Luka Nadien tidak terlalu parah. Seperti yang Nadien sempat katakan, ia tidak mengalami luka dalam. Dan akhirnya ia pun diizinkan pulang hari itu juga.
Hari ini, baik Daniel maupun Nadien, sama-sama tidak pergi ke kantor. Itu semua karena ide dari Daniel yang tak ingin membiarkan Nadien bekerja di saat kondisinya kurang baik seperti ini. Ia juga tidak rela membiarkan wanitanya itu kesepian di rumah.
Karena Adam, papa Nadien kini sedang berada di Australia untuk mengurus beberapa pekerjaan di sana.
"Memang kamu tidak ada pekerjaan?" tanya Nadien ketika Daniel membantunya makan.
"Nanti saja," balas Daniel. Lelaki itu terlalu fokus membantu Nadien. Ia sangat senang memiliki kesempatan untuk menyuapi istrinya itu.
"Nanti kapan? Keburu sore, Dan. Mending kamu selesaikan dulu pekerjaan kamu di kantor!" desak Nadien.
"Nanti aku bisa cicil di rumah kok. Sisanya aku kerjakan besok," balas Daniel lagi.
Nadien memutar bola matanya malas. Namun lagi-lagi Daniel menyodorkan sesendok nasi dan lauk ke mulutnya, seakan tak membiarkannya untuk merenung dan mencari ide agar Daniel pergi ke kantor.
"Ini minumnya. Sebentar aku ambilkan obatnya dulu, ya?" Daniel beranjak dari kursi makan.
Namun, belum sempat ia melangkah, Nadien sudah lebih dulu menahannya, "nanti saya. Sekarang temani aku ke kolam, yuk!" ajak Nadien.
"Hanya sebentar kok. Habis minum obat, nanti kita baru ke kolam," tolak Daniel.
"Dan...." rayu Nadien, dengan mengandalkan puppy eye nya.
"Oke. Tapi cuma satu jam, habis itu kita masuk dan kamu segera minum obat. Deal?" Daniel memberi kesepakatan. Nadien pun mengangguk cepat.
Nadien segera bangkit berdiri kemudian merangkul bahu Daniel menuju kolam yang ada di taman belakang rumah mereka.
Mereka beristirahat di sebuah gazebo yang cukup luas, yang rencananya akan mereka jadikan tempat bermain sekaligus belajar anak-anak mereka kelak.
Suasananya asri, sejuk walau tanpa AC karena letaknya yang berada di sudut taman pribadi mereka. Ada kolam, serta beberapa pohon dan tanaman kecil lain yang menambah kesan pedesaan yang sejuk.
'Aku jadi gemas, pengen kasih tahu Daniel soal kehamilan Vania. Pasti dia seneng banget,' batin Nadien.
"Kok malah diam?" tanya Daniel membuyarkan lamunan Nadien.
"Eh? Enggak. Cuma lagi berpikir aja. Mempertimbangkan sesuatu," jawab Nadien.
Daniel menyerit, kemudian ia meraskan sesuatu menimpa bahunya. Saat ia menoleh, ia mendapati kepala sang istri di sana.
"Kenapa sih, tiba-tiba manja begini?" selidik Daniel sembari tertawa kecil, agar suasana menjadi lebih santai.
'Cerita nggak, ya? Kalau dia tahu pasti akan seneng banget. Tapi aku kan udah janji juga sama Kak Litha. Kalau sampai bocor kemana-mana bagaimana?' pikir Nadien.
"Sayang," panggil Daniel yang tak kunjung mendengar suara Nadien.
"Hmm?" Nadien mulai menanggapi.
"Kepala kamu pusing lagi, ya?" tanya Daniel mulai khawatir. Hal itu membuat Nadien tertawa gemas.
"Aku cuma terbentur, dan memar sedikit saja, Dan. Jangan bertanya terus seperti aku sedang gegar otak begitu!" canda Nadien.
"Habisnya kamu tiba-tiba diam. Aku jadi khawatir," ungkap Daniel jujur.
Rasa hangat menjalah di sekujur tubuh Nadien, pasca mendengar pengakuan suaminya itu. Ditambah lagi, rengkuhan sang suami pada tubuhnya yang membuat jantungnya berpacu.
"A-aku nggak apa-apa," balas Nadien.
"Hanya saja,- Dan," panggil Nadien.
Daniel melirik ke arah Nadien yang masih asyik menatap ke arah kolam.
"Menurut kamu, bagaimana arti kehadiran seorang bayi di tengah keluarga?" tanya Nadien.
"Hmm... bagus. Itu bisa jadi penguat hubungan kedua orang tua mereka, dong," jawab Daniel.
Keduanya sempat terdiam. Asyik dengan pikiran masing-masing.
'Spoiler dikit aja lah. Jangan langsung kasih tahu. Aku kan sudah janji pada Kak Litha?' batin Nadien.
"Kamu hamil?" tanya Daniel tiba-tiba, yang membuat Nadien terpenjat kaget.
"Enggak, bukan aku. Aku kan cuma tanya aja," jawab Nadien.
"Tanya atau ngasih kode?" goda Daniel.
Nadien menarik kepalanya dari bahu Daniel. Oke. Ia rasa Daniel mulai ingin bermain-main dengannya.
"Kode apa, coba? Aku kan cuma tanya," protes Nadien.
"Tapi bisa aja loh, kamu hamil. Kamu nggak berniat cek, gitu?" tanya Daniel.
Nadien menggeleng, "aku yakin belum, Dan. Jadwal datang bulanku masih lancar, kok," jawab Nadien.
Daniel mengangguk paham kemudian mengalihkan tatapannya ke arah kolam.
"Aku cuma lagi ngomongin tem-"
Drrrtt drrrtt drrrtt
Deringan ponsel itu membuat Nadien menghentikan ucapannya.
"Halo," sapa Daniel pada lawan bicaranya di ujung sana.
"..."
"Apa? Oh oke, tenang aja, aku akan segera ke sana,"
"..."
"Baik. Tunggu saja di tempat yang aman, yang ramai sehingga orang-orang akan berpikir berkali-kali untuk menyakitimu.
Kini, giliran Nadien yang menyerit kebingungan, "menyakiti? Sepertinya itu sedikit serius,"
Daniel mengangguk setelah menutup teleponnya.
"Siapa?" tanya Nadien.
"Helen. Akhir-akhir ini dia sedang banyak masalah. Ayahnya kabur membawa uang orang-orang, dan mereka menuntut Helen untuk mengganti kerugian mereka," terang Daniel sembari bangkit lalu berjalan meninggalkan taman belakang.
Nadien pun memilih mengekori langkah suaminya. Ia juga penasaran. Karena ia juga kenal dengan perempuan bernama Helen itu. Dia sahabat Vania dan Daniel sejak SMA.
Hanya saja, ia berbeda nasib dengan dua sahabatnya itu. Ia dilahirkan dari keluarga dengan perekonomian cukup lemah, sehingga sejak masih muda pun ia sudah banyak merasakan pahitnya kehidupan.
"Tapi Helen nggak apa-apa?" tanya Nadien khawatir.
"Saat ini, dia baik-baik saja. Tapi aku tetap khawatir," jawab Daniel sambil memakai jaketnya.
"Aku ikut," pinta Nadien ketika Daniel berada di ambang pintu. Lelaki itu menoleh, kemudian berjalan kembali ke arah istrinya.
"Kamu lagi sakit, Sayang," Daniel.
"Aku udah baik-baik aja kok. Aku ikut, ya? Aku nggak suka di rumah sendirian. Para pelayan sibuk. Aku nggak suka," paksa Nadien.
"Nggak bisa. Aku nggak mau kamu droup lagi. Lebih baik kamu sekarang istirahat, ya! Aku tidak akan lama, aku janji," balas Daniel.
Belum sempat Nadien menjawab, Daniel sudah lebih dulu pergi. Lelaki itu sedikit berlari menuju mobilnya yang terparkir di halaman depan. Sementara itu, Nadien berjalan ke arah pintu dan melihat sang suami hingga keluar dari gerbang kediaman mereka.
Nadien mengembuskan napasnya. Lagi-lagi ia merasa menjadi nomor sekian di pikiran suaminya. Ia bukan yang utama. Terlalu banyak hal yang tampaknya lebih penting dibandingkan dirinya di mata Daniel.
Soal Helen, Nadien bisa mengerti. Perempuan itu memang sangat berarti bagi Daniel.
Karena saat Daniel berada di luar negeri, Helen lah orang yang paling menjaga Vania. Helen adalah sahabat terbaik Vania setelah Daniel, sekaligus tempat pertama yang akan Vania datangi saat ia merasa kesusahan.
Dan karena itulah Daniel merasa banyak berhutang budi pada Helen. Bahkan Daniel sendiri yang berpesan pada Helen, agar selalu memberi tahu Daniel ketika ia dalam kesusahan.
***
Bersambung....
Ingat Helen? Ada ya, di Devania sudah pernah aku jelaskan singkat :D
Yang belum love, silakan klik love di pojok kanan bawah halaman blurb dulu biar cerita ini masuk pustaka kamu dan mudah dicari. Sebagai apresiasi ke penulis juga, biar penulis tahu, seberapa banyak orang yang menyukai ceritanya :')
Terima kasih sudah mampir :)