Chapter 18

1156 Words
Sebuah goncangan di tubuhnya membangunkan Hani dari alam bawah sadar. Matanya mengerjap-ngerjap, sebuah usaha beradaptasi dengan cahaya sekitar. Pemandangan yang familiar tapi juga tidak familiar menyapanya. “Hani, bangun…! Aku lapar!” ajak Shaina dengan senyum lebar sampai-sampai Hani bisa melihat deretan gigi putih sahabatnya itu. Déjà vu. Itulah yang dipikirkan Hani. Tetapi Hani tidak mau ambil pusing memikirkan hal itu dan memilih untuk melontarkan pertanyaan yang pertama kali muncul di kepalanya saat melihat Shaina tadi.    “Kau… kenapa… masih di sini?” tanya Hani kepada Shaina dengan nada agak terbata karena baru saja bangun. Dengan mata setengah terpejam, Hani bangkit tidurnya. Tubuhnya terasa agak pegal lalu barulah ia menyadari kalau dirinya tertidur di atas karpet. “Aku ingin makan Pecel Lele Bu Sari. Kapan lagi aku bisa memakannya kalau bukan di sini?” sahut Shaina dengan nada semangat. Perkataan Shaina tersebut disambut dengan tawa lemah dari Hani yang kemudian kembali merebahkan dirinya di karpet. Tapi usahanya tersebut sia-sia karena Shaina menarik-narik tubuhnya untuk berdiri. Diserang seperti itu, Hani akhirnya mengangkat bendera putih. “Haniiii…!” “Iya, iya! Aku menyerah jadi tolong berhenti menarik-narik tubuhku!” pekik Hani tak tahan dengan tingkah Shaina yang menarik kakinya melawan gravitasi.   Sejujurnya, Hani masih ingin tidur tapi apa daya kesadaran sudah terlanjur merenggut rasa kantuknya. Hani pun berjalan menuju kamar mandi dan membasuh wajah untuk menyegarkan pikirannya. Saat keluar dari kamar mandi, Hani melihat Shaina yang sedang asyik menonton televisi. ‘Sudah malam tapi kenapa Shaina masih terlihat cantik sekali, ya.’ batin Hani dalam hati saat melihat Shaina. Berbanding terbalik dengan dirinya yang baru tiga jam beraktivitas di luar ruangan saja sudah terlihat lusuh. Hani ikut duduk di atas karpet berwarna moka itu. Ia mengambil ponsel dari tas bahunya yang dibawanya hari ini ke mal lalu mulai memesan makanan melalui aplikasi pengantar makanan. Setelah berkutat seorang diri –Shaina masih asyik menonton televise di sampingnya– Hani menyerahkan ponselnya. “Pilih mana yang kau mau.” ujar Hani. Shaina mengambil ponsel dari tangan Hani dan mulai memilih menu yang ia inginkan. Tak sampai lima menit, Shaina sudah mengembalikan ponsel Hani dan kini keduanya hanya perlu menunggu pesanan mereka sampai. “Omong-omong, Hani.” “Hm?” “Kapan kau berencana untuk memberitahu Kak Keanu?” Pertanyaan Shaina itu membuat Hani terbisu. Memberi tahu Keanu soal kondisinya merupakan hal yang paling ingin Hani hindari sebisa mungkin. Ingin ia mengutarakan ide tersebut kepada Shaina, tapi Hani sudah bisa menebak respons apa yang akan diberikan oleh Shaina. Shaina akan menentang ide Hani itu habis-habisan. “Sebenarnya, aku takut dengan reaksi Kak Keanu nantinya setelah tahu kondisiku saat ini.” ungkap Hani setelah diam beberapa saat. “Bagaimana kalau dia menyalahkan dirinya sendiri?” sambung Hani. Melihat Shaina diam, Hani pun mencoba mengajukan ide yang bertengger di kepalanya sedari awal.  “Na, bagaimana kalau tunggu satu bulan dahulu? Kalau selama sebulan ke depan kondisiku sudah kembali normal, kurasa tidak perlu memberi tahu Kak Keanu.” papar Hani dengan nada penuh harapan. Namun, tentu saja, responsnya seperti yang sudah Hani perkirakan sebelumnya. Yakni disambut dengan gelengan mantap dari Shaina. “Tidak bisa.” ujar Shaina tegas. “Kau harus memberi tahu Kak Keanu. Sekadar informasi, aku ada job di Surabaya pekan depan, jadi aku tidak akan tenang meninggalkanmu sendiri di Jakarta tanpa memberi tahu Kak Keanu sebelumnya.” Belum sempat Hani membalas perkataan Shaina, ponselnya berbunyi memberitahukan ada sebuah panggilan masuk. Rupanya, pesanan makanan mereka sudah datang. Dengan ponsel di telinga kanan, Hani beranjak keluar untuk mengambil makanan. Tak butuh waktu lama, Hani sudah kembali dengan sebuah plastik besar berisi makan malamnya dan Shaina. “Kau tahu betul Hani, alasan mengapa kau perlu memberi tahu Kak Keanu.” ujar Shaina seraya berdiri menghampiri Hani yang menaruh makanan mereka di atas meja makan. Perkataan Shaina itu serasa menghujam jantung Hani. Ya, dari semua orang, Hani tahu persis alasan mengapa ia perlu memberi tahu Keanu. Bukan karena Keanu berhak tahu, melainkan sebagai tindakan preventif seandainya terjadi hal-hal yang tidak diinginkan kepada Hani. 'Agar hal seperti saat itu tidak terjadi lagi.' batin Hani mengingat sebuah kejadian di masa lalu. Kali ini, Hani berusaha mengorganisir pikirannya dan mencoba menempatkan dirinya di posisi Shaina atau Keanu. Hani melirik ke arah Shaina yang sedang sibuk menata makanan mereka di atas meja makan. “Baiklah. Aku akan berusaha memberi tahu Kak Keanu secepatnya.” ujar Hani setelah berpikir cukup lama. Shaina menyambut keputusan Hani itu dengan senyum. Dengan lalapan di tangan kanannya, Shaina berkata, “Kalau kau tidak bisa melakukannya, aku bisa menyampaikannya ke Kak Keanu.” Hani berpikir bahwa tawaran Shaina tidak terlalu buruk, tetapi entah kenapa ada hal lain yang membuat Hani segan untuk mengambil tawaran itu. “Tidak. Biarkan aku sendiri yang memberi tahu Kak Keanu.” tolak Hani pada akhirnya. Shaina mengerutkan keningnya lalu menanyakan sekali lagi. “Sungguh?” Hani menganggukkan kepalanya dengan mantap untuk menyakinkan Shaina. Hani bisa melihat dengan jelas keraguan di wajah Shaina tapi sahabatnya itu memilih untuk tidak mengatakan apa-apa soal keputusan Hani itu. “Ya baiklah, kalau itu maumu. Kabari aku jika kau sudah siap memberi tahu Kak Keanu. Mungkin nanti kita bertiga bisa mengobrol bersama.” sahut Shaina lalu mencolek lalapan dengan sambal yang sudah ia taruh di piring kecil. Hani membalas dengan menganggukkan kepalanya. “Maafkan aku sudah merepotkanmu, dan terima kasih.” ucap Hani dengan nada tulus. Menelan kunyahannya kuat-kuat, Shaina menenggak air di dekatnya kemudian tersenyum lebar. “Kuterima rasa terima kasihmu, tetapi ucapan maaf darimu harus kutolak. Aku tidak merasa direpotkan karena aku juga hanya bisa menemanimu semampuku.” papar Shaina. Hani curiga apakah mungkin senyum milik Shaina itu menular karena kini dirinya ikut tersenyum. Atau mungkin karena perkataannya barusan? Hani tidak tahu. Tidak ada yang istimewa dari kalimat yang dilontarkan Shaina barusan, tetapi Hani merasa terharu ketika mendengarnya. Ia jadi teringat dengan Asta yang beberapa waktu lalu mengeluarkan kalimat yang senada dengan yang baru saja dikatakan oleh Shaina. “Bersabarlah. Aku siap mendampingimu, jadi tenang saja, oke?” Mengingat ada orang-orang yang bersedia menemaninya, itu saja sudah cukup bagi Hani yang kerap dihantui mimpi buruk. Suara Shaina pun membuyarkan ingatan Hani yang sedang berkelana itu. “Hani, aku tidur di sini malam ini ya.” pungkas Shaina. Hani mengangkat sebelah alisnya, agak heran, akan permintaan Shaina tersebut. Tapi sedikit banyak, ia bisa menduga kira-kira apa yang membuat Shaina ingin menginap di indekosnya hari ini. “Silahkan. Asal tidak berbenturan dengan pekerjaanmu, aku tidak masalah.” tukas Hani. Kini mata Hani berputar, mengamati keadaan meja makannya yang tampak penuh dengan berbagai macam sajian mulai dari nasi, lele goreng, lauk pauk, lalapan, sampai es jeruk. Di depannya sendiri, Shaina sedang asik memakan tempe goreng.    “Omong-omong, Shaina.” “Apa?” “Bagaimana dengan dietmu?” “Diet itu untuk hari esok.” Hani tertawa mendengar pernyataan penuh nada ketidakpedulian dari Shaina itu. Hanya bisa geleng-geleng kepala, Hani pun ikut menyantap makanan di depannya. Terima kasih. Untuk kalian yang mau menemaniku sampai sejauh ini. Terima kasih.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD