Delapan

2049 Words
Amanda menenteng tas besar dari belakang, sementara Dela menghitung sampai tiga sambil memotret Amanda yang bertampang sedih. Setelah melihat hasil potretannya Amanda pun langsung update status di sosial media dengan Caption ‘Dieliminasi, siap pulang kandang.’ Malam sudah larut, jemputan Dela sudah datang, sementara Amanda masih harus membereskan beberapa barangnya di mess khusus SPG mobil tersebut. Masih ada beberapa temannya yang memang tidak berniat pulang malam ini. Beda dengan Amanda yang nekat ingin langsung pulang karena kangen dengan rumah sarangnya. Hingga sebuah telepon masuk ke handphonenya dari Dennis, Amanda mengernyit lalu menerima telepon itu. “Ya Mas?” “Udah mau pulang? Kok enggak ngabarin?" tanya Dennis dari seberang sana. “Hehe, emang nya klo aku ngabarin, kamu mau jemput gitu.” “Ck! Dimana sekarang?” “Masih di Mess, ini baru mau pesan ojek online.” “Mau naik ojek??” “Iya, masa naik kuda!” sentaknya, Dennis terdengar terkekeh. “Aku, jemput sekarang. Kamu tunggu di halte ya, kebetulan aku habis meeting sama client dan enggak jauh dari sana. Pakai celana panjang. Pakai jaket. Oke!” Dennis memutuskan sambungan telepon itu sebelum Amanda sempat membantahnya. Dia pun terpaksa mengganti rok kerja dengan celana panjang, tadinya dia berniat memakai rok itu karena malas bongkar tas lagi. Tapi titah Dennis seolah tak terbantahkan, dari pada diamuk dan tidak dapat wifi gratisan lagi, Amanda sebaiknya menuruti Dennis. Dia pun mengambil jaket yang memang sudah berada di meja dekatnya menaruh tas. Lalu berpamitan pada rekan kerja yang masih stay di sana. Sambil berjalan pelan Amanda menuju halte bis. Amanda duduk di kursi halte dengan kepala bersandar pada besi di belakangnya. Sesekali dia melihat jam yang melingkar di tangan dan menguap. Waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam dan dia sangat ngantuk. Hampir tertidur kalau saja sebuah mobil tidak mengklaksonnya. Dennis menurunkan kaca jendela dan mengedikkan dagu agar Amanda masuk mobil. Amanda melempar tasnya ke kursi belakang, lalu memakai seat belt. Baru kemudian Dennis melajukan mobilnya. “Meetingnya dekat dari sini, Mas?” “Iya.” “Kok tau aku mau balik sekarang?” “Dari status kamu.” Amanda terlihat sudah sangat lelah untuk sekedar berbasa basi, dia memutuskan membuang pandangan ke arah samping dan tertidur pulas. Bahkan belum lima menit dia di mobil itu, tapi nyawanya sudah melayang ke dunia mimpi. Membuat Dennis hanya menggeleng tak percaya. Bagaimana kalau dia naik ojek coba? Bisa-bisa kepalanya bakalan tabrakan terus dengan kepala drivernya. Amanda masih tertidur pulas meski mesin mobil sudah dimatikan Dennis, karena mereka sudah sampai di rumah. “Man ... Manda bangun sudah sampai.” Dennis mengguncang lengan Amanda, tapi Amanda seolah tak terpengaruh, dia masih saja memejamkan matanya. Akhirnya Dennis turun dari mobil dan memutar tubuh ke arah Amanda, dilepaskan seat belt Amanda, dia pun menggendong Amanda ala bridal style karena tidak tega membiarkan wanita itu tertidur di mobil. Dengan susah payah Dennis membuka kunci rumah, setelah terbuka dia mendorong pintu dengan sikunya, lalu berjalan ke arah Kamar. Amanda menggeliat dan kepalanya mengusel ke pelukan Dennis seolah mencari kenyaman. Membuat Dennis sedikit meremang karena geli, wajah Dennis sudah memerah karena Amanda semakin mengeratkan tubuhnya. Sebagai lelaki dewasa normal pada umumnya, tentu Dennis juga mempunyai hasrat, apalagi melihat wajah Amanda yang terlihat berbeda karena make up yang belum dihapusnya, membuat dia terpaksa menelan salivanya dengan kasar. Dennis mendorong pintu kamar Amanda dan meletakkan gadis itu di kasur. Dia duduk di ranjang dan merapikan rambut Amanda yang terjuntai menutupi wajahnya. Memperhatikan bibir Amanda yang agak basah karena lipstik berwarna pink menggoda itu. Secara naluriah Dennis mendekatkan wajahnya ingin mengecup sekilas, entah dorongan dari mana? Tubuhnya bergerak secara refleks setelah bibirnya cukup dekat, Amanda membuka bibirnya lalu- “Groookkk!!” Amanda mendengkur, Dennis segera menarik wajahnya menjauh dan merutuki kebodohannya. Kalau saja Amanda tidak mendengkur mungkin dia sudah mencium wanita itu, wanita yang lebih pantas menjadi adiknya, wanita yang sama sekali bukan tipenya. Dengkuran Amanda mengambil penuh kesadaran Dennis, sadar bahwa tipe ideal Dennis itu ya Raya dengan segala kesempurnaannya, dengan segala sifat dan sikap anggunnya. Bukan Amanda yang bahkan jarang mandi dan berantakan. Dennis pun tersenyum, menyalakan AC di kamar Amanda dan menutupi tubuh Amanda dengan selimut. Lalu meninggalkan wanita itu dengan sebuah perasaan aneh yang ditepisnya. *** Amanda baru terbangun ketika hari menjelang sore, kemarin dia memang merasa lelah sekali. Maklum hari terakhir pameran biasanya memang pengunjung pasti lebih banyak karena promo yang ditawarkan pun cukup besar. Matanya menyipit memperhatikan keadaan sekitar yang nampak agak asing. Dia pun menepuk-nepuk pipinya agar nyawanya terkumpul. Kamar yang ditempatinya kini sangat rapih, dia baru menyadari bahwa kamar ini terlihat jauh lebih nyaman ketika bersih seperti ini. “Bunda,” desis Amanda, tak sadar air matanya turun membasahi pipi. Dia selalu ingat Bunda yang merapikan kamarnya ketika berantakan, pasti bunda merapikan sambil marah-marah ciri khas ibu-ibu. Dan Amanda selalu senang melihat ekpresi marah bundanya, karena Bunda terlihat semakin cantik. Jika sudah mengomel, yang Amanda bisa lakukan hanya memeluknya dari belakang dan menciumi bahu Bunda. Kalau sudah begitu Bunda biasanya akan luluh dan menghentikan ocehannya lalu menyuruh Amanda makan. Dia melirik ke meja rias di mana terdapat foto keluarganya, bersih tak berdebu. Amanda mengusap bingkai foto itu dan mengusap air mata yang mengalir di pipinya secara bergantian. “Pasti bunda yang kirim Mas Dennis ke sini. Bunda khawatir sama aku kan? Makasih ya bun, sekarang aku enggak kesepian lagi,” ucap Amanda lirih dia pun tersenyum dan berjalan ke kamar mandi. Setelah mandi Amanda mengambil baju dari dalam lemari, dia sangat kaget mendapati lemarinya yang luar biasa rapih, pakaiannya tertata sesuai warna-warna nya. Ada tumpukan berwarna pink, biru muda, hitam, putih dan warna-warna lainnya. Amanda menarik laci di dalam lemarinya beruntung masih berantakan karena di sanalah dia meletakkan underwearnya. Amanda lega Dennis tidak mengotak atik barang pribadinya itu. Setelah mengenakan baju, Amanda berjalan keluar kamar menuju dapur, mengambil buah dari dalam kulkas, pilihannya jatuh kepada pisang sunpride besar yang terlihat menggiurkan. Dia pun menuang s**u UHT dari kotak ke gelas dan membawanya serta ke ruang televisi. Makanan dan minuman itu milik Dennis, namun dia tetap menyantapnya, toh Dennis tak pernah marah jika jatah makanannya berkurang sedikit. Meskipun pada kenyataannya Amanda lebih banyak menghabiskan makanan dibanding Dennis sendiri. Amanda pun menyetel saluran TV yang memutar film-film kartun, kakinya dinaikkan ke sofa, duduk bersantai sambil makan pisang dan minum s**u. Setelah pisang itu habis, kulitnya dimasukkan ke gelas kosong bekas s**u dan diletakkan di kolong meja. Lalu dia merebahkan tubuhnya di sofa, berbaring miring sambil sesekali tertawa menonton kartun yang terasa begitu lucu. Suara ketukkan pintu membuat Amanda bangkit dari peraduannya, dia tidak sadar kalau ternyata sudah hampir tiga jam dalam posisi demikian. Hari beranjak petang dan dia bahkan belum menyisir rambutnya usai keramas tadi. Dengan agak malas dia membuka pintu. Nampak Raya tersenyum manis kepadanya. Mengenakan dress selutut dengan heels tinggi yang memamerkan betisnya yang indah. Pandangan Amanda beralih ke paper bag besar yang berada di pelukannya. Juga make up natural namun terlihat berkelas. “Mas Dennisnya belum pulang Mbak, ayo masuk dulu.” Amanda membuka pintu semakin lebar, membiarkan Raya masuk ke dalam, dan saat dia melintas, aroma parfum mahal menyeruak ke lubang hidung Amanda. “Iya tadi aku sudah kabarin dia, mungkin sebentar lagi dia pulang. Oiya aku bawa masakan banyak nih, kita makan bareng ya,” ucap Raya sambil berjalan ke arah dapur. Raya terlihat nyaman menyusuri ruang rumah Amanda, seolah-olah dia memang sudah sering ke sana. Amanda tidak ambil pusing, mungkin saat dia bekerja kemarin Raya sempat menginap di sini? Ah entahlah. Amanda berusaha mengusir hawa panas yang tiba-tiba melingkupinya, dia bahkan mengipasi dengan jari-jari tangannya. “Boleh pinjam piring?” Raya membalikkan badannya melihat Amanda yang salah tingkah karena ketahuan sedang mengipas-ngipas. “Boleh mbak,” jawabnya, Amanda berjalan ke arah Rak mengambil beberapa peralatan makan, sementara Raya mengeluarkan beberapa jenis makanan yang tersimpan rapi dengan tupperware berwarna sama. Nampak makanan tersebut sangat menggugah selera, ada kepiting saus tiram, capcai sayuran plus udang, kerang asam manis, bakwan jagung, sambal matah. Bahkan Raya juga membuat jus mangga dan membawa puding lengkap dengan flanya. “Ini mba Raya masak sendiri? Wah Daebak! Keren!” Raya hanya tersipu sambil menatap piring dimeja makan, semua berjumlah tiga. Sementara Amanda duduk santai seperti anak kecil. “Kebetulan Dennis suka masakan rumahan, kamu juga harus belajar masak Manda. Biar nanti kalau sudah nikah, suaminya enggak jajan di luar terus.” Raya mengedipkan sebelah matanya. Amanda hanya mengangguk paham meskipun dia tidak berniat juga untuk bisa masak. Mungkin nanti kalau sudah waktunya dia akan rajin membuat aneka hidangan seperti bunda dulu. Raya masih menjelaskan beberapa resep makanan dan Amanda terlihat antusias, karena penjelasan Raya mudah dimengerti dan sesekali dia menceritakan pengalamannya ketika pertama kali belajar masak. Dari mulai ketakukan menggoreng ikan, sampai matanya yang terkena percikan cabai. Atau tangannya yang panas akibat mengulek sambal. Karena cita rasa sambal yang jauh lebih nikmat jika diulek dibanding diblender. Hingga sebuah deheman terdengar dari seorang pria yang sudah berdiri sambil tersenyum melihat kedekatan Amanda dan Raya. Raya menghampiri Dennis setengah berlari, langsung melingkari tangannya ke leher Dennis berniat mengecup bibirnya namun Dennis memutar bola mata ke arah Amanda, hingga Raya hanya mencium pipi Dennis dan mengusap pelan di pipinya untuk menghilangkan jejak lipstik yang dipakai Raya. Sementara Amanda memilih membuang pandangan ke arah lain. Ingin rasanya dia pergi dari sana tapi tidak mungkin karena sejak tadi Raya sudah memaksanya berjanji untuk makan bersama. “Tumben mandi,” seloroh Dennis sambil menarik kursi dan duduk di samping Amanda, meja ruang makan itu melingkar sehingga Dennis berada ditengah-tengah, diapit Raya dan Amanda. Amanda mendengus dan membalik piring di hadapannya menjadi terbuka. “Ayo makan, nungguin Mas dari tadi laper!” Amanda memegang sendok dan garpu di dua tangan yang berbeda, sementara Raya sudah menyendoki nasi ke piring Dennis dan tersenyum melihat Dennis, benar-benar pasangan yang serasi. Yang satu ganteng yang satu cantik, tinggal yang satu layaknya upik abu dengan rambut awut-awutan karena tidak disisir. Raya mengambil sedikit nasi, hanya seperempat piringnya saja yang terisi, lalu Amanda mengambil sendok nasi dan mulai menyendok nasi, sepiring penuh. Membuat mata Raya membelalak. “Kamu habis makan segitu?” “Pasti habis, perutnya kayak karung gitu,” kekeh Dennis, sehingga Amanda menendang kakinya kasar dari bawah meja. “Laper banget mbak, belum makan nasi dari semalam,” ucap Amanda memelas. “Memang baru bangun jam berapa?” Dennis mulai menyuap makanannya karena piringnya sudah diisi beberapa lauk oleh Raya. “Jam tiga tadi, langsung mandi trus cuma makan pisang sama minum s**u aja.” “Kalo Sakit baru tau rasa!” desis Dennis, Amanda cuek karena dia terus saja melahap makanannya. Sesekali Raya melirik ke Dennis yang terlihat lebih sering memperhatikan cara makan Amanda. Dia hanya mampu tersenyum miris dan menghela napas pelan. “Oiya yank, semalem meeting sampai jam berapa? Sampai gak bisa jemput aku?” Raya mengalihkan perhatian Dennis, bibirnya mencibir merajuk. “Iya maaf sayang meetingnya sampe malem banget, kamu pulang jam berapa? Naik apa semalam?” Dennis mengusap lengan Raya lembut. “Jam sebelas, kamu aku telponin enggak diangkat. Aku akhirnya pesen taksi online, kan kamu tahu sendiri aku enggak bawa mobil kemarin.” Amanda terkejut mendengar penuturan Raya, pasalnya dia sangat ingat bahwa jam sebelas malam tadi, dia dijemput oleh Dennis dan diantar pulang, lalu dia tertidur di mobil dan tidak tahu lagi kejadian setelah itu. Karena ketika terbangun tadi dia sudah ada di dalam kamar, entah Dennis menggendongnya atau dia jalan sendiri pindah ke kamar. “Iya maaf, Sayang,” ucap Dennis lembut, tangannya kini membelai rambut Raya dari pucuk kepala hingga ke punggung, membuat Amanda mengigit sendoknya iri. “Lain kali jangan gitu ya, janji lho.” Dennis tersenyum lebar dan mengangguk, lalu Raya menghentikan aksi merajuknya dan mulai menikmati makanan kembali. “Bagaimana Man rasanya? Enak enggak?” tanya Raya kemudian, “Enak mbak, enak banget. Mas Dennis beruntung banget punya istri kayak mbak nanti, sudah cantik, baik, pinter masak pula.” Wajah Raya tersipu sementara Dennis lagi-lagi menoyor kepala Amanda. “Makanya belajar masak, jangan males. Apalagi males mandi. Mana ada cowok yang naksir?” “Bawel ih,” desis Amanda membuat Dennis tertawa, Raya terus memperhatikan interaksi keduanya dalam diam, dia pun menunduk dan menggigit bibir bawahnya. Lalu memejamkan mata sejenak kemudian kembali menunjukkan raut wajah ceria seperti sebelumnya. Dan sesekali menimpali interaksi dua orang yang kini tinggal serumah tersebut. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD