Rompang 2

2052 Words
Anjani sedang di kamar dengan Anjeli di kamar Anjeli. Anjeli menyapukan kuas ke wajah Anjani. Tiba-tiba tadi sepulang sekolah, Anjani merengek wajahnya ingin di-make up. Anjani yang baru saja melihat majalah milik Sukma tentang kosmetik dan ada seorang model cantik di dalamnya, membuatnya juga ingin di-make up seperti itu. “Wah,” ucap Anjani kagum pada hasil polesan tangan Anjeli di mukanya. “Bagus banget, Kak. Kayak bukan aku.” Anjeli mengusap permukaan rambut adiknya dengan penuh sayang. Ia selalu berusaha memberikan dan menciptakan kebahagiaan untuk adiknya. “Terima kasih ya, Kak Anjeli,” ujar Anjani tulus. Ia selalu merasa bahagia memiliki kakak seperti Anjeli. Kakaknya bisa melakukan apa pun untuknya. Anjeli semakin mendekati tubuh adiknya. Ia berdiri tepat di belakang Anjani yang duduk di kursi riasnya. Ia memeluk Anjani dari belakang. Ia tersenyum hangat pada adiknya walaupun batinnya ingin menangis kencang. ‘Maafkan Kakak, Dek. Semoga kamu kuat dengan semua hal yang akan terjadi ke depannya nanti,’ gumam Anjeli dalam batin. *** Suara lengkingan tangis membuat Anjani terbangun dari tidurnya. Mengambil handphone yang tergeletak di samping bantal kemudian menekan tombol power untuk melihat tampilan layar. Layar handphone dengan wallpaper bunga tulip menunjukkan pewaktu di angka 04.07 pagi. Anjani bangun dari tidurnya dengan mata yang masih menahan kantuk. Ia menyibak selimut bulu dengan motif bunga tulip lalu berjalan ke arah kamar mandi. Adzan Shubuh belum berkumandang, tetapi rumahnya sudah terasa ramai. Anjani berjalan ke arah kamar yang berada tepat di depan kamarnya. “Ada apa, Bu?” tanya Anjani saat sudah berada di dalam kamar yang dulu digunakan oleh kakak perempuannya. “Minta minum s**u. Kamu kebangun, ya?” tanya Sukma tak enak hati. “Bu, kenapa sih selalu Ibu yang tak enak hati? Harusnya Kak Anjeli yang tidak tahu diri itu yang merasa begitu ke kita. Lagian Ibu kenapa sih mau diminta mengurus Si Putri ini. Kita jadi nggak pernah tenang,” ucap Jani dengan kesal. “Anjani! Jika kamu tidak mau mengurus Putri, keluar dari kamar ini dan siapkan sarapan!” perintah Sukma dengan tegas. Anjani keluar dari kamar dengan perasaan dongkol. Bukan ia marah pada ibunya, tetapi ia marah karena ibunya yang akan selalu membela kakaknya meskipun menurutnya kakaknya itu tak tahu diri. *** “Anjani!” Suara cempreng seorang perempuan yang memanggil nama Anjani membuat Anjani menghentikan langkahnya saat akan masuk menuju ke lorong lobi sekolah. Tanpa menoleh pun ia tahu siapa pelaku yang memanggil namanya itu. Seseorang yang selalu heboh dalam memanggil nama orang dan membuat khalayak ramai akan ikut menoleh walaupun bukan namanya yang dipanggil. “Sombong bener, Buk. Dipanggil bukannya noleh, eh malah diam di tempat kayak jadi peserta upacara yang takut mendapat teguran kesiswaan saja,” celetuk suara itu lagi yang kini tepat berada di samping Anjani. Anjani hanya meresponsnya dengan memasang wajah malas. “Masih pagi juga sudah teriak-teriak. Kebiasaan banget kamu, Bil,” ucap Anjani dengan sebal. “Untung kepala sekolah belum datang dan sedang tidak ada tamu, kalau sedang ada beliau juga ada tamu, kamu pasti malu” peringat Anjani setelah mereka melewati ruang kepala sekolah yang masih terlihat gelap dan sepi. “Teriak adalah salah satu cara untuk membuat mood-ku menjadi baik, Jani. Lagian kamu tumben banget pagi-pagi sudah sensi. Lagi kedatangan Si Merah?” “Enggak. Biasa, pagi hariku ada sedikit gesekan dengan ibuk.” “Masalah Si Putri lagi?” tanya Nabila yang sudah sangat hapal betul akan permasalahan yang Anjani hadapi jika dikaitkan dengan ibunya. Anjani mengangguk dengan bete. Bersinggungan dengan ibunya adalah hal yang membuat mood-nya seketika akan rusak selama seharian itu. Berbicara dengan nada judes, diam, sedikit membentak adalah ciri-ciri seorang Anjani jika sedang dalam keadaan bad mood. “Ya kamu juga kenapa masih mengungkit-ungkit dan menyalahkan kakakmu. Pasti ujung-ujungnya Tante Sukma juga akan memberikan jawaban yang sama ke kamu. Kamu sih yang suka cari sumber ke-bad mood-an,” ucap Nabila yang memang 100% benar adanya. Entahlah. Anjani seperti tidak mengambil pelajaran dari beberapa perdebatan dengan ibunya mengenai Si Putri yang ujungnya pasti bermuara pada ibunya yang akan memperingatkannya untuk tidak banyak protes. Dan kemudian dirinya akan berada dalam mode senggol bacok—menyinggung perasaannya sedikit maka taring Anjani akan seketika mengoyak dan mencabik-cabik Sang Lawan Bicara. “Niatku itu agar ibu tersadar begitu lho, Bil. Benar-benar tersadar dan terbuka pikirannya,” jawab Jani dengan gemas dan kesal. “Gini ya, Jan kuberi tahu..” “Selamat pagi, Ibu-ibu Cantik,” sapa Arsya—salah satu guru olahraga SMA Cenderawasih Nusantara kepada Anjani dan Nabila yang baru saja menginjak pintu ruang guru. “Sepertinya sedang mengobrolkan sesuatu yang seru sekali,” ucap Arsya yang sedari tadi berada di belakang Anjani dan Nabila. Ia juga tidak sengaja menguping pembicaraan antara Anjani dengan Nabila. Yah, meskipun ia sama sekali tidak paham dengan apa yang diperbincangkan rekan kerjanya itu. Arsya dengan tas ransel hitam di punggung kini berada di samping Anjani. Pria itu tampak juga baru tiba di sekolah karena ransel yang masih menempel di punggung. Sapaan Arsya membuat ucapan yang akan disampaikan oleh Nabila terpotong. Nabila seketika memfokuskan netranya ke arah Arsya, mengabaikan Anjani. Dan jika ada Arsya di antara mereka, pasti Nabila akan lupa orang di sekitarnya. Anjani pun mengangguk kecil sebagai balasan sapaan Arsya kemudian ia memilih berjalan lebih dulu dari pada berdiri di antara dua insan itu. Anjani melanjutkan langkah tanpa menoleh ke belakang untuk menuju ke ruang guru, membiarkan Arsya dan Nabila berbincang sesuatu yang tidak menarik baginya. Arsya memandang punggung Anjani yang menjauh. Arsya sudah kebal akan respons yang diberikan oleh Anjani. Anjani akan berwajah jutek ke setiap laki-laki yang ada di sekolah kecuali ke murid laki-laki dan para guru laki-laki yang usianya lebih tua darinya. Arsya adalah pengamat yang handal selama mengajar di sekolah itu. “Selamat pagi, Pak,” balas Nabila dengan senyum malu-malu. Balasan sapaan dari Nabila membuat Arsya menoleh ke arah sampingnya. Arsya sudah hendak melanjutkan langkah ke mejanya tetapi tertunda karena Nabila yang membuka topik pembicaraan tentang turnamen bulutangkis yang sedang berlangsung. Arsya menanggapi topik pembicaraan itu. Tidak sopan rasanya jika ia mengabaikan seseorang yang mengajaknya berbincang. Karena membuka topik pembicaraan adalah hal yang susah, maka Arsya harus menghargai dan menghormati seseorang yang mengajaknya berbincang. Anjani meletakkan tasnya di atas meja kayu yang di atasnya dilapisi dengan kain karpet biru serta kaca bening tebal. Mengabaikan Nabila yang masih berbincang seru dengan Arsya di dekat mejanya. Terlihat jelas di matanya wajah Nabila yang bersemu. Anjani hanya menggeleng melihat sahabatnya yang menaruh rasa kepada guru laki-laki itu sedang memasang wajah malu-malu. Anjani pasti seakan tidak ada di pelupuk mata Nabila jika Nabila bertemu atau berbincang dengan Arsya. Mungkin di mata Nabila hanya sosok Arsya yang terlihat, lingkungan di sekitarnya tampak blur atau bahkan tak kasat mata. Sejak Arsya bergabung dalam formasi guru SMA Cenderawasih Nusantara, di hari pertama ia memperkenalkan diri dengan senyum menyejukkan seketika itu pula Nabila menjatuhkan hatinya pada pria itu. Nabila dan Anjani adalah sahabat sejak SMA kemudian melanjutkan kuliah di kampus yang sama dengan program studi yang berbeda. Mereka sama-sama mengambil prodi kependidikan dan berakhir dengan mendaftar sebagai guru di SMA Cenderawasih Nusantara setelah mereka dinyatakan bergelar sarjana pendidikan. Setelah satu tahun mengabdi, Arsya ikut bergabung menjadi salah satu jajaran guru di SMA Cenderawasih Nusantara. Dan hingga hari ini, enam bulan lebih berjalan, Nabila selalu merasa bahagia jika berbincang dengan Arsya. Arsya terkenal sebagai guru yang ramah kepada semua guru yang lain, tanpa membedakan. Tidak hanya kepada guru, kepada murid pun ia sangat mengayomi sekali. Hal itu terlihat jelas dari cara berbincang mereka yang seperti berbincang dengan orang seumuran tetapi tetap dibentengi dengan rasa sopan dan menghormati pada yang lebih tua. “Wah, pagi-pagi Pak Arsya sudah membuat Bu Nabila tersipu malu saja,” komentar Bu Tutik—salah satu guru senior di SMA Cenderawasih Nusantara. Bukan rahasia lagi jika raut muka Nabila yang tersipu malu akan menjadi bahan perbincangan para guru. Namun hal itu tidak membuat Nabila mundur dan Arsya menghindar. Sejujurnya Arsya merasa kurang nyaman karena dirinya sering digosipkan dengan Nabila bahkan para siswa pun ikut menggosipkan hal itu, tetapi ia tidak mungkin menghindar setiap kali Nabila mengajaknya berbincang. Tidak sopan dan itu bukan dirinya sekali. Wajah Nabila semakin tersipu malu sedangkan Pak Arsya tampak bingung untuk mengelak ucapan Bu Tutik. Ia hanya menggaruk belakang kepalanya bingung. “Bu Anjani,” panggil Bu Tutik setelah melewati dua insan yang sedang berbincang seru. “Bu, satu bulan lagi kan penilaian tengah semester. Bu Anjani saya tunjuk sebagai sekretaris apakah bersedia?” tanya Bu Tutik setelah berdiri di depan meja Anjani. “Ujian akhir kemarin saya sudah jadi bendahara lho, Bu,” jawab Anjani dengan niat menolak tawaran yang disampaikan oleh Bu Tutik. Menjadi panitia ujian bukanlah sesuatu yang mudah. Harus mempersiapkan segalanya dengan baik agar proses ujian berlangsung dengan lancar. Dan sejak Anjani bergabung di SMA ini, dirinya selalu menjadi panitia ujian, tidak pernah tidak. “Tidak apa, Bu. Bu Anjani selalu rapi jika bekerja. Jadi saya harap Bu Anjani bersedia ya?” bujuk Bu Tutik. Bu Tutik merupakan Waka Kurikulum sekolah. Maka sudah menjadi salah satu tugasnya untuk membentuk susunan kepengurusan panitia ujian. “Apa tidak diberikan kesempatan kepada yang lain saja, Bu?” Anjani masih berusaha mencari kalimat penolakan. Ia terkadang merasa tak enak hati karena selalu menjadi panitia ujian. Sedangkan masih banyak guru lain yang bisa saja dibebani dengan tugas itu. Ia takut orang-orang mengiranya sebagai guru yang mengambil semua pekerjaan. “Yang lain bisa saya tempatkan pada bagian panitia lain, Bu. Menjadi panitia ujian bukanlah hal yang mudah, maka saya memilih Bu Anjani karena Bu Anjani selalu bisa mengatasi berbagai kesulitan dan kerja Bu Anjani cepat serta rapi,” ucap Bu Tutik dengan penuh rayuan yang semuanya benar adanya. Anjani terdiam. Ingin sekali menolak dan memberikan kesempatan pada rekan guru lain, tetapi menolak disaat Bu Tutik sudah membujuknya dengan sebegitu baiknya rasanya tidak etis. “Ehm, ya sudah nggak apa, Bu,” putus Anjani akhirnya dengan nada mengalah. Bu Tutik mengucapkan terima kasih dan akan memberikan informasi mengenai jadwal rapat pembahasan ujian. Setelah itu ia meninggalkan meja Anjani dan berjalan ke arah meja Arsya. Anjani berharap semoga kepanitiaan ujian kali ini adalah rekan kerja yang mudah diajak kerja sama. Tidak hanya banyak berbicara. Ia harap talk less do more diterapkan oleh para panitia ujian. Karena ketika ia bekerja dengan maksimal dan yang lainnya santai saja seperti di pantai membuat pelaksanaan ujian menjadi kurang maksimal. “Jani,” panggil Nabila yang sudah duduk di kursinya. Kursi Anjani dan Nabila saling berdekatan. Mempermudah mereka berdua untuk rumpi. “Hem,” sahut Anjani tanpa menoleh ke arah Nabila. Ia sedang berkutat pada buku catatan kecil yang selalu ia bawa kemana pun perginya untuk mencatat jadwal, tugas, atau hal penting lainnya. “Kamu jadi panitia ujian lagi?” “He’em. Seperti biasa,” jawab Anjani dengan malas. “Aku jadi panitia juga nggak ya?” tanya Nabila lebih ke diri sendiri. Anjani meresponsnya dengan kedikan bahu pertanda dia juga tidak tahu. Biasanya, Waka Kurikulum atau staff Kurikulum sekolah akan memberi tahukan susunan panitia melalui pengumuman yang ditempelkan pada papan pengumuman ruang guru. Hanya untuk panitia inti seperti ketua, bendahara, sekretaris, dan pencetus ide tema ujian yang ditunjuk oleh Kurikulum. Sedangkan susunan kepanitiaan yang lain akan langsung ditulis tanpa perlu menembusi ke yang bersangkutan. “Jani, nanti pulang sekolah beli tea break, yuk,” ajak Nabila. “Di mana?” “Di Linggarjati. Sama aku pingin makan ayam KFC,” ucap Nabila sambil terkikik. “Nabila tanpa ayam bagaikan tidak makan.” “Ya soalnya ayam itu enak. Dan aku suka dengan ayam.” “Iya. Tapi beli ayamnya jangan di KFC dong. Di tempat lain saja, hemat budget, Bil. Ini juga sudah pertengahan bulan,” saran Anjani. “Oke. Yang paling penting tea break.” Anjani mengangguk. Nabila memang sahabat yang paling pintar menghabiskan uangnya. Sehari tanpa membeli jajanan sepulang sekolah bukanlah Nabila. Dan Anjani yang akan menjadi korban sifat suka jajannya Nabila. Hendak menolak tetapi Nabila sahabatnya, maka Anjani akan berusaha menawarkan menu jajanan yang lebih ramah di kantong agar dompetnya tetap dalam kondisi aman. Tidak lama dari perbincangan mereka, suara bel masuk kelas berbunyi. Anjani pun bersiap dengan peralatan tempurnya yang akan ia bawa ke dalam kelas. Anjani berjalan bersisian dengan Nabila menuju ke ruang kelas yang akan mereka ampu. Guru lain juga berjalan meninggalkan ruang guru untuk menuju kelas yang akan mereka ampu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD