Helaan napas lega keluar dari mulut Hani begitu ia duduk di kursi kantornya. Hari ini Hani dan beberapa orang dari timnya bertemu dengan klien yang ingin melakukan rebranding produk unggulan mereka. Tentu saja, seperti yang sudah Hani duga, rapat hari ini pun tidak mudah. Beberapa kali kesabaran Hani diuji, terutama saat klien dengan mudahnya meminta hasil desain diserahkan dalam waktu yang sangat singkat.
‘Mungkin dipikirnya menciptakan logo baru itu semudah mengupas biji bunga matahari.’ batin Hani sembari misuh-misuh.
Hani termangu untuk beberapa saat sembari menatap meja Mona dengan tatapan kosong. Si empu meja yang dipelototi oleh Hani itu sendiri tak terlihat. Pagi ini Mona memang bercerita jika pekerjaannya sudah selesai dan tinggal menunggu hasil akhir saja. Sehingga wajar saja jika Mona pulang tepat waktu hari ini.
Lamunan Hani tepecah saat ponselnya berdering. Dengan malas ia menegakkan punggungnya, yang sebelumnya asyik bersandar di kursi, lalu meraih ponselnya. Begitu melihat isi pesan yang masuk, air muka Hani berubah drastis dari yang tadinya lelah menjadi panik.
Tanpa ba-bi-bu, Hani langsung memijit sebuah kontak dan meneleponnya dalam mode speaker. Seraya menunggu panggilannya diangkat, Hani membereskan mejanya yang tampak semrawutan.
Ketika sambungan teleponnya terangkat, Hani langsung menyambar.
“Maaf, Kak Keanu. Aku lupa sama sekali dengan janji kita hari ini. Aku akan segera turun ke bawah.”
“Santai saja, Han. Tidak perlu terburu-buru. Oh iya, Aku parkir di minimarket seberang gedungmu.”
Rupanya orang di seberang telpon adalah Keanu.
Hani mengangguk lalu ia pun memutus telepon setelah dirasa tidak ada lagi yang perlu dibicarakan. Memastikan tidak ada barang penting yang tertinggal, Hani memindai ruangannya sekali lagi kemudian tertawa hambar saat menemukan objek penting hampir tertinggal.
“Bodoh. Aku membawa semuanya kecuali ponselku.” decak Hani terheran sendiri. Ia pun mengambil ponselnya serta tak lupa mematikan lampu dan pendingin ruangan.
Hani segera masuk ke salah satu lift yang tiba terlebih dahulu meski sudah terlihat agak sesak. Sekadar informasi, branding agency Hani berlokasi di sebuah menara perkantoran sehingga lift yang digunakan adalah lift bersama dengan perusahaan atau kantor lain.
Jika tidak terburu-buru, tanpa ragu Hani akan memilih untuk menunggu lift lain yang belum terbuka. Namun ia mengurungkan niatnya karena memang waktunya pulang kerja sehingga Hani pesimis kondisi lift lain jauh lebih baik dari yang dinaikinya saat ini.
Seraya menunggu lift mencapai lantai dasar, Hani menyibukkan diri dengan ponsel di tangannya. Ia asyik bertukar pesan dengan Keanu. Sesaat sempat ada pergerakan di dalam lift membuat Hani mau tak mau ikut bergerak dan berpindah.
Ketika sudah hening kembali, tahu-tahu, sebuah suara yang biasa Hani dengar di kantor terdengar jelas di telinga kanannya.
“Oi.”
Hani menoleh dan menemukan Leo berdiri tepat di sampingnya. Sebuah kebetulan yang tidak benar-benar kebetulan. Kebetulan karena dari semua lift yang tersedia, ia satu lift dengan Leo. Tidak benar-benar kebetulan karena Leo adalah salah satu orang yang ikut serta dengan Hani saat rapat bertemu dengan klien hari ini. Jika dipikir-pikir, belum sampai satu jam sejak mereka berpisah usai rapat dan kini mereka sudah bertemu lagi di dalam lift.
Mata Hani terbuka sesaat ketika melihat Leo, namun dengan cepat kembali ke ukuran semula.
“Hai.” sapa Hani balik.
“Aku bosan melihatmu, Hani.” sahut Leo sembari memasang ekspresi lelah. Hani tersenyum geli melihat tingkah Leo.
“Kalau begitu pindahkan aku ke tim lain.” timpal Hani.
Dengan tegas Leo langsung menolak ide Hani itu. “Tidak mau. Desainer grafis lain terlalu sensitif.”
“Kurasa sebaliknya.”
“Kau bilang apa?”
Hani terkekeh pelan lalu menggeleng dengan cepat. “Tidak, aku hanya menggumam tidak penting.”
Leo memasang wajah sangsi yang dibalas dengan senyum seratus watt dari Hani. Saat itu juga, pintu lift terbuka dibarengi dengan beberapa orang yang mendesak masuk. Otomotis Hani dan pengguna lift lainnya pun harus bergeser.
Badan Hani kini terhimpit dari segala penjuru arah. Matanya melirik papan penunjuk dan menelan ludah saat menyadari masih ada waktu cukup lama sebelum mencapai lantai dasar. Hani mengeratkan pegangannya ke tas bahu yang tersampir di pundak kanannya.
“Hani, kau pindah ke sini.” ucap Leo dengan nada pelan, yang lebih mirip seperti bisikan tepatnya. Kepala Leo mengarah ke dinding kanan lift, yang artinya, Leo meminta Hani untuk bertukar tempat dengannya. Di tempat Leo berdiri memang terlihat lebih nyaman karena setidaknya masih bisa bersandar di dinding lift.
Hani mengangguk lalu ia segera bertukar tempat dengan Leo secepat dan sehati-hati mungkin agar tubuhnya tidak bersentuhan dengan pengguna lift lainnya. Ketika ia sudah berhasil bertukar tempat dengan Leo, Hani mengembuskan napas lega.
“Terima kasih banyak, Leo.” ujar Hani pelan. Leo membalas dengan mengangguk.
Setelah itu keduanya sibuk dengan jalan pikiran sendiri. Kondisi lift yang sesak membuat sulit bagi Hani atau Leo untuk membuka obrolan. Kepala Hani pun kembali tertunduk. Ingin rasanya ia memainkan ponselnya namun ia merasa terlalu sesak sehingga ia memutuskan untuk menahannya sesaat lagi.
Mata Hani yang tertunduk dengan was-was memperhatikan sekitarnya. Kebiasaannya untuk waspada di keramaian tidak luntur barang sedetik saja. Tubuhnya berdiri tegak agar ada jarak antara dirinya dengan pengguna lift lain, meski Hani tahu hal itu sulit direalisasikan.
Ketika Hani berputar ke belakang, sekadar memastikan tubuhnya cukup berjarak dengan orang lain, Hani mendapatkan sebuah tangan terjulur memegang pegangan tangan lift.
Hani langsung menatap pemilik tangan tersebut yakni Leo.
Sebenarnya sah-sah saja tangan Leo ada di situ. Toh, pegangan tangan itu adalah fasilitas umum. Tetapi di mata Hani, tangan tersebut terlihat seperti sengaja memberi jarak antara Hani dengan pengguna lift lain.
Ada beberapa spekulasi yang berkembang di pikirannya, namun Hani tidak mau berpikir terlalu jauh.
“Leo, jika kau pegal kau bisa pindah ke sini.“
“Aku mau di sini.” tandas Leo singkat. “Lihat, tinggal satu lantai lagi.” sambung Leo.
Hani menengok ke papan penunjuk digital dan mendapati panah terus bergerak turun ke bawa. Tak lama kemudian, pintu lift terbuka. Gerombolan manusia yang terjebak di kotak besi itu pun segera keluar, termasuk Hani dan Leo.
“Leo, terima kasih banyak untuk pertolonganmu di lift tadi.” tutur Hani di saat keduanya tiba di lobi.
“Sama-sama.”
“Sampai jumpa besok.” pamit Hani lalu segera melangkahkan kakinya menjauh dari Leo. Namun belum ada tiga langkah, entah mengapa Leo ikut berjalan bersisian dengannya.
Hani mengernyitkan keningnya heran. “Kau tidak membawa mobil?”
“Bawa.” balas Leo singkat.
“Lalu mengapa kau mengikutiku? Bukankah ke parkiran basement itu lewat pintu dalam?”
“Pede sekali. Aku ingin membeli snack di minimarket terlebih dahulu.”
Hani menggumam paham. “Aku juga ingin ke sana.”
“Ingin berbelanja juga?” ujar Leo, kini balik bertanya kepada Hani.
Hani menggeleng. “Bukan. Temanku menunggu di sana.”
Dari kejauhan, Hani mengenali nomor plat mobil SUV Keanu. Ia pun mengeluarkan ponselnya untuk mengirim pesan instan ke Keanu untuk memberi tahu jika ia sudah sampai di minimarket.
Setibanya di minimarket, tepatnya di belakang mobil Keanu, Hani sekali lagi mengutarakan salam perpisahan ke Leo.
“Sampai jumpa besok.”
Bukannya membalas dengan ujaran serupa, Leo justru bertanya. “Mana temanmu?”
Hani menjawab dengan menunjuk mobil SUV dengan telunjuknya.
“Dia di dalam. Aku duluan, ya.” ujar Hani sembari melambaikan tangannya ke Leo. Pria itu hanya membalas dengan anggukan pelan, lalu berjalan masuk ke dalam minimarket.
Setelah berpisah dengan Leo, Hani langsung berjalan ke sisi kiri mobil berwarna hitam berkilap itu dan mengetuk kaca pintu penumpang. Terdengar suara klik dari dalam, lalu Hani segera membuka pintu.
“Yo, Hani.” sapa Keanu dari kursi pengemudi. Hani yang duduk di sebelahnya tersenyum lebar saat melihat Keanu. “Halo, kak. Maaf aku terlambat.”
Keanu berdecak. “Iya, aku sudah memaafkanmu. Jadi lupakan hal itu dan pasang sabuk pengamanmu.”
Hani mematuhi perintah Keanu. Seraya memasang sabuk pengaman, Hani berkata, “Sudah lama rasanya kita tidak bertemu.”
“Bagaimana lagi. Kau sibuk, aku sibuk. Apalagi supermodel kita satu itu.” ujar Keanu dengan nada cemooh saat mengucapkan kata supermodel yang mengacu pada Shaina.
Hani tertawa mendengar banyolan sarat sarkasme dari Keanu itu.
“Aku lapar. Kita makan di restoran keluarga, ya.” kata Keanu sembari memutar kemudi, mulai menggerakan mesin besi itu.
Hani mengangguk. “Aku juga butuh asupan energi setelah rapat dengan klien hari ini.”
“Aku tidak sabar mendengar ceritamu hari ini.” sahut Keanu dengan senyum lebar di wajahnya.
Mobil Keanu pun melaju, membelah kemacetan sore hari di Jakarta, tak sabar untuk segera bertukar cerita.