“Oh, Rendra! Cepat sekali kau kembali ke sini.” seru Edi saat melihat Rendra mendekat ke set adegan selanjutnya. Di set yang terlihat seperti ruang kerja pribadi itu terlihat para kru sedang sibuk mondar-mandir mengatur peralatan yang akan digunakan saat pengambilan gambar nanti.
Rendra mengacungkan buku naskah di tangannya lalu berkata, “Aku perlu berlatih.” Rendra pun celingak-celinguk mencari seseorang. “Tetapi sepertinya lawan mainku belum datang.”
Menanggapi perkataan Rendra itu, Edi tertawa lepas. “Kau sendiri yang datang terlalu cepat. Santailah untuk sejenak. Atau kau mau ikut denganku ke belakang? Aku ingin menyegarkan pikiranku.” ajak Edi.
Daripada harus berdiam diri dan tidak harus melakukan apa, Rendra pun memutuskan untuk ikut dengan Edi ke taman belakang rumah sakit tersebut. Ketika sampai di sana, Edi langsung mengeluarkan rokok dari saku celananya dan menyalakannya. Rendra sendiri yang bukan perokok, asyik memandangai pemandangan hijau berupa bukit kecil yang berada tak jauh dari taman tersebut.
“Apa projekmu selanjutnya setelah series ini selesai?” tanya Edi.
Rendra tampak berpikir sesaat baru kemudian menjawab, “Aku akan berpartisipasi di sebuah projek teater.”
“Ah iya. Aku lupa kalau kau aktif bermain di teater. Jangan lupa kirim invitasi kepadaku, ya.” ujar Edi.
Rendra mendengus. “Terakhir kali kuajak, kau tidak datang. Begitu juga dengan ajakan-ajakanku sebelumnya, kau tidak pernah datang.”
Edi tertawa yang setelah itu dibarengi dengan asap putih keluar dari lubang hidungnya. “Maaf, maaf. Memang aneh, tetapi setiap kali kau mengajakku, pasti selalu berbenturan dengan agenda kerjaku.”
Rendra memutar kedua bola matanya, sengaja menunjukkan gestur seolah-olah ia tidak setuju dengan pernyataan Edi barusan, lalu ketika mata keduanya bertemu, tawa lepas terdengar dari bibir kedua pria dewasa itu.
“Sudah berapa lama kau di industri ini?” tanya Edi setelah tawa mereka reda. Rendra mengangkat sebelah alisnya, setengah heran dengan pertanyaan dari Edi itu, namun tak ayal ia menjawab juga.
“Sekitar… tujuh belas tahun, kurasa. Kenapa kau menanyakan hal itu?”
“Tidak ada alasan khusus. Dengan waktu sepanjang itu… kau pasti sudah melalui banyak masa sulit.”
Rendra tersenyum lebar. Ucapan Edi barusan membuat berbagai macam kejadian di masa lalu seperti berkelibat di depan mata. Masa-masa ketika ia belum menjadi aktor terkenal seperti saat ini.
“Ya, aku bersyukur kerja kerasku membuahkan hasil yang manis.” kenang Rendra.
“Harus kuakui, di generasimu, kau salah satu aktor paling berdedikasi yang pernah kutemui.”
“Terima kasih.” tutur Rendra. Mendapatkan pujian dari seorang sutradara bukanlah sesuatu yang mudah ditemui, dan Rendra bersyukur atas ucapan Edi barusan.
“Aku punya prediksi kita akan kerap bertemu di masa mendatang,” kata Edi seraya menyudut batang rokok miliknya yang kini ukurannya tidak lebih panjang dari jemari kelingkingnya. “Oh ya, sekadar informasi, aku saat ini berpacaran dengan Rebecca.”
Rendra menautkan kedua alisnya. Rasa-rasanya ia belum mendengar kabar di media sosial mana pun kalau Edi sedang menjalin kasih dengan seseorang. Ia pun memutar kembali ingatannya ke belakang, berusaha mengingat-ingat apakah ia sempat bertemu dengan gerangan Rebecca ini. Lalu, seperti sepasang sepatu yang menemukan raknya, pikiran Rendra langsung teringat dengan seorang perempuan berbodi sintal yang menemuinya usai pertunjukan teaternya beberapa waktu lalu.
“Maksudmu Rebecca si aktris itu? Rebecca Joe?” tanya Rendra, sekadar memastikan semata. Edi mengangguk.
“Rebecca sendiri yang memberitahuku jika dia sempat ‘bermain’ denganmu.” ujar Edi terang-terangan.
Tidak tampak ekspresi kesal atau cemburu di wajah Edi ketika mengatakan hal itu. Yang ada, Edi justru tersenyum penuh arti ke Rendra. “Bagaimana dia di tempat tidur? Ah, mengesalkan sekali aku belum sempat ‘bermain’ dengannya.”
Bibir Rendra terkatup rapat. Sebenarnya, ini bukan pertama kalinya Rendra menemui pertanyaan seperti yang dilontarkan oleh Edi barusan. Hampir separuh orang yang ia temui di industri hiburan pasti pernah menanyakan pertanyaan seperti itu. Hal itu tidak terlepas dari gosip yang menstempel Rendra sebagai orang yang kerap bermain perempuan.
Ada sedikit rasa tidak setuju ketika Rendra pertama kali mendengar gosip tersebut. Tidak, dia tidak pernah mempermainkan perempuan. Merekalah yang pertama kali menghampirinya lalu mengajaknya untuk ‘bermain’. Tidak pernah sekali pun Rendra menjadi inisiator dari segala permainan yang biasanya berakhir di kamar tidur itu.
Terlepas dari segala gosip dan rumor yang membayangi dirinya, Rendra tidak menyangkal jika ia memang seorang b******k.
Tetapi bukan berarti ia akan dengan mudahnya memberi tahu orang-orang tentang pengalamannya ‘bermain’ dengan aktris A, aktris B, ataupun si model C. Apapun yang terjadi di balik dinding kamar, cukup Rendra dan perempuan itu yang mengetahuinya.
What happens in Vegas, stays in Vegas. Begitulah kurang lebih prinsip Rendra.
“Tidakkah kau cemburu?” balas Rendra dengan nada canda. Di balik tawa pendeknya, ia berusaha mengalihkan topik pembicaraan.
Edi ikut tertawa seraya menggelengkan kepalanya. “Untuk apa? Kami berdua tidak benar-benar saling menyukai satu sama lain. Aku dan dia tahu persis akan hal itu.”
“Ada rencana untuk memublikasikannya ke publik?”
“Rebecca sempat bersikeras ingin melakukannya, tetapi kularang. Kupikir hal itu tidak akan berdampak baik bagi kami. Akhirnya, kami sepakat untuk memberitahukannya ke kalangan showbiz saja.”
Rendra tertawa terbahak-bahak mendengar penjelasan Edi. Ia, sedikit banyak, bisa membayangkan betapa serunya saat Edi dan Rebecca beradu pendapat. Di mata Rendra, Edi dan Rebecca adalah dua orang sama-sama keras kepala.
“Kau sendiri?”
“Hmm?”
“Kau selalu bermain dengan mereka. Tidak adakah satu pun perempuan yang mampu menarik perhatianmu?” ujar Edi dengan nada penasaran.
“Mana mungkin aku tidak tertarik. Aku ini lelaki biasa. Tentu saja akan ada waktu di mana aku tertarik dengan salah satu dari perempuan di sekitarku. Hanya saja, untuk saat ini, aku ingin fokus ke karirku terlebih dahulu.” tutur Rendra.
“Mau menghindar, eh?” ejek Edi karena jawaban ambigu dari Rendra itu.
Edi pun menggodanya dengan mengatakan bahwa ucapan Rendra tersebut hanyalah sekadar formalitas semata alias jawaban diplomatis untuk menghindar. Rendra hanya tertawa, tidak membenarkan dan juga tidak menyangkal.
Tidak ada kebohongan dari ucapan Rendra tersebut. Memang benar adanya kalau Rendra ingin fokus dengan pekerjaannya saat ini. Namun mengapa Edi mengatakan jika Rendra hanya memberikan jawaban diplomatis, karena sesungguhnya kalau Rendra mau ia bisa saja menjalin kasih dengan seseorang di sela-sela kesibukannya. Sudah jadi rahasia umum di industri hiburan bahwa mau sesibuk apapun dirimu, akan selalu ada waktu untuk berkencan.
Masalahnya, Rendra tidak menemukan seseorang yang menarik hatinya selama meniti karir di industri hiburan. Ketidaktertarikan itu bertambah besar ketikan banyak aktris atau model yang selalu berusaha mengundangnya ke ranjang.
Namun akhir-akhir ini, ada seseorang yang menggelitik hati Rendra. Orang itu adalah Hani.
Gambarnya, ekspresinya, senyumnya. Semua tentang perempuan itu membuat Rendra ingin mengenal Hani lebih jauh.
Rendra memalingkan wajahnya sesaat dari Edi seraya menutup mulutnya.
Berusaha menyembunyikan senyum lebar yang tercetak jelas di wajahnya.