Rompang 1

2105 Words
Assalamu’alaikum. Stay safe and stay healthy ya, teman-teman semua. Jangan lupa tap love dan berikan komentar kalian. Happy reading. Masa Sekarang Suasana SMA Cenderawasih Nusantara sedang hening karena pembelajaran baru saja dimulai. Semua kelas tampak sunyi karena guru mata pelajaran baru saja masuk ke dalam kelasnya masing-masing sesuai jadwal. Anjani sudah berada di kelas XI MIA 2 sejak 10 menit yang lalu. Setelah mengucap salam, menanyakan kehadiran siswa, dan menyampaikan sekilas materi serta tujuan pembelajaran yang hari ini akan disampaikan, ia meminta tolong ketua kelas untuk mengkoordinir pengumpulan lembar kerja minggu lalu juga meminta tolong untuk mendistribusikan lembar kerja baru. “Kalian sudah membawa alat dan bahan untuk praktikumnya, kan?” tanya Anjani memastikan. Tatanan kelas sudah amburadul karena Anjani meminta siswa membentuk kelompok-kelompok. “Sudah, Bu,” jawab semuanya dengan serempak. Anjani tersenyum puas. “Jadi, alat dan bahan apa saja yang kalian siapkan untuk praktikum hari ini?” tanya Anjani. Seorang siswa laki-laki bernama Ammar mengangkat tangannya. “Iya, Ammar.” Anjani mempersilakan Ammar untuk menjawab. “Sebelum menyebutkan alat dan bahan yang kamu bawa, boleh dijelaskan sedikit ya tentang praktikum kita hari ini,” pinta Anjani. Ammar mengangguk. “Pagi ini, kita akan melakukan praktikum difusi dan osmosis. Sebelum menginjak praktikum, saya ingin memaparkan sedikit tentang difusi dan osmosis.” Ammar memperhatikan teman-temannya yang duduk di kursinya masing-masing. Teman-temannya terlihat antusias mendengarkan penjelasannya. “Difusi dan osmosis adalah dua diantara proses yang terjadi di dalam sel. Difusi merupakan perpindahan suatu zat dari konsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah. Sedangkan osmosis adalah perpindahan molekul pelarut misalnya air dari larutan berkonsentrasi rendah (hipotonik) ke larutan berkonsentrasi tinggi (hipertonik) melalui membran semi-permeable.” “Bagus, Ammar. Setelah penjelasan dari Ammar tadi, semoga kalian semakin memahami konsep difusi dan osmosis, ya,” ucap Anjani. “Silakan dilanjutkan, Ammar.” “Untuk alat dan bahan yang diperlukan dalam praktikum difusi adalah cup atau gelas air mineral, air, tinta atau teh atau sirup berdasarkan perolehan saat diacak minggu lalu. Sedangkan untuk praktikum osmosis kami membawa kentang, garam, air, penggaris, timbangan barang digital, cutter, dan stopwatch,” jelas Ammar lugas. Anjani tersenyum puas dan bangga. Ia selalu merasa bahagia ketika siswa di kelas yang ia ampu selalu aktif dan bersedia mengangkat tangan terlebih dahulu sebelum menjawab. Anjani pernah membaca suatu penelitian bahwa keberanian siswa harus terus dilatih. Tidak baik bagi siswa jika dibiarkan menjawab suatu pertanyaan dengan bersahut-sahutan. Selain menciptakan suasana kelas yang tidak kondusif, siswa juga akan merasa tidak berani berbicara di depan banyak orang. Melatih siswa agar terbiasa berani menjawab atau mengemukakan pendapat dapat dilakukan melalui berbagai cara. Bisa dengan meminta siswa menceritakan suatu gambar atau objek yang ada di hadapannya. Selain itu, guru pun harus memilih siswa secara acak dan adil demi terbentuk mental siswa yang berani berargumentasi. “Perlu diingat ya, bahwa tiap langkah harus dihitung dan dicatat waktunya. Agar data yang kalian peroleh lebih valid. Jelas, ya?” “Iya, Bu Jani,” jawab siswa serempak. Kemudian Anjani meminta para siswa untuk memulai praktikum. Ia sudah mewanti-wanti siswa agar tidak membuat kelas kotor. Anjani kembali ke meja guru untuk merapikan lembar kerja yang dikumpulkan oleh siswa terlebih dahulu sebelum berkeliling kelas untuk mengamati pekerjaan siswa. Tatanan lembar kerja yang sudah rapi, ia masukkan dalam map yang selalu ia bawa saat siswa ia berikan tugas pada pertemuan sebelumnya. Anjani mulai memantau pekerjaan tiap-tiap kelompok. Ia juga mengingatkan pada siswa apabila terdapat kekeliruan atau kesalahan dalam proses praktikum jangan malu untuk bertanya. Ibarat kata pepatah, malu bertanya akan sesat di jalan. “Ukurannya pastikan sama ya untuk potongan kentangnya. Jika panjang kentang pada tiap perlakuan berbeda, upayakan beratnya sama,” pesan Anjani tegas dan suara yang cukup lantang agar semua siswa dapat mendengar suaranya. “Baik, Bu. Untuk ukuran panjang kentangnya tetap diamati setiap 10 menit sekali kan, Bu?” tanya seorang siswi memastikan. “Iya, benar. Beratnya juga harus diamati setiap 10 menit, ya,” tegas Anjani berulang kali. “Siap, bu.” “Jelas, ya?” Semua siswa mengangguk. Anjani mulai berjalan menghampiri salah satu kelompok. Ia bertanya apakah ada kendala dalam proses praktikum. Saat Anjani baru saja selesai memberikan saran pada salah satu kelompok, Ammar memanggilnya. Anjani pun menuju ke kelompok Ammar. “Iya, Ammar. Apa ada kendala dalam praktikum kalian?” “Ini, Bu. Tadi kami sudah praktikum difusi, tetapi kami lupa tidak menghitung berapa lama zat yang kita larutkan menyatu dengan pelarut. Mohon maaf, Bu,” ucap salah satu teman kelompok Ammar, mewakili Ammar dalam menjelaskan permasalahan kelompok mereka. “Sudah mengulang lagi?” Ammar dan teman-temannya diam sambil menunduk. Anjani pun mulai meraba permasalahan apa yang sedang terjadi. “Apa ada alat dan bahan kalian yang sudah habis?” “Iya, Bu. Kami hanya membawa sirup sekitar dua sendok makan. Dan sirupnya sudah kami tuangkan keseluruhan tadi saat praktikum,” jawab Ammar dengan menunduk dalam. Anjani menghela napas. Minggu lalu ia sudah meminta tiap kelompok agar membawa alat dan bahan dalam jumlah lebih untuk mengantisipasi permasalahan seperti ini. Namun, hendak marah pun tidak baik bagi mental siswa. Semua juga sudah terlanjur terjadi. “Saya beri waktu 10 menit untuk kelompok kalian mencari atau membeli sedikit sirup di kantin,” kata Anjani memberikan solusi. “Silakan dua orang saja. Sekarang sudah pukul 8.27, 10 menit dari sekarang kalian harus sudah kembali,” tegas Anjani. “Baik, Bu. Terima kasih, Bu.” Dua siswa berjalan dengan langkah cepat menuju ke kantin. Mereka tidak ingin membuat Anjani murka. Meskipun Anjani bukan termasuk dalam jajaran guru killer, tetapi mereka tetap segan pada Anjani. “Silakan lanjutkan praktikum osmosisnya sambil menunggu teman kalian kembali. Dan Ammar, lain kali jangan seperti ini lagi. Kamu adalah ketua kelompok, pastikan semuanya beres sebelum kegiatan praktikum dimulai,” pesan Anjani tegas. “Baik, Bu.” “Saya ke kamar mandi sebentar. Pastikan kelas tetap kondusif, ya,” pamit Anjani. Anjani berjalan ke kamar mandi dengan lemas. Perut tiba-tiba terasa nyeri dan melilit. Sepertinya hari ini adalah hari pertama tamu bulanannya datang. Anjani berusaha mencapai kamar mandi dengan cepat. Ia ingin memastikan juga mencuci mukanya agar ia terlihat lebih segar. “Mau ke mana?” tanya seseorang yang menghadang langkah Anjani dengan suara bass-nya. “Ke kamar mandi,” jawab Anjani singkat. “Kamu sakit?” tanya seseorang itu khawatir. Ia hendak memapah Anjani tetapi ia sadar saat ini mereka sedang berada di area sekolah. “Jika tidak keberatan, bisa minta tolong ambilkan pembalut di UKS. Aku lupa tidak membawa,” cicit Anjani malu. Laki-laki di sampingnya itu sudah hapal dengan kesakitan Anjani saat hari pertama datang bulan. Ia juga sudah sering kali menemui wajah Anjani yang menahan sakit. “Kamu ke kamar mandi dulu. Nanti aku letakkan di depan kamar mandi jika aku sudah membawa pembalutnya,” katanya tegas. “Terima kasih,” lirih Anjani. “Hati-hati, ya,” pesan laki-laki itu. Anjani tersenyum. Ia selalu merasa bahagia ketika mendapatkan perhatian lebih dari laki-laki itu. Laki-laki yang dulu sangat ia hindari. “Jani, pembalutnya sudah ku taruh depan, ya. Aku ke ruang guru dulu,” teriak laki-laki itu. Anjani mengiyakan. Tidak lupa ia mengucapkan terima kasih karena laki-laki itu selalu ada disaat ia lemah. Anjani sudah kembali ke kelas dengan penampilan yang lebih segar. Meskipun rasa nyeri masih terasa, ia berusaha tetap menghidupkan suasana kelas. Praktikum baru saja selesai. Ia meminta dua kelompok untuk mempresentasikan hasil praktikum secara bergantian di depan kelas. Ia mempersilakan kelompok pertama untuk menjelaskan tentang hasil praktikum disfusi dan kelompok kedua tentang osmosis. Anjani mengucapkan terima kasih pada dua kelompok yang bersedia maju ke depan kelas untuk mempresentasikan hasil praktikumnya. Ia juga meminta kelompok lain untuk memberikan tepuk tangannya sebagai wujud apresiasi terhadap rekan sejawatnya yang sudah berani tampil. “Baik, terima kasih atas antusiasme kalian untuk pembelajaran hari ini. Kalian luar biasa. Dan jangan lupa membuang sampah sesuai dengan jenisnya, ya. Sampai bertemu lagi di pertemuan minggu depan, kita akan mempelajari dan membedah jaringan tumbuhan,” kata Anjani menutup pertemuan hari ini. “Untuk laporan praktikum kali ini secara berkelompok, ya. Saya tutup. Wassalamu’alaikum warah matullahi wa barakatuh.” Semua siswa berseru senang kemudian menjawab salam Anjani serempak. Selama ini, Anjani selalu menugaskan laporan dikerjakan secara individu meskipun praktikum dilakukan berkelompok. Anjani pun sangat tegas dalam memberikan nilai. Ia selalu membaca setiap laporan dengan teliti dan detail. Ia sangat membenci plagiasi antarsiswa walaupun mereka satu kelompok. Jika data dan gambar sama tidak masalah, tetapi jika kalimat yang ditulis sama, tidak ada perbedaan bahkan tanda bacanya, ia dengan tegas akan memberikan hukuman pada siswa. Hukumannya tentu saja bukan hukuman fisik melainkan siswa harus mengerjakan laporan dengan tulis tangan tanpa boleh ada coretan atau bekas type X. Anjani meletakkan tumpukan laporan yang dikumpulkan siswa di mejanya yang ada di ruang guru. Ia meneguk air mineral yang ia bawa untuk mengobati rasa dehidrasinya. Perutnya sudah terasa lebih baik, tetapi masih sedikit nyeri. “Jani, nanti makan ke kantin, yuk,” ajak Nabila—sahabatnya sejak SMA yang juga seprofesi dengannya. “Aku bawa bekal, Bil,” jawab Anjani lirih. Nabila hendak merengek pada Anjani untuk menemaninya makan, tetapi melihat wajah sahabatnya yang tampak pucat membuatnya mengurungkan niatnya itu. “Kamu kenapa, Jan? Hari pertama datang bulan?” Nabila yang sudah sangat hapal tentang Anjani pun dapat memahami apa yang dirasakan sahabatnya. Anjani mengangguk. “Mau kumintakan air hangat di ibu kantin?” tawar Nabila. “Nggak usah, Bil. Ini sudah mendingan kok,” tolak Anjani halus. “Kalau gitu dibuat istirahat di UKS saja, Jani. Jangan dipaksakan buat mikirin koreksi hasil kerja siswa. Biar kamu lekas sehat. Toh jadwal kamu habis ini kosong kan?” “Iya. Aku mau ke UKS dulu ya, nanti tolong sampaikan pada guru piket jika ada yang mencariku aku sedang istirahat di sana.” “Siap. Buat tidur dan rebahan saja, Jan.” Anjani mengucapkan terima kasih pada Nabila karena selalu perhatian dan khawatir padanya. Ia kemudian berjalan perlahan menuju UKS. Ia berusaha menutupi rasa sakitnya agar tidak membuat orang-orang di sekitarnya menaruh perhatian kepadanya. Anjani merebahkan tubuhnya di salah satu single bed yang ada di bagian pojok agar tidak menarik perhatian orang lain. Ia peluk tubuhnya dengan erat. Ia juga meremas perutnya yang semakin terasa melilit. Ia sungguh benci dengan hari pertama kedatangan tamu bulanan seperti ini. Anjani mencoba mengoleskan minyak kayu putih yang ia simpan di saku roknya pada permukaan perutnya. Lama kelamaan perutnya sedikit hangat dan mulai terasa nyaman meskipun sesekali rasa melilit masih terasa. Hingga rasa lelah menahan sakit membuat Anjani terlelap. Seseorang yang sedari tadi mencarinya pun tersenyum lega kala masuk UKS dan melihat Anjani sudah terlelap. Setidaknya dengan terlelap membuat Anjani lupa akan rasa sakitnya. *** Anjani menangis sesenggukan kala melihat kakak dan ayahnya berjalan meninggalkan rumah yang selama ini menjadi tempatnya berteduh berempat. Berbagi tawa, kebahagiaan, kesedihan, dan kesakitan. Saat ini, mereka terpisah menjadi dua kubu yang berbeda. Anjani dengan Sukma—ibunya. Anjeli—kakaknya ikut tinggal bersama ayahnya—Purnomo. Anjani menjerit kencang karena Anjeli dan Purnomo berjalan semakin menjauh dari rumah itu. Sukma berusaha menenangkan Anjani dengan memeluk putri bungsunya erat. Ia mengelus punggung Sang Putri. Hati ibu mana yang tidak hancur kala melihat putrinya menangis histeris. Juga sama hancurnya kala melihat putri sulungnya harus berpisah darinya dan memilih ikut dengan Purnomo. Namun, ia harus ikhlas dengan semua ini. Tepatnya Sukma mencoba ikhlas. Ini adalah konsekuensi dari perpisahannya dengan Purnomo. Sukma kecewa dan marah besar ketika Purnomo menyampaikan bahwa ingin menikah dengan seseorang yang pernah singgah di hati Purnomo sebelum pernikahan mereka terjadi. Wanita mana yang rela dan tidak kecewa? Ia memaki-maki Purnomo dengan segala kata-kata kekesalan yang tidak terlalu menyakiti. Tidak sebanding dengan rasa sakit yang ditancapkan, tetapi ia setidaknya lega ketika berhasil meluapkan segala amarahnya. Meskipun diakhir persidangan mereka, Sukma tetap meminta maaf atas kata-kata yang pernah ia lontarkan. Ia ingin hubungannya dengan Purnomo tidak meninggalkan rasa sakit hati. Yah walaupun itu sangat mustahil karena Purnomo telah memberikan luka padanya. Namun, tidak mungkin ia hidup dengan terus memendam rasa dendam dan sakit hati. Ia berusaha mengikhlaskan semua jalan hidupnya dengan perlahan. Ada Anjani yang akan menguatkan hatinya. Ada Anjani yang harus selalu ia berikan senyuman. Ia harus bangkit menjadi ibu yang kuat dan tegar. “Ada ibu yang selalu bersamamu, Nak. Maafkan ibu dan ayah karena harus membuat kalian terpisahkan. Membuat kamu dan Kak Anjeli terpisah. Membuat kamu harus kehilangan kasih sayang seorang ayah. Tetapi, ibu berjanji akan berusaha memberikan kasih sayang baik sebagai ibu atau ayah,” hibur Sukma dengan penuh keyakinan. Ia juga meyakinkan dirinya agar benar-benar kuat dengan jalan hidup yang akan ia lalui setelah ini. Sukma mencoba menyeka air mata yang ikut menetes. Ia harus kuat di hadapan Anjani. Ia tidak ingin Anjani melihat jika dirinya juga rapuh.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD