DEVON 5 - Kemarahan

1185 Words
Pagi ini Devon sudah berada di kantornya, terpekur seorang diri di dalam ruang kerjanya. Terlebih saat tadi dia melihat sekretarisnya yang tak terlihat merasa bersalah sedikitpun kepadanya. Membuat Devon semakin kesal saja. Apalagi saat Devon mengingat akan papanya , Darco baru kembali ke rumah saat menjelang subuh dan bodohnya Devon justru sengaja menunggu papanya pulang, sampai - sampai ia tertidur di atas sofa ruang keluarga. Sial, u*****n itu meluncur cukup lantang dari sela bibirnya. Tangan nya mengepal kuat demi menahan amarah. Diraihnya gagang telpon dan menempelkan nya di telinga. Memencet nomor extension sekretaris yang duduk didepan ruang kerjanya. "Devi....! Masuk ke ruanganku sekarang juga." titahnya, dan tanpa menunggu jawaban telpon itu sudah terbanting cukup keras, kembali diletakkan Devon di tempat semula. Tak perlu menunggu waktu lama, terdengar ketukan di pintu ruang kerja nya. "Masuk...." Dengan takut - takut Devi membuka pintu ruangan bosnya. Suara Devon yang berat dan kaku menandakan jika lelaki itu sedang marah. Devi tahu akan hal itu. Tapi sejak pagi tadi saat Devon datang ke kantor, sebisa mungkin Devi bersikap biasa saja seolah tak pernah terjadi hal apapun. Bersikap profesional tanpa mencampur adukkan urusan pribadinya. Terutama seputar Darco. Selama ini Devi dengan sangat rapi menyembunyikan hubungan nya dengan Darco. Dan sekarang semua terbogkar sudah. " Pagi, Pak ." " Masuk. " Sejak Devi masuk ke dalam ruangan nya, mata tajamnya menatap Devi dengan penuh amarah. " Duduk ." Devi mengangguk lalu menuruti Devon dan duduk di hadapan bosnya. " Sejak kapan kau berhubungan dengan Papaku ?" pertanyaan yang langsung Devon ajukan pada Devi saat wanita itu baru saja mendaratkan pantatnya di atas kursi. Devi tergagap bingung harus menjawab apa . "Maaf Pak, apakah kita harus membahas masalah pribadi di kantor ?" "Tinggalkan Papaku !" desis Devon tajam tanpa menghiraukan pertanyaan Devi sebelumnya. " Maksud Pak Devon ?"  Devon mencodongkan tubuhnya kedepan agar lebih dekat dengan Devi. " Apa yang kau cari dari Pak tua sialan seperti Darco , huh ? Uang ?" Devi masih terdiam, dia berusaha menelan salivanya mendapati kemarahan Devon. Tak Devi pungkiri jika ia menjalin hubungan dengan pria tua seperti Darco hanya demi sebuah uang. Devi sangat membutuhkan banyak uang . Apapun caranya pasti akan Devi lakukan , termasuk menggoda pria tua yang pasti kaya raya. Selama ini Devi merasa nyaman-nyaman saja menjalin hubungan dengan Darco. Sekalipun Devi tahu jika Darco masihlah beristri. Selain itu , berkat Darco juga hinga Devi bisa bekerja bersama Devon setelah dia sempat di berhentikan dari pekerjaan lamanya. Semenjak bekerja bersama Devon, Devi berusaha menutup rapat-rapat tentang hubungannya dengan Darco agar Devon tak mengetahuinya. Apalagi sejak Devi tahu jika Devon adalah lelaki misterius. Sempat terbesit di benak Devi jika Devon ini  memiliki hubungan menyimpang bersama seorang lelaki. Bukan tanpa alasan jika Devi memiliki pemikiran seperti itu , karena sering kali Devon didatangi oleh pria yang sama yang memiliki wajah tampan tak kalah tampan dari Devon. " Devi ...! Kenapa kau diam !" hardik Devon. " I-iya , Pak ." jawab Devi terbata. "Kau ini ....!" Devon menjatuhkan punggungnya pada sandaran kursi kerjanya . Merasa frustasi karena Devi sama sekali tak menghiraukan nya . " Baiklah , aku tahu wanita sepertimu ini bisa menjerat lelaki kaya pasti karena uang . Karena kau sedari tadi hanya diam , maka aku menyimpulkan nya memang benar seperti itu." Devi tentu saja kesal karena Devon terus saja memojokkan nya .  " Benar sekali Pak Devon, Saya memang melakukan semua itu demi uang . Apakah anda puas dengan jawaban saya ." Devi mendangus sebal setalah menjawab semua tuduhan Devon kepadanya. Devon tertawa sinis.  "Sudah kuduga ," ucap Devon lagi . Lelaki itu lalu berdiri berjalan mendekat pada jendela. Berdiri disana  dengan kedua tangan dimasukan ke dalam saku celana . "Kau tahu Devi ...! karena perempuan sepertimu inilah yang menyebabkan wanita lain merasa terluka hatinya ." Ucapan Devon kali ini tak sekeras tadi. Lebih lembut dengan pandangan menatap jendela yang tirainya terbuka sedikit. " Apa maksud Bapak ?" Devon membalikkan badan nya masih dengan posisinya , lelaki itu menatap Devi . " Aku mohon padamu , tinggalkan papaku. " Devi membuka mulutnya ingin menjawab tapi ia katubkan kembali . Mana mungkin ia meninggalkan Darco. Selama ini Darco lah yang telah banyak membantu nya . Jika dia kehilangan Darco, itu artinya dia akan kehilangan tambang uang. Padahal Devi masih membutuhkan banyak uang untuk kebutuhan nya . Termasuk salah satunya adalah untuk biaya pengobatan sang mama. " Maafkan saya Pak. Saya tidak bisa ." Lagi - lagi Devon tertawa sinis. " Yakin kau tak mau meninggalkan papaku ? " Devi mengangguk "Apa yang membutamu begitu mepertahankan papaku huh ? jika jawaban nya adalah uang maka aku akan memberikan nya padamu ." "Maaf Pak tapi saya tidak bisa menerima uang pemberian Bapak ." "Kenapa ?" " Ya, karena saya hanya sekretaris Bapak, jadi saya hanya akan mengambil uang gaji saya sebagai sekretaris. itu saja . Saya tidak mau mengambil uang orang secara cuma-cuma. kecuali ... " "Kecuali apa ? Jangan mengatakan jika kau ingun menjalin hubungan denganku seperti kau menjalin hubungan dengan papa , baru kau mau menerima uang itu. Tidak . Aku tak mau dengan semua itu ." " Baiklah jika seperti itu saya rasa tak ada lagi yang harus kita bicarakan Pak." Devi sudah beranjak berdiri dan segera berjalan menuju pintu keluar . Di saat yang bersamaan ada seorang lelaki yang sedang berdiri di depan pintu ruangan Devon. Siapa lagi lelaki  itu jika bukan Denzel. Denzel menatap kepergian Devi dengan pandangan menyelidik lalu lelaki itu segera masuk ke dalam ruangan Devon. " Untuk apa kau berduaan bersama nya didalam sini, Dev ?" Devon membalikkan badan menatap kedatangan kekasihnya . " Den, kau datang rupanya ? untuk apa kau datang ke kantorku sopagi ini ?" "Kenapa ? Kau tak suka aku datang ?" " Hei aku tak pernah mengatakan hal seperti itu. Kenapa kau marah ?" " Aku tanya dan jawablah . Kenapa wanita tadi bisa berada didalam sini bersamamu ?" "Denzel, dia sekretarisku . Sudah sewajarnya dia berada di dalam sini jika aku ingin membicarakan masalah pekerjaan. Kau ini kenapa ?" Devon tak habis pikir dengan kekasihnya yang terlihat  sedikit sensitif akhir - akhir ini . " Kau tahu , semalaman aku menunggumu datang . Berkali - kali kutelpon dan nomor ponselmu tak aktif. Aku datang ke apartmenmu kau pun tak ada disana." ucap Denzel dengan nada kesal.  "Dimana sebenarnya kamu semalam ? jangan katakan jika kau bersama sekretarismu itu ?" tanya Denzel selanjutnya.  "Astaga Den ...!  kenapa pikiranmu bisa sepicik itu . Aku di rumah mama semalam ." "Di rumah mama huh . Jika begitu untuk apa kau harus mematikan ponsel segala " Devon tak tahu harus menjawab apa . memang semalm ponselnya mati karena kehabisan batrei. " Ponselku habis batrai. " " Bohong !" "Denzel ...! kau ini kenapa ?" " Aku marah padmau dan aku kecewa padamu, Dev ! " Ucap Denzel dengan lantangnya . lelaki itu merasa marah karena Devon tak menghiraukan nya  " Dengarkan aku Den ..." Devon berusaha menjelaskan tapi Denzel justru menyelanya. Lelaki itu mengacungkan  jari telunjuknya , " Pasti ini semua karena sekretaris barumu itu kan ? jangan bilang kau tetarik padanya ? ! " "Hei Denzel ...! jaga ucapanmu ?" bentak Devon sedikit berteriak membuat Denzel semakin murka lalu lelaki itu keluar dari ruangan Devon. Tanpa berniat menutup kembali  pintu ruangan Devon, Denzel berdiri di depan meja kerja Devi membuat Devi bertanya - tanya dengan apa yang sedang terjadi . "Kau ....! " tuding Denzel pada Devi .   "Jauhi Devon ! " ucap Denzel lagi, setelahnya Denzel benar - benar pergi meninggalkan kantor Devon.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD