Sembilan

1631 Words
Amanda masih duduk di sofa ruang TV, sementara Dennis mengantar Raya pulang. Tak berapa lama motor Dennis terdengar berhenti di samping rumah, dan muncullah sosok pria itu yang langsung duduk di samping Amanda. “Man, mulai besok, kamu jangan nungguin aku pulang ya, karena aku lagi banyak kerjaan jadi kemungkinan bakalan pulang malem. Jadi kamu langsung tidur aja pintu jangan lupa dikunci.” Amanda mengerjapkan matanya sekali dua kali, lalu dia menyadari kalau Dennis sudah over percaya diri terhadapnya. “Dih! Siapa yang nungguin kamu Mas, itu geer bisa dikecilin dikit enggak sih!” “Yehh Ogeb! Mana bisa geer dikecilin. Lagian tiap aku pulang kamu ada depan tivi sini! Ngapain coba klo bukan nungguin aku?” “Ogab Ogeb!” Amanda memajukan bibirnya geram, “aku duduk di sini buat buang waktu aja dari pada bengong di kamar, cih,” decih Amanda sambil mengalihkan pandangan ke layar di hadapannya. “Bagus deh!” Dennis mulai memainkan handphonenya tidak memperhatikan Amanda lagi, yang menunjukkan raut muram, entah sosok Dennis rasanya sudah merasuk jauh dalam hatinya, meskipun Amanda yakin bahwa perasaannya ke Dennis murni hanya rasa kekeluargaan aja. Dennis ibarat air di padang tandus, melepas dahaga Amanda akan kerinduan keluarganya. Dennis tipikal lelaki hangat yang cerewet tapi Amanda suka. Karena menurutnya sikapnya itu perpaduan dari kedua orang tuanya. Dari ayah yang hangat dan suka sekali mendengar Amanda berceloteh. Dan dari Bunda yang cerewet dan sering ngomel kalau Amanda lalai dalam tugasnya. Amanda membuang pandangan ke arah lain. Mengusap butir air mata yang turun begitu saja. Dia tak ingin Dennis tahu kalau sedang menangis, dia hanya ingin Dennis tahu Amanda wanita yang tegar dan ceria bukan wanita yang lemah seperti ini. Dan Amanda memutuskan untuk masuk ke kamarnya untuk menangis sepuasnya. Setelah menangis, Amanda tertidur tanpa menyadari bahwa isakannya didengar Dennis dari luar. Dennis mencengkram pegangan pintu kamar Amanda dan mendorongnya pelan. Terlihat Amanda yang sudah tertidur pulas, tanpa selimut. Dennis berjalan agak berjingkat agar tidak menimbulkan suara, duduk di ranjang Amanda. Mengusap sisa air mata yang masih membasahi pipi wanita itu. “Please jangan bikin aku berat Man, jangan bikin langkah aku semakin berat saat ninggalin kamu nanti,” ucap Dennis dengan suara yang parau, dia yakin Amanda sudah pulas karena suara dengkuran halus yang terdengar dari mulutnya. Dennis berdiri dan menyelimuti tubuh Amanda yang meringkuk persis bayi. Dia mengusap kening Amanda dan memberikan kecupan sekilas sebelum meninggalkan kamar Amanda. Hari demi hari berlalu seperti biasanya, tidak ada yang spesial. Amanda yang masih malas mandi dan lebih sering tidur atau menonton televisi. Hanya yang berbeda adalah ritme kerjanya, jika dahulu dia bekerja seminggu lalu menganggur tiga minggu sampai sebulan, kini dia bekerja seminggu lalu menganggur seminggu. Waktu menganggurnya biasa digunakan untuk membantu Dennis menyelesaikan beberapa program komputer rancangannya. Amanda pun diajari untuk men-design beberapa program dasar. Sehingga ketika Dennis kerja, dia akan mengotak-atik laptop Dennis. Sementara Dennis sibuk kerja, karena perusahaannya sedang menangani tender besar, bahkan beberapa kali Dennis harus kerja keluar kota sehingga program buatannya banyak yang belum rampung. Karena Amanda hanya mampu membuat program dasarnya saja. Hingga tanpa terasa empat bulan telah berlalu dengan kondisi yang stabil meskipun masalah hati tidak diketahui apakah sudah ada peningkatan diantara keduanya, ataukah biasa-biasa saja? Toh baik Dennis ataupun Amanda selalu menepis setiap bayang yang terjadi di antara mereka dengan dalih bahwa Dennis akan menikah. Malam ini tak seperti biasanya, Dennis pulang kerumah cukup sore, ketika Amanda sedang menyantap Snack berbentuk persegi, pipih dengan banyak lubang sambil menonton televisi. Dennis berwajah sumringah duduk di dekat Amanda. “Aku punya dua berita, Kamu pilih mau dengar berita penting dulu atau bahagia dulu?” Amanda mencibir lalu melipat kakinya duduk bersila diatas sofa. “Elah Mas, baru sekali aku ajakin nonton drama korea aja udah keranjingan kamu, ikut-ikutan adegan di film Pinocchio kan nanya berita penting atau berita bahagia dulu? Awww awww,” jerit Amanda, memukuli tangan Dennis yang dengan gampangnya menarik kedua bibir Amanda agar wanita itu tidak mengoceh lagi. “Sakit G –bintang-blok!” Amanda mengelus bibirnya yang memerah karena ditarik Dennis, kan benar dugaannya, Dennis mengikuti setiap adegan di drama korea itu di mana aktor prianya sering kali menarik bibir wanitanya agar tidak mengoceh. “Pilih cepat.” Dennis terdengar tak sabar. “Ya sudah yang penting dulu.” “Yah yang bahagia aja deh, aku ceritain yang bahagia dulu oke.” Amanda memutar bola matanya jengah, untuk apa disuruh memilih kalau ujung-ujungnya tetap yang mau diceritakan sesuai keinginannya. Dasar aneh! “Oke, cepat!” Amanda memutar tubuhnya ke arah Dennis hingga mereka berhadapan dengan posisi kaki Dennis yang masih menyentuh lantai. Dennis terlihat menarik napas panjang lalu mengembuskannya perlahan, Amanda masih menunggu Dennis cerita namun lelaki itu nampak belum juga mau cerita hingga dia memasang tampang bosan dan menjejalkan mulutnya dengan snack itu lagi dan lagi. Sampai tak muat ditampung mulut kecilnya itu. “Jadi ... program kita di acc sama RanTV, nominalnya lumayan gede... yeeesss!” ujar Dennis meninju tangannya ke atas, Amanda ikut melakukan hal yang sama, dia bahkan berjoget joget saking senangnya, apalagi Dennis menyebutkan angka yang cukup banyak. “Trus berita pentingnya adalah jeng jeng ...,” ucap Dennis, Amanda masih tersenyum lebar, “Duit aku sudah terkumpul satu – EM, dan bulan depan aku akan nikah dengan Raya.” Dennis tersipu malu. Sementara Amanda mengigit bibirnya, ada sebuah rasa sakit di dalam dadanya mendengar berita penting itu. Namun dia dengan cepat mengubah ekpresinya lagi, seolah ikut senang mendengar berita itu, tanpa Dennis sadari matanya sudah berkaca-kaca. ‘Manda kamu enggak suka sama dia kan? Kamu cuma anggap dia kakak kan? Kamu cuma takut kesepian lagi aja kan? Bukannya takut kehilangan dia? Kamu enggak boleh suka dia Man, sebentar lagi dia milik orang. Kamu enggak boleh nikung sesama wanita Man, ayo sadar sadar!’ Amanda menepuk-nepuk pipinya sendiri seolah menyadarkan diri dari lamunannya. Dennis masih tersenyum, namun senyumnya memudar ketika melihat Amanda menggeleng-geleng sambil menepuk pipinya sendiri. “Kenapa?” “Enggak apa-apa, jadi kapan tanggal nikahnya mas? sudah ditentuin?” “Bulan depan, selama ini kita sudah siapin Wedding Planner sih untuk acara ini.” “Selamat yaa.” Amanda menjulurkan tangan untuk menyelamati Dennis, namun Dennis justru menarik tubuh Amanda dan memeluknya sambil menggoyangkan badannya ke kiri dan kanan. “Makasih yaa, aku senang banget.” Tangisan Amanda luruh, tak dapat dibendung lagi, bagaimana bisa dia sakit mendengar berita bahagia ini? Sedikit banyak Amanda sadar kalau Dennis suatu saat pasti meninggalkannya, seberapa kuat pun berusaha menepis kehilangan itu, seberapa kuat pun usaha untuk menyiapkan diri kehilangan Dennis, akan tetapi tetap saja saat menghadapi hal itu, Amanda menjadi sangat rapuh. Apalagi bayangan kalau setelah ini Dennis mungkin benar-benar tak akan berhubungan lagi dengannya karena mereka memang tidak mempunyai hubungan apa-apa selain penyewa dan pemilik. Membuat Amanda semakin pilu. Buru-buru dia mengelap air yang menggenang di sudut matanya. Dan melepaskan pelukan Dennis. “Kalau butuh pagar ayu aku siap Mas,” cengir Amanda, Dennis mengusap kepala Amanda pelan. “Thanks,” bisiknya. Amanda pun undur diri ke kamar dengan alasan ingin tidur cepat karena besok harus kerja. Dennis mempersilakannya dengan bibir yang terus tersungging senyum, membuat Amanda semakin sedih. Dia mengunci pintu kamar tidak seperti biasanya, lalu tertelungkup menutupi wajahnya dengan bantal, dia ingin menangis sepuas-puasnya tanpa terdengar Dennis. Setelah Amanda masuk kamar, Dennis menyandarkan tubuhnya ke sofa. Lalu dia menutup mata dengan lengannya agar cahaya lampu tak menerobos masuk ke matanya. Entahlah sesuatu terasa mengganjal dan tidak pada tempatnya. Sebagai pria dia tahu, sangat tahu kalau Amanda menyimpan perasaan lebih untuknya, meskipun dia selalu menepis itu, tapi dari sorot mata Amanda yang berubah ketika mendengar berita pernikahannya. Membuat Dennis semakin yakin bahwa wanita itu pasti sedang menangis sekarang. Sedangkan Dennis masih meyakini bahwa dihatinya hanya ada Raya, wanita ideal impiannya yang akan menemaninya hingga usia senja, menggenggam tangannya hingga rambutnya memutih, menjadi istri yang baik baginya dan ibu yang membanggakan anak-anak mereka. *** “Berangkat duluan, Mas,” ucap Amanda sambil ke luar dari kamar, menutup kepalanya dengan hoodie dan berjalan cepat ke arah ruang televisi. Sementara Dennis sedang membuat jus di dapur. Dia sudah mengenakan kemeja panjang yang digulung hingga siku dan celana bahan berwarna hitam, lengkap dengan sepatu kerjanya. “Man, tunggu dulu!” teriak Dennis sambil menuang jus itu dari blender ke gelas. Amanda pun menghentikan langkahnya. Dia masih mematung tak berniat memutar balik tubuhnya. Sementara Dennis sudah berdiri di depannya, dengan Amanda yang masih menunduk. “Nih minum dulu, enggak sempat sarapan kan?” Dennis menyodorkan segelas jus alpukat yang dicampur s**u. Amanda mengangkat wajahnya, nampak matanya sembab dan masih merah. Dia mengambil jus itu dan menenggaknya hingga tandas. Lalu menyerahkan gelas kosong itu ke Dennis. Lagi-lagi dia menunduk, tak berani beradu tatap dengan Dennis. “Makasih ya, aku sudah telat nih.” Amanda setengah berlari ke arah pintu dan menutup pintu itu dengan keras. Dennis hanya mampu melihat punggung Amanda sambil menghela napasnya. Dia paham tidak mudah bagi Amanda menerima kenyataan ini. Tapi dia juga tak mungkin mundur demi Amanda, jujur dia merasa sayang dengan Amanda tapi tidak lebih besar dari rasa sayangnya ke Raya. Di depan rumah, Amanda bersandar di daun pintu, mengusap dadanya yang terasa asing dan merutuki kebodohannya, kenapa dia menangis begitu keras semalam hingga matanya membengkak? Toh Dennis juga pasti tidak punya perasaan apa-apa kepadanya. Dia berjalan sambil memukuli kepalanya. Hari ini dia sebaiknya naik angkotan umum karena takut tidak konsentrasi membawa motor. Lagi pula dia harus merefresh otaknya yang terasa sedikit geser karena menangisi Dennis yang notabene-nya bukan siapa-siapa baginya. Dia pun bertekad untuk membuang perasaan itu sebelum tumbuh terlalu besar, atau dia akan benar-benar kehilangan Dennis yang pasti akan menjauhinya setelah tahu bahwa dia menyimpan perasaan spesial terhadapnya. Dan Amanda tidak mau itu terjadi. Amanda mendengarkan musik dari earphone yang tersambung ke ponselnya, berharap musik dapat melunturkan sedikit demi sedikit bayangan Dennis. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD