Brownies S'kat (2)

546 Words
Sama seperti di sekolah Revano kemarin, acara di sini pun berjalan sangat lancar. Dan produk yang kami bawa nyaris terjual semua. "Ini sudah jam makan siang. Apa mau makan di luar?" tanya Pak Kevin padaku. Padahal ada tim lainnya juga tapi mereka nggak dapat tawaran yang sama. "Nggak perlu, Pak. Pihak sekolah biasanya udah nyediain makan siang kami." "Oh, begitu." Dan nggak lama mereka yang aku maksud datang membawa beberapa nasi box untuk kami. "Pak Kevin, kalau nggak biasa makan nasi box nggak papa kok makan di luar," kataku mengambil satu nasi dan mencari tempat duduk untuk makan. Aku puas banget melihat wajah memerahnya itu. "Jatah saya buat Pak Rako saja. Saya mau langsung kembali ke kantor. Jam dua ada rapat." "Oh,Ya sudah." Aku tidak peduli lagi dan mulai membuka kotak nasi. Dari ekor mataku, aku bisa melihat Pak Kevin menghela napas panjang lalu ia berpamitan pada lainnya. Santi langsung menghampiriku begitu Pak Kevin pergi. "Lo ada apa sih sama Pak Kevin? Kenapa sikap lo gitu banget. Kasihan loh dia dari tadi lo cuekin. Kalo enggak lo jutekin." "Itu akibatnya buat orang yang sok ikut campur urusan gue." "Emang apa yang sudah dia lakukan?" "Yang jelas dia sudah bikin gue nggak respek lagi sama dia." "Tapi kan dia atasan lo, Ran. Dan kelihatannya dia lagi mau baikin elo deh tadi." "Bodo amat, San. Gue nggak peduli." "Astaga, Randita. Apa karena gosip kemarin yang sempat beredar di kantor? Anak SMA yang foto bareng lo itu, Revano kan?" "Iya. Entah deh, siapa yang nyebarin di grup ghibah kantor. Dan lo tau Pak Kevin komentar yang bikin gue langsung naik tensi. Nggak penting banget sumpah, dia ngurusin gosip bawahannya." "Itu karena dia ada perhatian khusus ke elo, Ran. Kalau nggak ya mana dia peduli." "Tapi cara dia gue nggak suka." "Kasian gue lihat muka Pak Kevin hari ini deh, Ran." "Biar aja. Biar dia mikir kalau ngomong tuh kudu difilter dulu." "Ran." Santi menyenggol lenganku dan berbisik. "Soal Revano lo serius juga ternyata." "Gue lagi coba jalanin aja sih, San. Nggak mau terlalu banyak mikir yang aneh-aneh." "Rasanya gimana cipokkan sama brondong?" Ide jailku muncul. "Sepengalaman gue sih jauh lebih manis dari yang udah-udah." "Lo serius?" "Serius dong. Garan aja mungkin kalah." Santi berdeham. "kenapa bawa-bawa Garan sih?" "Ya kan dia ngakunya udah pernah nyicipin segala rasa." "Dia didengerin." "Jadi dia ngibul?" "Ya jelaslah, mana mungkin dia begitu. Dia mah cuma cari sensasi doang." "Lah siapa tahu beneran kan? Kita nggak tahu sepak terjang dia sebelum ini gimana." Sepertinya pancinganku berhasil. Wajah Santi tampak gelisah. "Udah deh, Ran. Kenapa jadi ngomongin orang nggak penting sih? Kita kan lagi bahas brondong lo." Aku mengedik dan menutup kotak makanku yang sudah habis. "Mbak Randita. Ini ada titipan." Pak Rako supir kantor menghampiriku dengan membawa sebuah kotak ditangannya. "Apa itu, Pak?" tanya Santi lebih dulu menerima kotak itu. "Ran, ini Brownies sekat lagi kayak waktu itu." "Siapa yang ngirim Pak?" tanyaku. "Kurir, Mbak." "Kurir nggak bilang siapa pengirimannya?" "Enggak, Mbak." "Oke, terima kasih ya, Pak." Pak Rako pun pergi lagi. Aku dan Santi saling pandang. Masih dari pengirim rahasia. Sepertinya aku perlu bertanya pada Revano soal ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD