Ia melihat Jayden menganggukkan kepala membuatnya ikut mengangguk. "Hasilnya gimana? Kalau emang kalian masih pengen nambah, entar Umi jadwalkan ketemu sama temen di Harvard Medical biar di cek lagi kalau emang punya masalah." "Semua normal baik om sama anty mu. Mungkin kita emang di kasihnya si cerewet ini doang." Jayden mengusap pipi Ruby penuh sayang, Arumi yang melihatnya semakin melebarkan senyum. "Ih papa, Uby gak cerewet tau." Protes Ruby tidak suka dikatain cerewet padahal dia tidak hanya cerewet tapi juga polos. "Lagian akak sama om ngapain sih, Uby nggak ngerasa sendiri kok. Ada akak princess, akak Lili juga ada, terus abang Lio sama abang kepedean juga ada, jadi komplit deh. Uby punya empat kakak hehe." Lanjutnya menghitung jumlah kakak-kakaknya dengan jari. Arumi dan Jayden tertawa kecil sebelum mereka mulai fokus ke depan sana. Wahhh, Arumi berdecak kagum melihat kepiawaian adik dari sang mommy semakin meningkat. Sayang sekali mommy tidak ikut, wanita kesayangannya itu pasti bakal senyum kagum sekaligus nangis. Ia kadang bingung, mommynya terlalu berperasaan lembut atau memang cengeng wkwkwk. Terlepas dari Arumi yang begitu menikmati permainan Lintang, ada Kookie yang sesekali melirik. Dia tidak bisa mengelak dari pesona gadis cantik berwajah oriental. Bentuk wajahnya begitu sempurna terlebih lagi kulit putih, bersih dan halus. Kookie yakin, Arumi dapat memikat siapapun yang melihatnya. Tak hanya itu, kalau dilihat-lihat lagi Arumi yang cenderung dingin dan ketus itu tetap menawan dan menarik meski performa sedang menurun. Ah sial. Kalau begini terus, Kookie tak dapat mangkir lagi dari perasaan yang tidak pernah ia rasakan selain dari Lintang dan Meera. Bedanya, sensasi ini lebih kuat dan lebih terasa daripada saat dia menjadi teman baik Lintang. Jika sudah seperti itu, hanya satu yang dapat ia lakukan seperti sebelumnya, menjadi pengagum rahasia. Huh… apa lagi-lagi dia diharuskan mengulang kembali kisah asmara sebagai pakar cinta? Lucu sekali. Lagipula apa yang harus dilakukan sementara dia seorang suami dan juga ayah dari bayinya di seoul. Yang lain benar. Dia tidak boleh mementingkan ego demi kebahagiaan diri sendiri jika harus melukai perasaan putranya. Ha Neul terlalu kecil untuk mengerti arti perpisahan orang tuanya. Ha Neul, apakah appa bisa bertahan karenamu nak? Sanggupkah? Itu pertanyaan yang sebenarnya. Butuh waktu lama untuk menghilangkan nama dan wajah Lintang dari hati serta pikirannya. Lalu pelan-pelan menerima perjodohan keluarga berharap bisa melupakan sepenuhnya, dan ya… dia akui itu berhasil walau empat puluh persen masih tersisa. Setelah Dua tahun menikah, bayi mungil berjenis laki-laki hadir dalam pernikahannya dan itu semakin menggeser posisi Lintang dengan mencoba menerima Meera istrinya. Sebulan yang lalu putranya yang bernama Ha Neul Jeon berumur 1 tahun. Hati yang Sembilan puluh persen menerima Meera, siapa sangka kembali mendapat luka bahkan lebih besar dari sebelumnya. Mengalah. Dikhianati. Pengagum rahasia. Benar-benar predikat tertinggi yang ia dapatkan dalam mencintai seseorang. Jeon Kookie, sampai kapanpun kamu tidak akan pernah bisa lepas dari peran seorang laki-laki yang dipaksa untuk tidak terlalu jauh dalam urusan cinta. Kini tiba saatnya Kookie bermain sendiri sebelum dia, Lintang dan teman-teman alumni lainnya main bersama. Cello Concerto dari Alban Gerhardt dimainkan Kookie dengan baik. Tak ada celah untuk tidak memperhatikan segala detailnya termasuk Arumi. Arumi memang tidak pandai dalam bermusik apalagi klasik bergesek seperti itu, tetapi, dalam pengamatannya ia bisa melihat Kookie begitu menjiwai permainannya seolah menggambarkan perasaannya saat ini. Tak lama kemudian lagu diganti lebih memilukan lagi. Beginning To End:atc 11 semakin membuat para penonton merinding dengernya. Cocok untuk perasaannya terhadap Arumi. Spesial namun terkubur. Apa dia benar-benar terluka?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD